Coba bayangin ada acara seperti itu di kabupaten: walking tour di Cicalengka. Namanya juga penasaran, saya daftar sekaligus buat empat orang. Saya ajakin orang-orang di rumah ayo ikut yuk! Mumpung soalnya. Dalam bayangan saya mungkin tur jalan kakinya berlangsung satu kali, yang kedua kalinya akan selang beberapa bulan mendatang atau entah kapan.
Tentang Cicalengka hanya pahlawan pendidikan Dewi Sartika yang saya ketahui dari buku biografinya. Usai tur berjudul Aloen-Aloen Tjitjalengka (25/6/2023) ini saya tahu kalau di masa kolonialnya Cicalengka pernah menjadi ibukota kabupaten.
Beberapa tokoh penting pernah bermukim dan melintasinya. Ada Djuanda, Soekarno, arsitek terkenal Wolff Wchoemaker, dan Umar Wirahadikusumah.
Ir. H. Djuanda adalah perdana menteri Republik Indonesia dan inisiator Deklarasi Djuanda yang mengubah sistem ketatalautan dan zona teritorial Indonesia. Namanya abadi menjadi nama jalan yang populer dengan nama Dago, taman hutan raya, bandara, dan kita dapat melihat wajahnya dalam lembar uang 50.000.
Djuanda kecil menempuh pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar warga eropa dan bangsawan) yang kini menjadi SMPN 1 Cicalengka. Masa remajanya bolak-balik naik turun di Stasiun Cicalengka - Stasiun Bandung demi bersekolah di HBS (SMA 3). Ayah Djuanda sendiri guru di HIS (sekolah belanda untuk bumiputra) yang sekarang berfungsi sebagai SDN VIII Cicalengka.
Dalam tur jalan kaki Cicalengka ini kami diajak melihat kedua bangunan fisik sekolah tersebut. Yaitu SMPN 1 di Jl Dipati Ukur dan SDN VIII di alamat Jalan Raya Barat.
Kedua bangunan itu masih menyisakan bagian kunonya. Terlihat skala ruangnya berbeda jauh. Bangunan SMP 1 bekas sekolah dasar eropa lebih megah dan tinggi. Jendela dan pintunya besar-besar. Lokasinya tepat di depan Alun-Alun. Sedangkan SDN VIII yang dahulu sekolah khusus pribumi bangunannya lebih kecil begitupun jendelanya. Lokasinya agak menjauh dari Alun-Alun.
Dari situ saja terlihat perbedaan sekolah kolonial dan sekolah pribumi. Sebuah perbandingan menarik, status sosial sejarahnya masih bisa saya lihat berkat kondisi fisik bangunan yang masih ada.
Tur berlangsung sekitar dua jam saja. Menurut saya waktunya sudah ideal. Saat saya mengikuti walking tour di kota Yogyakarta, durasinya dua jam juga.
Meskipun hanya dua jam, ada banyak bangunan tua yang kami lihat secara fisik dan secara gaib. Hehe melihatnya dengan mata batin karena bangunannya memang tidak ada. Sudah berganti rupanya. Seperti bangunan sekolah agama yang bersebelahan dengan kantor kecamatan. Juga penjara yang kini menjadi gudang pegadaian.
Bumi Kapungkur adalah situs kuno paling berkesan buat saya. Bentuknya rumah tinggal bergaya arsitektur artdeco (bulat-bulat bentuknya dan banyak dekorasi rumah). Warga mempercayai rumah tersebut sebagai rumah keluarga Dewi Sartika.
Cicalengka berjarak 32 km dari Alun-Alun Bandung dan identik dengan pahlawan Dewi Sartika yang pernah bermukim di rumah pamannya patih cicalengka. Di sanalah jiwa aktivisnya tumbuh. Saat orangtuanya bebas dari pengasingan dan kembali ke Bandung, Dewi turut pulang dan membawa angin perubahan dalam pendidikan perempuan.
Rumah patih yang pernah didiami Dewi Sartika bukanlah Bumi Kapungkur, melainkan berada di kompleks sekolah SMP 1 di Alun-Alun. Tur jalan kaki ini meluruskan fakta yang kabur tersebut.
Sofia Riyanti, pemilik rumahnya, mengatakan penghuni rumah merupakan generasi ke-4. Tentang apakah betul Bumi Kapungkur rumah keluarga Dewi Sartika, Sofia mengatakan hal sebaliknya. “Rumah kami bukan rumah keluarga Ibu Dewi Sartika.”
Sofia melanjutkan cerita, saat itu buyutnya, H. M Samsudi, menikah dengan anak pertama camat Cicalengka. Samsudi merantau dari Palembang dan berprofesi pedagang akar wangi dan ulat sutera. Setelah menikah ia menetap di Cicalengka dan bermukim di rumah yang dibangun tahun 1928 itu.
Obrolan tentang profesi Samsudi terdengar menarik, yaitu usaha ulat sutera dan akarwangi. “Memang pernah ada bisnis benang ulat sutera di Cicalengka tapi hasil panen ulatnya tidak terlalu bagus”, kata Ibu Sofia. “Kecil-kecil ulatnya sehingga usaha tersebut tidak berlangsung lama juga,” ujarnya lagi.
Bila berpatokan ke Jalan Dewi Sartika lokasi Bumi Kapungkur di sebelah utara. Di masa kini rumahnya bersanding padat dengan rumah-rumah lainnya, juga di seberangnya arah selatan. Saya mengintip di sedikit di belakang rumah-rumah itu dan terdapat areal pesawahan yang luas dan indah. Sistem pesawahannya terasering.
Saat itu pukul sembilan pagi dan sinar matahari sedang cantik-cantiknya menyentuh pucuk-pucuk padi pesawahan. Saya membayangkan diri menjadi Samsudi dan ngopi-ngopi di teras rumahnya, menghadap pemandangan itu semua di tahun 1930. Betapa indahnya.
Saya pikir akan menarik bila tur Cicalengka mampir sebentar melihat pemandangan pesawahan itu. Cerita nostalgia sejarahnya akan bulat karena relevan dengan kejadian masa kini, yaitu tentang mata pencaharian warga Cicalengka dan kondisi areal pesawahannya.
Sebelum tur dimulai saya sempet bertanya profesi warga Cicalengka mayoritas apa. “Kebanyakan buruh tani, buruh pabrik, dan buruh harian lepas” jawab Nurul Maria Sisilia ketua pelaksana tur jalan kaki Cicalengka.
Saat ini terhitung jumlah penduduk Cicalengka 122.991 (bandungkabs.bps.go.id). Dilansir dari sumber yang sama, pekerjaan warga terbanyak adalah buruh harian lepas, wiraswata, dan pekerja swasta. Sementara komoditas pertaniannya yang utama adalah jagung, cengkeh, dan tembakau.
Cicalengka menjadi lumbung pertanian dan perkebunan di masa kolonial. Tanaman kopi, teh, dan kina dibudidayakan. Rencana pemerintah belanda memindahkan pusat kepemimpinan dan militer ke kawasan Bandung melahirkan infrastruktur kereta api dan Stasiun Cicalengka.
Stasiun Cicalengka yang mulai beroperasi tahun 1884 ini menjadi jantungnya mobilisasi perekonomian karena mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke kota Bandung dan Batavia (Jakarta). Saat ini bangunan utama stasiun yang bersejarah terancam dibongkar berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kereta api cepat.
Di stasiun yang sama pula tahun 1929 calon presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, turun dari kereta asal Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju penjara Banceuy. Soekarno saat itu dianggap salah satu tokoh penggerak kemerdekaan dan kemunculannya sebagai tahanan pemerintah kolonial di stasiun Bandung akan memicu keributan. Oleh karena itu beliau berhenti di Stasiun Cicalengka alih-alih Stasiun Bandung.
Di akhir tur kami dituntun ke kantor kecamatan. Di sana ada pertunjukan musik keroncong dan pameran foto Cicalengka tempo dulu, durasi acaranya bertambah. Ada juga kuisnya dan saya berhasil mendapatkan satu tas selempang kecil warna hitam bertuliskan “Tjitjalengka Historical Trip”. Duh senangnya!
Tur jalan kaki yang sangat menarik. Pendaftarannya melalui instragram mereka di nama akun @tjitjalengka.historical.
Senang saya bisa tahu lebih banyak dari hari-hari kemarin. Bahwa di Cicalengka ada banyak tokoh penting yang bermukim di sana itu juga fakta menarik.
Jadi ingat buku perjalanan Sigit Susanto berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Dia tinggal di Swiss dan sering jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Minatnya pada sastra dan politik. Karenanya dia bertandang ke kota-kota pelosok kecil menyusuri jejak para tokoh panutannya. Bisa ya di sana keberadaan para tokoh itu diabadikan dan jadi situs wisata; rumahnya, makamnya, sampai warung kopi tempatnya nongkrong.
Bila saja Cicalengka bernasib seperti desa-desa di eropa itu, waduh betapa bergairahnya wisata (sejarah) di Bandung.
Terima kasih kepada Tjitjalengka Historical Trip yang meriset dan merancang perjalanan singkat tersebut. Benar-benar gerakan progresif buatan anak kabupaten. Sesuai taglinenya tur jalan kaki ini, hari itu saya melihat sejarah besar di kota kecil.