Buku ini kubaca awal Januari. Judulnya bagus jadi saya kesengsem membelinya dan semangat bacanya.
Isinya berupa kumpulan reportase dalam catatan perjalanan oleh jurnalis senior Tempo, Arif Zulkifli. Tulisannya berlatar dalam negeri dan mancanegara.
Tulisan jagoannya ada di halaman-halaman awal, tentang pertemuan Arif dengan pendiri GAM (Gerakan Aceh Merdeka) berjudul: Dua Jam Bersama Hasan Tiro.
Karena ada cerita di balik layar penulisannya jadi saya terhanyut dalam reportase tersebut. Padahal saya gak paham-paham amat tentang Hasan Tiro dan GAM. Tulisan-tulisan lain sama lenturnya tapi buatku tidak seistimewa artikel tentang Hasan Tiro itu.
Saat wawancara Hasan Tiro, ia tidak boleh mencatat. Jadi dia tulis semua hal dalam ingatannya, mulai dari pakaian, cara berjalan, rambut, warna gigi, keriput kulit, buku-buku, suara musik klasik, guman geram, sorot mata, dan tarikan napas. "Saya merekam semua kejadian dalam ingatan karena menyadari satu goresan saja di buku catatan akan merusak suasana pertemuan langka tersebut," gitu katanya.
Bertanya-tanya juga saya bagaimana cara jurnalis mencatat tanpa menulis. Dua jam ngobrol dengan Hasan Tiro, tidak mencatat satu huruf pun, tapi tulisannya detail dan rinci.
Seperti tertulis di halaman 5 “Tiba-tiba Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach, Toccata and Fugue dan Air on the String G. String sayup-sayup segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola dan naskah drama yang saya baca pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu termenung. Tubuhnya disorongkan ke depan. Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen.”
Senang juga baca buku kayak gini, lumayan buat mengasah sudut pandang. Ada cerita-cerita Arif dari berbagai mancanegara dan di seantero Indonesia. Kalo bepergian saya cuma bersikap sebagai pelancong aja.
Sementara jurnalis selalu punya sudut pandang menarik dan mengupasnya secara runut dan menjawab persoalan. Atau memberi pembacanya persoalan yang harus kita pikirkan sendiri jawabannya.
Masalahnya kalo jadi pelancong gak kepikiran persoalan. Makanya orang bandung saat jalan-jalan ke jogja akan selalu terkenang-kenang jogja, dan sebaliknya. Kita gak (mau) tahu persoalan kota yang kita kunjungi jadi berasa indah saja semua-muanya.
Beda memang bobot catatan perjalanan buatan jurnalis. Bertabur data, komprehensif, dan ujung-ujungnya jadi reflektif atau provokatif. Yah namanya juga reportase pastilah berbeda dengan catatan netizen sepertiku dan kamu. Hehe.
Bukunya dapat beli di instagram @kiosojokeos. Terdiri dari 350 halaman. Penerbitnya Tempo jadi kualitas font, tipografi, kertas, dan urusan teknis lainnya tidak ada masalah bagi pembaca. Terbitnya November 2022.