Perkebunan priangan memasok banyak uang ke kantong pemerintahan Belanda di masa kolonial. Bagi pribumi sebaliknya, kehadiran perkebunan komersial tersebut memberi penderitaan. Sistem tanam paksa menjadikan tanaman kopi sebagai kutukan.
Namun dari hasil perkebunan Bandung berkembang. Tadinya hutan belantara menjadi kota besar. Jalur transportasi dan komunikasi dibuat dan roda perekonomian berputar cepat, hingga Bandung hampir menjadi ibukota Hindia Belanda.
Perjalanan sejarah Bandung di masa kejayaan perkebunan priangan itu dapat kita baca dalam buku Pesona Sejarah Bandung yang ditulis Ryzki Wiryawan. Buku ini merupakan buku berbabak.
Saya membaca kedua bukunya dan menurutku ini buku yang jenius. Limpahan datanya lengkap dan kronologis rentetan peristiwa sejarahnya ditulis teratur dan ringan. Cocok dibaca sebagai acuan bagi pelajar, mahasiswa-mahasiswi, pemandu perjalanan, peneliti, pecinta sejarah, maupun warga kayak saya pada umumnya.
Babak pertama bukunya terbit tahun 2020 dibuka dengan judul Bandung Hingga Awal Abad 20. Babak kedua rilis tahun 2022 bertajuk Perkebunan di Priangan. Ryzki mengatakan buku Pesona Sejarah Bandung akan terbit sebanyak enam jilid dan tiap jilidnya mempelihatkan babak sejarah Bandung yang berbeda-beda.
Dalam diskusi buku #KajianJumaahan di Kedai Jante pada jumat malam 20/01/2023, Teh Nurul Sisilia secara jeli membahas topik kopi dan teh. Sehingga obrolan buku Pesona Sejarah Bandung mengerucut pada nasib perkebunan di masa kini dan budaya minum air teh dan kopi.
suasana di Kedai Jante, Jl Garut 2 |
Dalam buku Pesona Sejarah Bandung disebutkan kopi adalah kutukan dan teh merupakan anugerah, sebaliknya hari ini di tahun 2023 tanaman kopi adalah anugerah dan daun teh itu kutukan.
Salah satu pengunjung diskusi, Sopian, mengatakan harga kopi perkilogram mencapai angka Rp16.000. Sementara teh harga perkilogramnya hanya Rp2.200, belum lagi dipotong upah petik buruh teh sebanyak Rp600/kg. “Perkebunan yang ada di buku ini sekarang banyak yang tinggal kenangan,” katanya lagi. Perkebunan teh hari ini memang jumlahnya sedikit dibandingkan di tahun-tahun lampau.
Lantas bagaimana caranya agar kondisi perkebunan teh kembali bangkit dan mengulang kembali era kejayaannya? Ryzki menjawab “perkebunan dikelola pihak swasta, bukan pemerintah.”
Ryzki Wiryawan penulis buku Pesona Sejarah Bandung |
Rifat, wartawan Detik.com dan penulis Atep Kurnia yang hadir ikut bercerita bahwa di masa kecilnya minum teh adalah kebiasaan di kampungnya sehari-hari. Kang Atep bilang bekal air minumnya saat dulu menggembala embe adalah air teh. Sementara Rifat mengatakan “kalo di tempat saya, air putih biasanya dijadiin air doa,” ujar Rifat.
Air doa yang dimaksud adalah air yang dibacakan ayat suci Alquran dan berbagai doa oleh orang pintar atau ulama, ditujukan untuk mengobati penyakit. Saya dan keluarga masih mempercayai praktik minum air doa ini.
Dalam praktik sehari-hari di Bandung, saya sering melihat air putih dijadikan air untuk kesembuhan. Air kopi disajikan sebagai menu pleasure di kafe-kafe, uniknya kopi juga disuguhi sebagai bagian dari ritual sesajen. Dan air teh sebagai air minum sehari-hari warga pada umumnya.
(ki-ka) Ryzki, Hilal peserta diskusi, dan Nurul Sisila |
Penutup obrolan diskusinya pun menarik, buku-buku sejarah seperti ini apakah hanya mengandung romantisme belaka ataukah memberi pembacanya insight akan penindasan imperialisme? Menurut saya sih keduanya. Ada buku-buku bertema nostalgia seperti buku yang disusun oleh Katam Sudarsono, misalnya. Namun ada juga buku yang menunjukkan ketimpangan sosial dan politik seperti dalam bukunya Ryzki ini.
T Bachtiar, penulis dan geolog yang memberi kata pengantar dalam buku Pesona Sejarah Bandung, Perkebunan di Priangan, menulis begini: kehadiran buku ini sesungguhnya merupakan kritik yang amat keras dengan cara yang amat lembut.