Social Media

Image Slider

Obrolan Makan Siang Bersama Tante Wiwin di Gang Kimto

18 October 2024

Pengalaman paling berkesan di Tegal adalah makan siang di kantin Lima Sari yang berlokasi di Gang Kimto. Kami berkenalan dengan pemilik sekaligus koki yang memasakkan kami nasi goreng yancho dan mie ayam: Tante Wiwin. Ia juga menaruh kipas angin tambahan supaya kami tidak kepanasan. 



 

kantin lima sari tegal

 

Mulanya saya dan Retna hendak menuju Nasi Lengko Lumayan di Gang Kimto. Dari stasiun kereta googlemap menuntun kami ke sana. Namun yang tidak kami ketahui, kami berjalan memutar masuk ke belakang jalan utama dan membelah pasar. 


Saat mulai mempertanyakan apakah kami ini kesasar, ketemulah gang yang dimaksud dan saya langsung kalap bersukacita.



 

Karena sepanjang gang tersebut ada banyak rumah tua. Kira-kira mirip di Kauman Jogjakarta. Rupanya kami masuk ke Gang Kimto dari arah belakang. Bukan mulut gang bagian depan.

 

Saya foto jendela tua. Retna memotret pintunya. Kami berusaha tidak berisik dan tidak mengganggu. Gangnya sempit. Sesekali motor dan pejalan kaki lewat. 

 

kantin lima sari tegal


Kami bertemu sebuah rumah tua yang juga kantin bernama Lima Sari. Saya putuskan makan siang di situ saja. Retna setuju. Suasana yang hening dan dikelilingi rumah tua menambah kesan makan siang yang istimewa.


Tante Wiwin menyambut ramah turis-turis basah kuyup ini, maksudnya saya dan Retna yang berkeringat banyak. "Darimana?" tanyanya. Kami menyebut nama Bandung dan ia menyambar "ohhh Bandung! Bandung tuh enak tapi sayang jalannya sempit! macet!" kami tertawa. Tanda perkenalan yang baik. 


Saat menyantap mie ayam, suara ‘dug—dug-dug’ dari tembok sebelah terdengar keras, rapi, bertempo, dan gagah. Suaranya berlangsung agak lama, bertalu-talu sepanjang kami berada di sana 1,5 jam. Suara apakah itu, tanya saya pada Tante Wiwin. 

 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Ibu-ibu bersuara lembut ini cerita bahwa ibunya pedagang bakso sejak tahun 1969. Produksi baksonya rumahan dan ia lakukan sendiri. Tante Wiwin dan ibunya masih tinggal serumah. Kantin dan produksi baksonya bersebelahan. Suara yang kami dengar adalah suara pisau golok mencincang daging sapi dan ikan dari balik dinding. 



 

“Maksudnya ibunya Tante Wiwin yang cincang daging? sendiri?” tanya saya memastikan. 



 

"Iya, ibu saya masih cincang daging sapinya sendiri," katanya lagi. "Umurnya 84 tahun, tangannya kuat wong kalau nonton tv sambil olahraga barbel,” Tante Wiwin cerita sambil memperagakan adegan angkat barbel ke atas kepala dan bawah. 



 

kantin lima sari tegal

 

“Gak pake mesin aja, Tante? kayak blender kan ada yang khusus buat daging," tanya saya sambil elus-elus lengan saya yang berlemak itu. 

 

Ibunya Tante Wiwin tidak mau mencincang dengan blender/chopper karena dagingnya nanti akan berair. “Gak bagus buat adonan bakso,” ucapnya. 



 

Saya bertanya lagi. Kalau boleh tahu berapa berat barbel yang digunakan ibunya Tante Wiwin. “Ah paling sekiloan aja,” jawabnya. Ia menambahkan “jualan baksonya juga sehari sekarang paling banyak lima kilo.” 


 

Saya dan Retna berpandangan. Sepertinya di Bandung nanti kita harus rajin olahraga barbel, Na. Retna setuju. Mungkin angkat barbelnya sambil nonton drakor atau skroling reels. 



 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Berarti sudah 55 tahun mereka berdagang bakso. Sudah puluhan tahun juga ibunya Tante Wiwin olahraga angkat beban -sambil nonton tv- agar kekuatan otot tangannya terbangun dan sanggup mencincang daging sapi sendiri. Walah betapa ini fakta yang menakjubkan. 



 

Saat pamit pada Tante Wiwin, kami mengintip-ngintip ke jendela sebelah. Di sanalah ada sosok perempuan sedang berjalan perlahan, agak bungkuk, tersenyum pada kami, dan sedang siap-siap mau mencincang daging sapi entah batch cincangan yang ke berapa. 



Tiba-tiba saya berpikir ulang tentang konsep pensiun dini.

Kereta Tiba Pukul Lima di Stasiun Tegal

16 October 2024

Dari Cirebon kami menumpang kereta api pagi ke Stasiun Tegal. Pukul 10.41 kami tiba di tujuan dan wow terbengong-bengong memandang interior arsitektur bangunan stasiunnya, cantik sekali! 

 

 


Berjodoh juga saya dengan kota ini. Seperti Cirebon, ketinggian Tegal dari permukaan air laut hanya 4 m. Dengan begitu saya pun sudah siap menghadapi hawa panasnya, dengan payung!

Namun sebelum menginjakkan kaki keluar stasiun, saya dan Retna melihat-lihat bangunan utama stasiunnya. Walah indah sekali. Bangunan utama berbentuk kubus. 

 

Di dinding timur dan barat ada dekorasi kaca patri. Pada dinding bagian barat ada satu kaca patri besar melengkung. Semua orang diarahkan langsung masuk ke gate tiket atau duduk di ruang sebelah. Kami memandang interior Stasiun Tegal itu dengan berdiri. 

Mungkin hanya petugas tiket dan punggung kitalah yang akan menyaksikan betapa menawannya dinding barat tersebut. Sebab gate keberangkatan membuat penumpang berdiri membelakangi dinding tersebut.

 

Orang-orang pun hanya mondar-mandir dari sayap kiri gedung ke kanan dan sebaliknya. Jadi teman-teman, bila nanti ada kesempatan mengunjungi Tegal melalui jalur kereta api, tengoklah sebentar keindahan interior arsitekturnya itu. Luar biasa cakepnya.

Karena dinding berkaca patri di pintu masuk itu mengarah ke barat, kalau cahaya senja meluap-luap tentu terbayang bagaimana bayangan dan berkasnya jatuh ke dalam gedung stasiun. Sewaktu saya di sana matahari sorenya tidak terlalu berkilau, sore yang kelabu. Padahal siang harinya panas mentrang. 

 


atap stasiun tegal

Walau demikian saya kebagian sedikit berkas cahaya suci itu dan kamera hp android megap-megap memotretnya. Sedangkan mata saya  menangkap keindahan senja di Stasiun Tegal itu dengan manis.


Bagian atap stasiun tidak kalah manisnya. Atapnya menjulang tinggi dan terbuat dari susunan balok kayu. Mirip tumpangsari. Jujur saja itulah langit-langit bangunan stasiun tercantik yang pernah saya lihat. Saya beruntung bisa menyaksikan itu semua.  

Stasiun Tegal dibangun tahun 1885. Beda setahun dengan umurnya Stasiun Bandung. Tapi umur kota beda jauh. Umur kota tegal 444 tahun sedangkan kota bandung masih anak-anak yakni 214 tahun. Info lain-lainnya tentang stasiun ini bisa teman-teman baca di wikipedia. Namun ada satu fakta menarik yang saya temukan waktu googling arsitek bangunan Stasiun Tegal: Henri Maclaine Pont.

Maclaine Pont adalah juga arsiteknya bangunan ikonik nan cantik di Bandung bernama Aula Barat dan Aula Timur ITB. Menarik sekali sebagai orang bandung saya bisa terhubung dengan kota tegal karena ada jejak arsitek kolonial yang sama, selain warteg dan teh pocinya itu. Hehe. 

 

stasiun tegal


Retna dan saya memotret habis-habisan bangunan Stasiun Tegal. Namun saat berfoto di luar saya tidak bisa berkutik. Mataharinya serasa di atas kepala. Payung masih saya simpan dalam tas. Temperatur saat itu 34 derajat celsius. Pukul 11 siang. Panas ngabetrak!

Dari Bandung ke Tegal pergi - pulang satu hari:
1. Naik shuttle Bhinneka jurusan kota Cirebon pukul 6.15
2. Di Cirebon, naik gojek ke Stasiun Prujakan
3. Beli tiket goshow ke Tegal, Rp35.000
4. Menumpang KA Kaligung pukul 9.10
5. Sampai di Tegal pukul 10.41
6. Kembali ke Stasiun Tegal naik KA Airlangga tujuan Cirebon pukul lima sore
7. Turun di Stasiun Prujakan pukul 18.45
8. Naik gojek ke pool travel/shuttle
9. Otw ke Bandung naik shuttle Bhinneka pukul 19.30
10. Sampai di Bandung 21.30

 

stasiun tegal sore hari
stasiun tegal kala senja


Jam keberangkatan dan kepulangan bisa berubah tergantung jadwal kereta api yang sewaktu-waktu bisa berubah juga. Namun bila teman-teman ada rencana trip ke Tegal sebagaimana saya, maka bisa contek jadwal di atas. Kalau ketemu shortcut Bandung-Tegal yang lebih cepat juga boleh dibagikan infonya di komen.

Pergi pulang satu hari memang melelahkan. Idealnya menginap dan menikmati Tegal seluas-luasnya. Namun tidak semua orang memiliki keistimewaan yang ideal itu. Waktu tidak banyak, budget tidak berlebih. Adanya segitu ya dinikmati dan dijalani saja yang ada. Tujuh jam di Tegal bagi saya sendiri sangat terasa nikmatnya.

Jadi jalan-jalan ke Tegal kan? Jadilah hayuk!

Tujuh Jam Melancong di Sekitar Alun-Alun Tegal

15 October 2024

Hanya tujuh jam saja kami mubeng-mubeng 13.000 langkah sekitar stasiun kereta api dan alun-alun. Menu utama plesiran yang saya dan Retna lakukan adalah melihat rumah-rumah kuno kota Tegal.

jalan-jalan di alun-alun tegal
photo courtesy: Retna


Jalanan Tegal lengang.  Meski hawa terik matahari langsung membantai kami sejak keluar dari pintu stasiun rasanya hati ikut kebawa lega karena kondisi trafik yang tenang. Kira-kira pukul 11 siang waktu kami menapaki trotoar jalan.
 

Enak ya gak macet, pikir kami. Lalu kesadaran itu datang, bahwa sepertinya kami saja yang jalan-jalan di siang bolong nan terik. Bahkan di Bandung pun saya akan berpikir hal yang sama sebagaimana warga Tegal: ngapain siang-siang panas-panas keliaran di jalan.

Namun semangat turis beda. Kami rela berjalan kaki jauh dan panas-panasan. Bagaimana lagi. Kalau sudah cinta pasti senang hati melakukannya. Kata Alberto Camus "cinta adalah keinginan yang menyengsarakan tapi jangan berpikir kalau cinta tidak berguna". 

Dan tentang panasnya Tegal saya tidak bisa bercerita banyak. Luar biasa. Orang Bandung darah murni seperti Indra, suami saya, pasti akan kalang kabut dibuatnya. Kalau darah campuran ala saya dan Retna masih sanggup menghadapinya tanpa lolongan keluh kesah.

Retna merupakan teman yang saya kenal di tur jalan kaki kota parakan tahun 2023. Ia juga menginisiasi grup jalan-jalan santai di Bandung bernama Mapah Sareng. Hamdalah dalam trip tegal ini saya berjodoh dengannya dan dia banyak memotret saya (dari belakang). Mungkin retna bisa nyambi dari profesi apotekernya dengan merintis usaha fotografi traveling. Ada bakat motret soalnya. Semua foto yang ada dalam artikel ini dijepret olehnya. Makasih banyak, Retna!

 

 

Berkat bantuan teman lainnya pula tujuan perjalanan ke tegal ini jadi konkrit. Saya mencontek hampir semua lokasi tujuan berdasarkan foto-foto di instagram Aditya Indi. Makasih ya, Kang Adit! Postingan tentang rumah tua dan kota-kota kecil yang paling banyak saya save post di media sosial pasti dari feednya beliau. Bantuannya sangat detail sampai-sampai mengirim link googlemap. Dengan mudah saya membuat perkiraan waktu dan jarak antar lokasi.

Pada prakteknya ada beberapa tujuan yang kami lewat. Seperti nasi lengko gang kimto dan kue tempel yang berada di Jl. HOS Cokroaminoto. Semua lokasi tujuan ini kami sambangi berjalan kaki, sesuai urutan.

  1. Stasiun Tegal
  2. Gedung SCS yang antik, berada di seberang stasiun kereta api
  3. Gedung menara air
  4. Makan siang di Kantin Lima Sari di gang kimto
  5. Toko kue Pia Ny. Liao
  6. Kelenteng Tek Hay Kiong
  7. Kedai teh Baharia
  8. Jajan kue tempel seketemunya di pinggir jalan
  9. Kembali ke Stasiun Tegal


Wajah kota tegal sepertinya sedang berbenah. Proses revitalisasi stasiun oleh KAI menyambut kedatangan kami di Tegal. Saya lihat di foto stasiun sebelum renovasi, ada pohon besar yang menaungi area depan stasiun. Sepertinya pepohonan tersebut ditebang. Moga-moga nanti ada ditanam pohon lagi ya. 

Trotoar jalan dari stasiun ke arah alun-alun bisa dibilang mewah. Lumayan nyaman dan leluasa bagi pejalan kaki karena lebar, tapi level ketinggian trotoar dari permukaan jalan terlalu tinggi. 

 

Terlihat ada ruang terbuka hijau di Taman Pancasila dan lahan alun-alun. Pemerintah Tegal merevitalisasi kawasan tersebut sejak tahun 2019 dan rampung pada 2021.

Saat saya menyusuri gang kimto dan beberapa gang lain terlihat di tengah jalannya ada jalur (selokan) air ditutup batu beton. Batunya dibolongi ventilasi (apa ya istilahnya?).

Di Gang Kimto kami ngobrol dengan Tante Wiwin, pemilik kantin Lima Sari. Saya bertanya padanya tentang jalan gang yang terbilang cukup mewah karena permukaan jalannya dari batu. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya jalan gang berupa tanah. Sekarang di gang-gang kota tegal wajib ada selokan di tengahnya. Namun proyek infrastruktur jalan gang ini membuat level jalan lebih tinggi dan selevel dengan pintu rumah warga. “Sekarang suka kecium bau juga dari selokannya,” kata Tante Wiwin.

pecinan tegal
photo courtesy: Retna

 

Sepertinya ada perbaikan sarana infrastruktur cukup masif di Tegal ya. Saya googling beritanya dan munculah artikel tentang revitalisasi kawasan alun-alun dan sekitarnya. Biaya perbaikan aspal di alun-alun 4 milyar, ongkos perbaikan trotoar di Jl Ahmad Yani yang disebut malioboronya kota tegal habis 9 milyar.

Mungkin saya beruntung kebagian wajah kota yang sudah layak kondisinya bagi pejalan kaki ini. Namun karena keterbatasan waktu (juga karena googlemap mengarahkan kami ke jalan-jalan kecil), kami tidak melihat alun-alun dari dekat.  

Terlepas dari infrastukturnya, berjalan di kota tegal cukup menyenangkan. Meski kepanasan tapi kalau ketemu tempat teduh terasa ademnya. Di ruang tamu toko pia Ny. Liao kami agak lama duduk-duduk di sana. Angin dari luar masuk ke rumah dan semriwing nikmat sekali. Dan pia sari buahnya sangat enak!

Juga di kedai teh artisan Baharia. Saya dan Retna nongkrong dan ngobrol sambil minum teh dingin. Kami duduk di teras. 

 

Langit sore yang biru, angin berhembus, suara daun bergesekan, warga sesekali lewat mengayuh sepeda berlatar tembok gedung tua ala pecinan, ada burung-burung walet terdengar kicaunya. Yang pasti suasana healingnya terasa sekali. Baharia buka pukul 3 sore dan kami satu-satunya pengunjung saat itu.

 

pecinan tegal
photo courtesy: Retna


Namun kami harus beranjak pulang.

Kereta api Airlangga membawa kami kembali ke kota cirebon. Saat kereta berangkat saya menatap jendela dan mengucapkan sampai jumpa lagi pada tegal.

Siapa tahu bisa berjumpa lagi karena saya ingin kembali ke sana, mengajak indra, nabil, dan unis. Tentu saja nanti akan menginap satu malam di Tegal, saya belum mencicipi tradisi minum teh poci ala tegal yang tersohor itu. Hunting buku bekas di pasar alun-alun. Juga belum menyantap nasi lengko, soto tauco, dan sate kambingnya yang aduhai konon lezat.

Tegal, sampai ketemu lagi ya!



*Tulisan tentang makan siang di kantin Lima Sari di Gang Kimto dapat dibaca di sini dan tulisan tentang cakepnya interior arsitektur stasiun tegal dapat dibaca di sini

Bermalam Minggu di Yoghurt Cisangkuy

07 October 2024

Pukul lima sore motor kami meluncur dari rumah ke arah pusat kota Bandung yang macet di hari sabtu. Tujuan saya hanya semangkuk baso malang di Jalan Burangrang. 



Jalan Burangrang padat luar biasa di titik restoran baso yang saya tuju. Keramaian berasal dari Bakso Tjap Haji yang berada persis sebrang-sebrangan dengan resto baso langganan saya, Bakso Malang Enggal. 

Memang yang satu itu situs kuliner fenomenal di Bandung sejak pandemi sampai kini, ya maksud saya Tjap Haji itu. Parkirannya selalu ramai. Luar biasa. 

Saya dan indra menyantap baso langganan saja. Sudah lama tidak makan malam di sini. Pengunjungnya belum ramai. Juga harganya makin mahal. Berdua bayarnya sekitar tujuh puluh ribuan. 

Syukurlah rasanya masih enak. Kami makan tanpa bicara. Mungkin sedang lapar-laparnya. 

Setelah kenyang barulah saling ngobrol. Tentang video-video tiktok yang saya bookmark, juga lucunya video dari facebook yang indra save. Zaman apa ini, tema obrolannya video viral kok bisa. Bisa ternyata. Haha. 

Beranjak ke Jalan Sancang kami salat magrib. Wangi semerbak bunga di halaman parkirnya nikmat sekali. "Bunga apa sih?" tanyaku pada Indra. Dia menunjuk pohonnya tapi tidak tahu namanya. 

Malam masih pagi. "Muter-muter aja dulu yuk ke mana gitu," kata Indra. 

Menuju utara kami terhimpit macet di Dago dan Dipati Ukur. Gila macetnya bikin mual. 

Ke Yoghurt Cisangkuy kami putuskan bersarang sebentar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Emang masih buka restonya?" kutanya lagi. Masih ternyata, tutupnya pukul 21.00

Jalan Cisangkuy juga padat orang-orang. Bila dahulu hanya ada resto Yoghurt Cisangkuy, sekarang berderet-deret tempat kuliner di sana, yang bintang empat sampai kaki lima. Metet! 

Bangku-bangku di Yoghurt Cisangkuy tidak terlalu penuh. Saya pesan yoghurt dan sedikit camilan. "Sudah berapa abad kita gak makan di sini ya?" kami berdua tertawa getir, waktu cepat terbangnya dan kita makin tua. 

Juga agak syok saat bayar di kasir. Rp113.000 untuk dua gelas yoghurt, sepotong cheesecake jadul, sepotong bolu tape, dan empat potong kue kastangel. 

Namun suasana restonya menyenangkan. Kami duduk di bangku kayu dan ngobrol sampai restonya tutup. 


Ritual pulang ke rumah selalu sama: cek googlemap mencari rute jalan yang lengang. Malam minggu pukul sembilan macet Bandung sedang menyala. Dibutuhkan bantuan peta digital agar tidak terjebak dalam pusaran silau macetnya