Ada seorang arsitek, seniman, kolektor, sekaligus pebisnis tembakau yang kebon tembakaunya berada di Parakan. Chris Darmawan namanya. Ia membeli rumah tua di Parakan dan mengkonservasinya. Tahun 2022 rumah tersebut menjadi rumah percontohan museum peranakan dan menjuarai Ikatan Arsitek Indonesia Heritage Awards.
Ini rumah dengan kondisi paling segar dari empat rumah yang saya kunjungi di Parakan. Bersih dan sangat terawat. Rumah ini sebetulnya adalah rumah lama yang sudah melalui proses konservasi. Oleh Pak Chris rumah ini dijadikan museum dan galeri rumah peranakan. Beliau sendiri kini bermukim di Semarang, tapi semasa kecilnya hingga bangku SMP ia tinggal di Parakan.
Peranakan tionghoa adalah budaya percampuran yang terjadi karena pernikahan antara orang tionghoa dengan orang indonesia.
Di kota Parakan ini percampuran budaya terjadi dengan etnis Jawa. Dalam proses akuturasi budaya tersebut, pengaruh budaya kolonialnya ikut bercampur mengingat saat itu pemerintah kolonial yang berkuasa.
Museum inilah yang memperlihatkan campuran budaya tersebut. Terdiri dari dua bangunan, ada gaya tionghoa dan eropa di sini. Di antara kedua bangunan tersebut ada taman kecil tanpa atap.
Bangunan di depan bergaya peranakan tionghoa. Lengkap dengan altar sembahyang dan berbagai perabotan khasnya. Bangunan kedua bergaya kolonial, lebih kelihatan western karena ada dekorasi melengkung yang katanya Mas Bayu, pemandu saya, itu khas eropa.
Museum ini berpagar pendek, ada dua daun pintunya. Meski ada teras sempit, dari pagar kita langsung ketemu pintu rumah dan dua pintu jendela di sisi kanan kiri.
Rumah-rumah tua yang saya saksikan di Parakan penampakan luarnya sederhana dan tidak terlalu mencolok kecuali ukuran tembok bangunan yang tinggi. Namun tunggu sampai kamu lewati pintu masuknya. Barulah terlihat kemegahannya yang memukau.
Di museum ini sebelum masuk lewati pintu, Mas Bayu si pemandu meminta kami mendongakkan kepala. Di atas kami ada Thawkong, penyangga kuda-kuda yang menonjol ke luar. Wah indah sekali peyangganya, craftmanship tukang-tukang zaman dulu memanglah rumit dan penuh detail. Ukirannya mengagumkan dan njelimet.
Dalam buku Living Heritage Parakan disebut “kuda-kuda itu bukan sekadar bagian dari struktur bangunan, melainkan dibuat untuk menyenangkan mata yang memandangnya. Indah tanpa mengurangi kegaharannya sebagai penyangga kuda-kuda”. Dekorasi zaman dulu memperhatikan sekali kerinciannya sampai-sampai hal yang luput dari mata biasa saja tetap dibuatnya penuh dedikasi dan cantik sekali.
Masuk ke dalam bangunan kita akan bertemu altar sembahyang. "Rumah peranakan pasti ada altarnya," kata Mas Bayu. Semua rumah peranakan yang saya kunjungi altarnya berada tepat di hadapan pintu masuk rumah. Ada juga yang agak menyamping sedikit seperti di Omah Tjandie tempat saya melihat pembuatan Bolu Cukil Cap Tomat.
Di sisi kiri dan kanan ada ruangan tanpa pintu, ada kursi-kursi jati khas tionghoa di sana. Alas duduknya batu marmer. Enak betul saat kududuki terasa sejuk dan adem ke bokong.
Dekorasi guci tersimpan di berbagai pojok ruangan. Saya khawatir salah gerak sehingga menyenggol gucinya. Guci-guci kuno berusia ratusan tahun soalnya. Bila membawa anak kecil sebagai peserta tur baiknya diaping betul-betul di sini.
Pak Chris menjaga ruh rumahnya seperti dahulu kala. Lantai dalam museum berupa tegel berwarna hitam pola kembang. Meski pola tegelnya terlihat antik, tapi cetakannya baru.
Bukan hanya arsitekturnya yang diperhatikan tapi juga sampai ke perabotannya: foto, lukisan, meja marmer dan kayu,
kursi berukir yang kayu swancinya didatangkan dari Tiongkok, guci-guci kuno, lampion, ranjang, sampai tempat menggantung
sandal dan kain, juga wadah untuk mencuci wajah lengkap dengan cerminnya.
Saat membeli rumah tua ini, Pak Chris memang bertujuan mengembalikan rumah ke kondisi kejayaannya. Proses konservasi dilakukan dengan riset agar rumah tersebut lahir kembali dan semirip mungkin dengan kondisinya dahulu saat dihuni pemilik pertama rumah, keluarga Siek Kiem Tan.
Kepemilikan rumah ini berpindah-pindah tangan. Mulanya milik Siek Kiem Tan, juragan gambir yang bisnisnya moncer sampai-sampai gambirnya diekspor. Siek Kiem Tan wafat tahun 1935.
Mas Bayu pemandu dari
PIPPA cerita bahwa gambir digunakan sebagai pewarna pakaian. Selain
tembakau, Parakan ini surganya gambir.
Saking kesohornya
keluarga Siek dan bisnis gambir, juga rumah-rumah tinggal lainnya yang
berbisnis sama, lokasi rumah mereka bernama Gambiran. Kini nama jalannya
menjadi Tejo Sunaryo. Namun warga Parakan masih menyebutnya jalan
gambiran.
Selain mongkonservasi bangunan tua, Pak Chris juga berinisiatif membuat buku mengenai rumah-rumah tua di Parakan. Judulnya Living Heritage Parakan. Penulisnya Lily Wibisono dan fotografernya Feri Latief.
Saya membaca bukunya di perpustakaan Telkom University di Bandung. Setelah membacanya, terasa betul penyusunan buku ini sangat istimewa.
Bukan saja ia mengarsip proses konservasi rumahnya sendiri, tapi juga meriset rumah-rumah kuno yang berada di Parakan. Ada wawancara dengan pemilik rumah. Riset dan pengumpulan datanya pasti gak mudah. Saya merasa beruntung sudah membaca bukunya dan akhirnya bisa juga berkunjung ke Parakan.
Kuharap kota-kota lainnya di Indonesia juga mendapatkan anugerah seseorang dengan privilege seperti Pak Chris. Harusnya ini tugas pemerintah sih tapi ya sudahlah bisa ngarep apa dari pemerintah
Di youtube ada arsip diskusi #ObrolanHeritage 54 bertema Parakan: Living Heritage, diskusi ini berlangsung saat pandemi tahun 2020. Saya mengakses videonya karena penasaran saja apakah yang diobrolkan ada rumah yang saya datangi. Ternyata iya.
Dalam diskusi tersebut Chris Darmawan cerita bahwa rumah yang jadi museum peranakan itu tidak menggunakan semen dalam pembangunannya. Sebab itulah di proses konservasi dia juga melakukan hal yang sama.
Jadi Pak Chris menggunakan campuran bata merah yang ditumbuk, batu kapur, dan pasir. Komposisinya 2:1:1. Ia juga mengatakan rumah tersebut tidak menggunakan bata merah tapi bata mentah yang terbuat dari campuran tanah dan air. "Tebal batanya 50 cm," katanya lagi. Bahan bakunya memang tidak ada lagi sehingga Pak Chris menyiasatinya dengan teknik yang kira-kira mirip. Mungkin begitu.
Ini wujud rumah lama yang baru. Saya melihat foto-foto lama rumah ini sebelum ‘dibersihkan dan diperbaiki’ dan berada di dalamnya hari itu rasanya seperti melihat sesuatu bangkit dari kuburnya, dalam makna yang baik.
Mengunjungi museum peranakan ini sepertinya harus by appointment dulu. Kontak PIPPA untuk mendapatkan izin dan panduannya.
Saya beruntung bisa menyaksikan rumah peranakan yang kini jadi museum tersebut. Makasih, Alon Mlampah yang ajak saya berkunjung ke Parakan.
Met siang, mau tanya kalo mau berkunjung disini hrs hub di telp brp ? Dgn siapa ? Trims utk infonya.
ReplyDelete