Hanya tujuh jam saja kami mubeng-mubeng 13.000 langkah sekitar stasiun kereta api dan alun-alun. Menu utama plesiran yang saya dan Retna lakukan adalah melihat rumah-rumah kuno kota Tegal.
photo courtesy: Retna |
Jalanan Tegal lengang. Meski hawa terik matahari langsung membantai kami sejak keluar dari pintu stasiun rasanya hati ikut kebawa lega karena kondisi trafik yang tenang. Kira-kira pukul 11 siang waktu kami menapaki trotoar jalan.
Enak ya gak macet, pikir kami. Lalu kesadaran itu datang, bahwa sepertinya kami saja yang jalan-jalan di siang bolong nan terik. Bahkan di Bandung pun saya akan berpikir hal yang sama sebagaimana warga Tegal: ngapain siang-siang panas-panas keliaran di jalan.
Namun semangat turis beda. Kami rela berjalan kaki jauh dan panas-panasan. Bagaimana lagi. Kalau sudah cinta pasti senang hati melakukannya. Kata Alberto Camus "cinta adalah keinginan yang menyengsarakan tapi jangan berpikir kalau cinta tidak berguna".
Dan tentang panasnya Tegal saya tidak bisa bercerita banyak. Luar biasa. Orang Bandung darah murni seperti Indra, suami saya, pasti akan kalang kabut dibuatnya. Kalau darah campuran ala saya dan Retna masih sanggup menghadapinya tanpa lolongan keluh kesah.
Retna merupakan teman yang saya kenal di tur jalan kaki kota parakan tahun 2023. Ia juga menginisiasi grup jalan-jalan santai di Bandung bernama Mapah Sareng. Hamdalah dalam trip tegal ini saya berjodoh dengannya dan dia banyak memotret saya (dari belakang). Mungkin retna bisa nyambi dari profesi apotekernya dengan merintis usaha fotografi traveling. Ada bakat motret soalnya. Semua foto yang ada dalam artikel ini dijepret olehnya. Makasih banyak, Retna!
Berkat bantuan teman lainnya pula tujuan perjalanan ke tegal ini jadi konkrit. Saya mencontek hampir semua lokasi tujuan berdasarkan foto-foto di instagram Aditya Indi. Makasih ya, Kang Adit! Postingan tentang rumah tua dan kota-kota kecil yang paling banyak saya save post di media sosial pasti dari feednya beliau. Bantuannya sangat detail sampai-sampai mengirim link googlemap. Dengan mudah saya membuat perkiraan waktu dan jarak antar lokasi.
Pada prakteknya ada beberapa tujuan yang kami lewat. Seperti nasi lengko gang kimto dan kue tempel yang berada di Jl. HOS Cokroaminoto. Semua lokasi tujuan ini kami sambangi berjalan kaki, sesuai urutan.
- Stasiun Tegal
- Gedung SCS yang antik, berada di seberang stasiun kereta api
- Gedung menara air
- Makan siang di Kantin Lima Sari di gang kimto
- Toko kue Pia Ny. Liao
- Kelenteng Tek Hay Kiong
- Kedai teh Baharia
- Jajan kue tempel seketemunya di pinggir jalan
- Kembali ke Stasiun Tegal
Wajah kota tegal sepertinya sedang berbenah. Proses revitalisasi stasiun oleh KAI menyambut kedatangan kami di Tegal. Saya lihat di foto stasiun sebelum renovasi, ada pohon besar yang menaungi area depan stasiun. Sepertinya pepohonan tersebut ditebang. Moga-moga nanti ada ditanam pohon lagi ya.
Trotoar jalan dari stasiun ke arah alun-alun bisa dibilang mewah. Lumayan nyaman dan leluasa bagi pejalan kaki karena lebar, tapi level ketinggian trotoar dari permukaan jalan terlalu tinggi.
Terlihat ada ruang terbuka hijau di Taman Pancasila dan lahan alun-alun. Pemerintah Tegal merevitalisasi kawasan tersebut sejak tahun 2019 dan rampung pada 2021.
Saat saya menyusuri gang kimto dan beberapa gang lain terlihat di tengah jalannya ada jalur (selokan) air ditutup batu beton. Batunya dibolongi ventilasi (apa ya istilahnya?).
Di Gang Kimto kami ngobrol dengan Tante Wiwin, pemilik kantin Lima Sari. Saya bertanya padanya tentang jalan gang yang terbilang cukup mewah karena permukaan jalannya dari batu. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya jalan gang berupa tanah. Sekarang di gang-gang kota tegal wajib ada selokan di tengahnya. Namun proyek infrastruktur jalan gang ini membuat level jalan lebih tinggi dan selevel dengan pintu rumah warga. “Sekarang suka kecium bau juga dari selokannya,” kata Tante Wiwin.
photo courtesy: Retna |
Sepertinya ada perbaikan sarana infrastruktur cukup masif di Tegal ya. Saya googling beritanya dan munculah artikel tentang revitalisasi kawasan alun-alun dan sekitarnya. Biaya perbaikan aspal di alun-alun 4 milyar, ongkos perbaikan trotoar di Jl Ahmad Yani yang disebut malioboronya kota tegal habis 9 milyar.
Mungkin saya beruntung kebagian wajah kota yang sudah layak kondisinya bagi pejalan kaki ini. Namun karena keterbatasan waktu (juga karena googlemap mengarahkan kami ke jalan-jalan kecil), kami tidak melihat alun-alun dari dekat.
Terlepas dari infrastukturnya, berjalan di kota tegal cukup menyenangkan. Meski kepanasan tapi kalau ketemu tempat teduh terasa ademnya. Di ruang tamu toko pia Ny. Liao kami agak lama duduk-duduk di sana. Angin dari luar masuk ke rumah dan semriwing nikmat sekali. Dan pia sari buahnya sangat enak!
Juga di kedai teh artisan Baharia. Saya dan Retna nongkrong dan ngobrol sambil minum teh dingin. Kami duduk di teras.
Langit sore yang biru, angin berhembus, suara daun bergesekan, warga sesekali lewat mengayuh sepeda berlatar tembok gedung tua ala pecinan, ada burung-burung walet terdengar kicaunya. Yang pasti suasana healingnya terasa sekali. Baharia buka pukul 3 sore dan kami satu-satunya pengunjung saat itu.
photo courtesy: Retna |
Namun kami harus beranjak pulang.
Kereta api Airlangga membawa kami kembali ke kota cirebon. Saat kereta berangkat saya menatap jendela dan mengucapkan sampai jumpa lagi pada tegal.
Siapa tahu bisa berjumpa lagi karena saya ingin kembali ke sana, mengajak indra, nabil, dan unis. Tentu saja nanti akan menginap satu malam di Tegal, saya belum mencicipi tradisi minum teh poci ala tegal yang tersohor itu. Hunting buku bekas di pasar alun-alun. Juga belum menyantap nasi lengko, soto tauco, dan sate kambingnya yang aduhai konon lezat.
Tegal, sampai ketemu lagi ya!
*Tulisan tentang makan siang di kantin Lima Sari di Gang Kimto dapat dibaca di sini dan tulisan tentang cakepnya interior arsitektur stasiun tegal dapat dibaca di sini
Post Comment
Post a Comment