Social Media

Image Slider

Rumah Zakat Gelar Indonesia Mendongeng ke-10 Angkat Tema Kisah Palestina

23 December 2023

Sembilan tahun berturut-turut Rumah Zakat rutin menyelenggarakan program Indonesia Mendongeng pada akhir tahun tepatnya bulan desember. Kegiatan yang diselenggarakan di banyak titik seluruh Indonesia secara serentak ini ditujukan untuk mengisi kegiatan libur sekolah. Puluhan ribu anak-anak dari Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) berpartisipasi dalam acara tersebut. 

 

Rumah Zakat Indonesia Mendongeng ke 10



Indonesia Mendongeng ke-10 bergulir 25 Desember 2023 mendatang serentak di 57 titik, 29 kota/kabupaten, dan 17 provinsi diikuti 30.000 santri TPQ. Event di Bandung berada di Rabbani Buah Batu sementara di Jakarta digelar di Taman Margasatwa Ragunan.

Tiap tahunnya Indonesia Mendongeng menyajikan tema berbeda-beda dan menggandeng komunitas dongeng yang ada di kota masing-masing. Tema tahun 2023 adalah Santri TPQ Cinta Sesama dan Semesta. Pelaksanaan kegiatan berisi cerita, aneka lomba, dan dongeng tentang sejarah Palestina.

Dalam Indonesia Mendongeng Rumah Zakat senantiasa mengedepankan tema-tema edukatif, mengajarkan hal-hal baik, semangat berbagi dan kepedulian kepada saudara-saudara yang membutuhkan.

“Mengingat saat ini saudara saudara kita di Palestina sedang berjuang mempertahankan tanah tumpah darah mereka. Dan kita selaku umat muslim, perlu bersuara dan berdoa untuk keselamatan saudara saudara kita di Palestina. Oleh karenanya di edisi satu dekade ini kami juga mengajak para santri dan anak anak Indonesia untuk menyisihkan infak terbaiknya untuk Palestina,” ungkap Al Razi Izzatul Yazid selaku Kepala Divisi Humanitarian Rumah Zakat. 

 

Rumah Zakat Indonesia Mendongeng ke 10


Hingga saat ini Rumah Zakat sudah menyalurkan bantuan 32.671 paket makanan siap saji, 1.515 paket obatan-obatan ke RS Gaza, 2.472 paket food basket, 180 pakaian musim dingin, 207 hygiene kits, 3.640 kaleng kornet Superqurban, 3 truk kontainer bermuatan full-logistic dari Cairo-Gaza, 3.500.000 liter air bersih, dan ⁠2 titik Desalinasi Air Laut.

Untuk pekan 3 dan 4 Rumah Zakat akan menyalurkan 10.000  makanan siap saji, 1.000 food basket, 2.400 sandang musim dingin, 2 titik Aksi Siaga Sehat, 1 unit ambulans, dan 2 unit Desalinasi Air Bersih.


Awal Mula Indonesia Mendongeng Rumah Zakat


Rumah Zakat adalah lembaga filantropi yang mengelola zakat, infak sedekah, serta dana sosial lainnya melalui program-program pemberdayaan masyarakat.


Indonesia Mendongeng lahir di Rumah Zakat Kota Solo ditujukan mengisi libur sekolah akhir tahun. Melihat kegiatan yang baik tersebut Rumah Zakat berinisiatif merancangnya sebagai acara rutin tahunan tidak hanya di satu kota saja tapi juga banyak kota dan titik seluruh Indonesia.

“Dalam setiap programnya Rumah Zakat berusaha memenuhi tiga ruh perjuangan yaitu membahagiakan, memberdayakan, dan menyelamatkan. Indonesia Mendongeng adalah bagian dari edukasi pada anak-anak untuk bahagia tidak hanya sekedar lahir tapi juga batinnya,” tutur Chief Program Officer Rumah Zakat Muhammad Sobirin.



Sore di Buku Akik

10 September 2023

Sebetulnya ada dua toko buku yang ingin saya datangi di Jogja. Dengan waktu separo hari, yang kesampaian hanya Toko Buku Akik. Sore hari di sana ada banyak pengunjungnya. Bukan hanya mereka melihat-lihat, tapi juga membeli, membaca, dan tentu saja melakukan aksi khas zaman TikTok: berfoto dan bervideo. 


 

Saya juga tentu saja! Buku Akik menyediakan spot-spot berfoto tersebut. Alih-alih bersikap sok-sok idealis dan melawan zaman, mereka malah beradaptasi. Buku Akik termasuk yang lincah di media sosial. Tanpa tokonya dibuat estetik pun pasti ramai pengunjung. Tapi mereka tetap siapkan pojok estetiknya tersebut.
 

Mungkin menjadi ‘estetik’ merupakan jalur viralnya. Hehe. Jalur viral keduanya bernama ‘hidden gem’. Walo begitu tanpa kedua hal tersebut Buku Akik akan tetap ramai pembeli sepertinya.

Namun memang betul ini zamannya hidden gem. Di zaman sebelum pandemi pasti sulit toko buku dalam gang berdagang. Namun di zaman serba TikTok dan reels, makin dalam lokasi sebuah tempat perdagangan, makin disukai netizen.

Begitulah juga Buku Akik. Menuju ke sana saya dibonceng mas-mas gojek. Dibawa ke arah Kaliurang km 12, saya berhenti di mulut gang. Selanjutnya berjalan kaki saja berbekal peta google. Tidak ada plang mencolok. 

 


Tokonya berada dalam sebuah rumah berlantai dua. Lantai satunya yang jadi toko. Ada pintu gerbang dan halaman luas. Pintu ke rumahnya berdaun dua.

Begitu masuk ke dalam tokonya di sisi kanan area buku-buku yang dijual, sisi kirinya perpustakaan. Ada tempat duduk dan ada lesehan.

Ada juga ruangan entah apa sekatnya berkaca, sepertinya nonsmoking area kah?

Segera saya melihat koleksi bukunya yang sangat banyak itu. Sudah beberapa kali saya memesan buku secara online di Buku Akik sejak pandemi. Baru di tahun 2023 kesampaian lihat tokonya langsung.

Dua buku fiksi saya check out dari Buku Akik. Salah satunya buku yang sudah saya jadikan wishlist, Saga Dari Samudera dari Ratih Kumala.

Buat kenangan-kenangan dan tanda mata, saya beli totebag Buku Akik. Bila ada waktu dan rezekinya, semua toko buku di Jogja yang menjual merchandise akan saya datangi dan saya beli.

Baru dua toko buku di Yogyakarta yang saya kunjungi. Toko Buku Natan di Kotagede dan Toko Buku Akik di Kaliurang. 

 


Jujur saja ada irinya saya melihat kultur perbukuan di Jogja yang bergairah. Di Bandung pernah ada masanya toko buku ada banyak dan hidup semua.

Sekarang saja di toko buku di Bandung yang saya tahu Lawang Buku. Ada banyak toko buku bekas dan toko buku komersil, tapi saya tidak sedang bicarakan dua jenis toko buku tersebut.

Waktu di Buku Akik saya amati ada tumpukan paket buku yang sedang menunggu kurir tersimpan di kursi depan. Saya hitung ada 28 paket buku. Ada yang tebal, banyak yang tipis.

Di dalam tokonya saat saya bertransaksi di meja kasir, terdengar suara agak heboh dari ruang sebelah. “Lagi pada ngapain itu, Mba” tanyaku pada mba kasir.

Mba-mba kasir berkaos kuning yang manis itu menjawab santai “biasa sedang live shopee.”

Selajang Pandang Magelang Bersama Alon Mlampah

04 September 2023

Kalau ada satu-satunya pelajaran sejarah yang kuingat, itulah dia tentang penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda yang berlokasi di Magelang, di sebuah gedung karesidenan. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi di bulan Maret tahun 1830. Saya berada di gedung tersebut 193 tahun kemudian, di hari itu sabtu 26/8/2023.

 

mlaku magelang


Gedungnya sekarang jadi Museum Diponegoro. Sewaktu saya ke sana ada hajatan sedang berlangsung. Teras gedungnya disewa untuk resepsi pernikahan. Sehingga saya dan teman-teman peserta tur jalan kaki Selajang Pandang Magelang hanya menyaksikan gedungnya dari luar saja. Hajatan di museum? Bisa ternyata kalau di Magelang! Hehe.

Akhir pekan yang singkat di Magelang sangat berkesan. Saya mengunjungi beberapa bangunan antik di sana. Kulihat bangunan sekolah cikal bakal lembaga STPDN, sekolah tempat Kyai Ahmad Dahlan mengajar, pastur Verbraak yang patungnya ada di Taman Maluku Bandung ternyata sepak terjang dan makamnya di Magelang, menelusuri cerita tentang KNIL dan pergundikannya.

Lalu ter-epik jejak telusur saya hari itu: lokasi Pangeran Diponegoro ditangkap Letnan Jendral Hendrik Merkus de Kock.

Maksudku, kita belajar di sekolah tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Ingat tidak? Dari Perang Jawa yang tidak berkesudahan ujungnya, suatu hari beliau diajak berunding Belanda. Tak tahunya dia dijebak. Belanda menangkapnya.

Peristiwa itu saya telusuri secara singkat dan jelas dari walking tour di Magelang. Karena berada langsung di lokasi penangkapannya, saya jadi serius menyimak kronologi peristiwanya berdasarkan penuturan Mas Gusta, selaku pemandu cerita dari Mlaku Magelang


Memang rasanya berbeda sekali menyimak cerita-serita sejarah di sekolah, di rumah, dan di tempatnya langsung begini. Pengalaman yang menyenangkan bisa berada di lokasinya langsung. Mungkin otak saya tidak mampu mengingat data nama, tanggal, dan lain-lainnya secara rinci, tapi perasaan terpukau yang muncul saat mendengar cerita Mas Gusta masih melekat.


museum diponegoro magelang


Mas Gusta cerita peristiwa penangkapan terjadi di bulan Syawal. Sebagai muslim, saya membayangkan bulan tersebut adalah bulan silaturahmi karena habis bulan puasa Ramadan.

Nah sepanjang bulan Ramadan hubungan antara Pangeran Diponegoro dan de Kock terbilang akrab. Mereka ngobrol dan nongkrong bareng di karesidenan tersebut. Begitu cerita Mas Gusta.

Hingga setelah Lebaran, Pangeran Diponegoro datang lagi ke gedung karesidenan. Disambut ramah oleh Belanda dan mereka ngopi-ngopi. Tak tahunya saat diajak ke dalam gedung, Pangeran Diponegoro dikasihtahu bahwa dia akan ditangkap, saat itu sekarang juga. Lha Diponegoro mengira hari itu dia akan berbincang-bincang seperti hari kemarin-kemarin, ternyata ditangkap.

Menyimak cerita naratif sekaligus berada di lokasi yang sama dengan penangkapannya, saya bisa membayangkan kejadian berlangsung. Wah betapa waasnya, demikian kalau kata orang sunda.


museum diponegoro magelang


Tangga teras yang saya injak adalah tangga yang sama yang diinjak Pangeran Diponegoro. Lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro setingnya teras gedung tersebut. Dan saya, 193 tahun setelah kejadian bersejarah itu, berada di teras yang sama!

Museum Diponegoro lokasinya di Jalan Diponegoro no. 1 Kota Magelang. Bangunannya berada di kompleks eks Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu, yang sekarang jadi Museum BPK dan Museum Diponegoro.

Gedungnya masih utuh dan berdiri menghadap Gunung Sumbing. Pelataran depan gedungnya luas sekali. Terdapat arca di dua sisi depan bangunan. Arca-arca lainnya juga terdapat di halaman belakang.

Saya mencari datanya di artikel-artikel online, luasnya 2.552 meter persegi. Kemewahan dan keagungan pejabat-pejabat kolonial dan priyayi masa lalu terlihat dari pemilihan lokasi di sini.

Saya sendiri masih gak percaya saat berdiri di depan gedungnya. Terpukau sekali rasanya bisa berada di tempat bersejarah tersebut. Meski agak terhalang dekorasi pernikahan karena gedungnya disewa untuk hajatan resepsi.

 

 

depot es semanggi magelang

kauman magelang

mlaku magelang

Dan kupikir Mas Gusta dari Mlaku Magelang adalah pemandu yang sangat impresif ceritanya. Selain dia pembaca buku akut sehingga memahami konteks sejarah dan peristiwanya, cara bicaranya juga menarik. Dia tahu bagaimana menempatkan kisah-kisah dramatis di awal, tengah, dan ujung cerita. Benar-benar rasanya seperti didongengin.

Caranya menyebut nama berbahasa belanda, jawa, indonesia sangatlah fasih. Seperti muscle memory yang bicara. Saat ia cerita pada kami tentang monarki bupati Magelang yang ia sebut lima nama bupatinya lengkap, panjang, tidak ada keraguan. Caranya bicara seperti jalan tol, mulus!

Mas Gusta juga beberapa kali bicara dalam bahasa jawa. Dan justru menarik banget bumbuhan ungkapan bahasa jawanya. Saya tidak mengerti tapi saya mengapresiasinya dan tidak merasa dikucilkan sebagai satu-satunya warga Bandung (sunda) yang ada dalam tur tersebut.

Sepertinya menjadi pemandu Mlaku Magelang adalah panggungnya ya. Dan kupikir Mas Gusta adalah aktornya.  Kostum yang ia kenakan juga bagian dari pertunjukkan. Kostumnya adalah pakaian seragam sekolah pamong praja di Magelang. 

 

mlaku magelang

Kami berjalan kaki cukup jauh, hampir 10.000 langkah dari pukul 9.30 hingga 4 sore!

Kupikir dengan kostum dan alas kaki yang ia kenakan, pastilah tidak nyaman rasanya. Namun energinya sepanjang tur tidak habis! Jalannya bertenaga, ceritanya bersemangat. Tempo cerita yang rapi dan interaktif. Betul-betul sebuah komitmen yang hebat.


Saya beruntung bisa ikutan tur ini. Meski hanya melihat selayang pandang saja alias melihat kurang dari satu hari, tapi cukup berkesan. Es pleret coklat yang kuminum di warung pojok bawah tanah rasanya enak dan segar! Bangunan tua di Magelang yang cakep-cakep dan tentu saja puncaknya di Museum Diponegoro itu yang menarik.

 

Meski lihatnya sekilas, agaknya betul juga kalau Magelang disebut cocok untuk dihuni pensiunan. 

 

mlaku magelang


Dan walau harus keluar uang rada banyak untuk transportasi dan akomodasi karena transit di kota Jogja dulu bergabung dengan Alon Mlampah selaku penyelenggara tur ke Magelang tersebut, tapi ya gak apa-apa. Uang bisa kucari lagi. Pengalaman menyenangkan ini mungkin gak akan terulang (meski ada rencana akan saya lakukan lagi!).

Sore di Magelang saat kami beranjak dari bangunan Museum Diponegoro itu terasa syahdu. Langit menguning seperti berkabut. Peristiwa duka dan suka ada di lokasi-lokasi yang saya datangi. Khusus buat saya, yang terasa sukanya. Benar kata orang-orang, waktu terbang saat kita sedang bersenang-senang.

Cerita Dari Walking Tour di Cicalengka

15 August 2023

Coba bayangin ada acara seperti itu di kabupaten: walking tour di Cicalengka. Namanya juga penasaran, saya daftar sekaligus buat empat orang. Saya ajakin orang-orang di rumah ayo ikut yuk! Mumpung soalnya. Dalam bayangan saya mungkin tur jalan kakinya berlangsung satu kali, yang kedua kalinya akan selang beberapa bulan mendatang atau entah kapan. 


cicalengka historical trip

 

Tentang Cicalengka hanya pahlawan pendidikan Dewi Sartika yang saya ketahui dari buku biografinya. Usai tur berjudul Aloen-Aloen Tjitjalengka (25/6/2023) ini saya tahu kalau di masa kolonialnya Cicalengka pernah menjadi ibukota kabupaten.

Beberapa tokoh penting pernah bermukim dan melintasinya. Ada Djuanda, Soekarno, arsitek terkenal Wolff Wchoemaker, dan Umar Wirahadikusumah.

Ir. H. Djuanda adalah perdana menteri Republik Indonesia dan inisiator Deklarasi Djuanda yang mengubah sistem ketatalautan dan zona teritorial Indonesia. Namanya abadi menjadi nama jalan yang populer dengan nama Dago, taman hutan raya, bandara, dan kita dapat melihat wajahnya dalam lembar uang 50.000.


Djuanda kecil menempuh pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar warga eropa dan bangsawan) yang kini menjadi SMPN 1 Cicalengka. Masa remajanya bolak-balik naik turun di Stasiun Cicalengka - Stasiun Bandung demi bersekolah di HBS (SMA 3). Ayah Djuanda sendiri guru di HIS (sekolah belanda untuk bumiputra) yang sekarang berfungsi sebagai SDN VIII Cicalengka.

Dalam tur jalan kaki Cicalengka ini kami diajak melihat kedua bangunan fisik sekolah tersebut. Yaitu SMPN 1 di Jl Dipati Ukur dan SDN VIII di alamat Jalan Raya Barat. 

 

cicalengka historical trip

cicalengka historical trip

 

Kedua bangunan itu masih menyisakan bagian kunonya. Terlihat skala ruangnya berbeda jauh. Bangunan SMP 1 bekas sekolah dasar eropa lebih megah dan tinggi. Jendela dan pintunya besar-besar. Lokasinya tepat di depan Alun-Alun. Sedangkan SDN VIII yang dahulu sekolah khusus pribumi bangunannya lebih kecil begitupun jendelanya. Lokasinya agak menjauh dari Alun-Alun.

Dari situ saja terlihat perbedaan sekolah kolonial dan sekolah pribumi. Sebuah perbandingan menarik, status sosial sejarahnya masih bisa saya lihat berkat kondisi fisik bangunan yang masih ada.

Tur berlangsung sekitar dua jam saja. Menurut saya waktunya sudah ideal. Saat saya mengikuti walking tour di kota Yogyakarta, durasinya dua jam juga.

Meskipun hanya dua jam, ada banyak bangunan tua yang kami lihat secara fisik dan secara gaib. Hehe melihatnya dengan mata batin karena bangunannya memang tidak ada. Sudah berganti rupanya. Seperti bangunan sekolah agama yang bersebelahan dengan kantor kecamatan. Juga penjara yang kini menjadi gudang pegadaian.

Bumi Kapungkur adalah situs kuno paling berkesan buat saya. Bentuknya rumah tinggal bergaya arsitektur artdeco (bulat-bulat bentuknya dan banyak dekorasi rumah). Warga mempercayai rumah tersebut sebagai rumah keluarga Dewi Sartika.

Cicalengka berjarak 32 km dari Alun-Alun Bandung dan identik dengan pahlawan Dewi Sartika yang pernah bermukim di rumah pamannya patih cicalengka. Di sanalah jiwa aktivisnya tumbuh. Saat orangtuanya bebas dari pengasingan dan kembali ke Bandung, Dewi turut pulang dan membawa angin perubahan dalam pendidikan perempuan.

Rumah patih yang pernah didiami Dewi Sartika bukanlah Bumi Kapungkur, melainkan berada di kompleks sekolah SMP 1 di Alun-Alun. Tur jalan kaki ini meluruskan fakta yang kabur tersebut. 

 

 cicalengka historical trip

cicalengka historical trip


Sofia Riyanti, pemilik rumahnya, mengatakan penghuni rumah merupakan generasi ke-4. Tentang apakah betul Bumi Kapungkur rumah keluarga Dewi Sartika, Sofia mengatakan hal sebaliknya. “Rumah kami bukan rumah keluarga Ibu Dewi Sartika.”

Sofia melanjutkan cerita, saat itu buyutnya, H. M Samsudi, menikah dengan anak pertama camat Cicalengka. Samsudi merantau dari Palembang dan berprofesi pedagang akar wangi dan ulat sutera. Setelah menikah ia menetap di Cicalengka dan bermukim di rumah yang dibangun tahun 1928 itu.

Obrolan tentang profesi Samsudi terdengar menarik, yaitu usaha ulat sutera dan akarwangi. “Memang pernah ada bisnis benang ulat sutera di Cicalengka tapi hasil panen ulatnya tidak terlalu bagus”, kata Ibu Sofia. “Kecil-kecil ulatnya sehingga usaha tersebut tidak berlangsung lama juga,” ujarnya lagi.

Bila berpatokan ke Jalan Dewi Sartika lokasi Bumi Kapungkur di sebelah utara. Di masa kini rumahnya bersanding padat dengan rumah-rumah lainnya, juga di seberangnya arah selatan. Saya mengintip di sedikit di belakang rumah-rumah itu dan terdapat areal pesawahan yang luas dan indah. Sistem pesawahannya terasering.

Saat itu pukul sembilan pagi dan sinar matahari sedang cantik-cantiknya menyentuh pucuk-pucuk padi pesawahan. Saya membayangkan diri menjadi Samsudi dan ngopi-ngopi di teras rumahnya, menghadap pemandangan itu semua di tahun 1930. Betapa indahnya.

Saya pikir akan menarik bila tur Cicalengka mampir sebentar melihat pemandangan pesawahan itu. Cerita nostalgia sejarahnya akan bulat karena relevan dengan kejadian masa kini, yaitu tentang mata pencaharian warga Cicalengka dan kondisi areal pesawahannya.

Sebelum tur dimulai saya sempet bertanya profesi warga Cicalengka mayoritas apa. “Kebanyakan buruh tani, buruh pabrik, dan buruh harian lepas” jawab Nurul Maria Sisilia ketua pelaksana tur jalan kaki Cicalengka.

Saat ini terhitung jumlah penduduk Cicalengka 122.991 (bandungkabs.bps.go.id). Dilansir dari sumber yang sama, pekerjaan warga terbanyak adalah buruh harian lepas, wiraswata, dan pekerja swasta. Sementara komoditas pertaniannya yang utama adalah jagung, cengkeh, dan tembakau. 

 

cicalengka historical trip  cicalengka historical trip

 

Cicalengka menjadi lumbung pertanian dan perkebunan di masa kolonial. Tanaman kopi, teh, dan kina dibudidayakan. Rencana pemerintah belanda memindahkan pusat kepemimpinan dan militer ke kawasan Bandung melahirkan infrastruktur kereta api dan Stasiun Cicalengka.


Stasiun Cicalengka yang mulai beroperasi tahun 1884 ini menjadi jantungnya mobilisasi perekonomian karena mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke kota Bandung dan Batavia (Jakarta). Saat ini bangunan utama stasiun yang bersejarah terancam dibongkar berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kereta api cepat. 

 

Di stasiun yang sama pula tahun 1929 calon presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, turun dari kereta asal Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju penjara Banceuy. Soekarno saat itu dianggap salah satu tokoh penggerak kemerdekaan dan kemunculannya sebagai tahanan pemerintah kolonial di stasiun Bandung akan memicu keributan. Oleh karena itu beliau berhenti di Stasiun Cicalengka alih-alih Stasiun Bandung. 

 

 

cicalengka historical trip


Di akhir tur kami dituntun ke kantor kecamatan. Di sana ada pertunjukan musik keroncong dan pameran foto Cicalengka tempo dulu, durasi acaranya bertambah. Ada juga kuisnya dan saya berhasil mendapatkan satu tas selempang kecil warna hitam bertuliskan “Tjitjalengka Historical Trip”. Duh senangnya!

Tur jalan kaki yang sangat menarik. Pendaftarannya melalui instragram mereka di nama akun @tjitjalengka.historical. 


Senang saya bisa tahu lebih banyak dari hari-hari kemarin. Bahwa di Cicalengka ada banyak tokoh penting yang bermukim di sana itu juga fakta menarik. 


Jadi ingat buku perjalanan Sigit Susanto berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Dia tinggal di Swiss dan sering jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Minatnya pada sastra dan politik. Karenanya dia bertandang ke kota-kota pelosok kecil menyusuri jejak para tokoh panutannya. Bisa ya di sana keberadaan para tokoh itu diabadikan dan jadi situs wisata; rumahnya, makamnya, sampai warung kopi tempatnya nongkrong. 

 

Bila saja Cicalengka bernasib seperti desa-desa di eropa itu, waduh betapa bergairahnya wisata (sejarah) di Bandung.


Terima kasih kepada Tjitjalengka Historical Trip yang meriset dan merancang perjalanan singkat tersebut. Benar-benar gerakan progresif buatan anak kabupaten. Sesuai taglinenya tur jalan kaki ini, hari itu saya melihat sejarah besar di kota kecil. 



cicalengka historical trip




Menginap Seribu Malam di Mulih Ka Desa

08 August 2023

Hanya satu malam saja kok. Keinginan awalnya saya dan indra mau cari pemandangan yang segar-segar. Udaranya sejuk dan banyak pohon. Di bandung tempat kami tinggal juga banyak pohonnya tapi di sana kami cari uang dan bertahan hidup. Sehingga stres adanya. Lalu ketemulah dengan penginapan Mulih Ka Desa di Garut.


 nginep di mulih ka desa garut

 

Impresi pertama saya terhadap penginapannya gak terlalu bagus. Apalagi waktu masuk ke bungalownya. Seperti sudah lama kosong tempatnya. Saya pikir saat itu “wah kok begini aja ya”. Di kamar mandi ada banyak nyamuk kebon berhamburan. Saat itu saya tahu harus segera cari warung dan beli obat nyamuk.

Airnya lancar tidak ada masalah. Air panasnya pun mantap sekali! Ada televisi tabung dan kami tidak nonton. Entah ada wifi atau tidak, saya tidak bertanya.

Indra seperti biasa terlihat rileks dan damai. Dia langsung suka tempatnya.

Kami bersantai di kamar hingga sore hari. Mendung di luar dan rasanya malas sekali keluar kamar. Namun indra bilang lihat pemandangan sore yuk. Ya sudah hayuk, kataku.

Di luar hawanya dingin bukan main. Namun dingin segar khas gunung. Saya kenakan jaket. Khawatir masuk angin. Kami kelilingi tempatnya dan itulah saat-saat saya mulai jatuh cinta pada tempatnya.

Memang tempatnya terlihat lama kosong, tapi masih terurus. Banyak kembang yang terpotong rapi. Jalan setapak tanah yang organik tidak terlalu dibuat-buat alaminya. Beberapa lampu di sudut menyala warna kuning.

Ada tiga saung di tepi danau. Satu saungnya ada pengunjung sedang makan-makan. Saya berfoto.

Angin bertiup kencang, pepohonan bergoyang dahannya. Daun-daun seperti hendak berjatuhan tapi tidak. Ada pohon besar di sana, pohon karet, kata indra. Banyak sekali pohon yang saya lihat.  

 

nginep di mulih ka desa garut


Di restoran saya bertanya pada bapa-bapa yang duduk berjaga di sana. Ada pohon apa saja di sini, Pak? Dia menjawab antusias. Ada pohon nangka, rambutan, kayu putih, matoa, pisang, ki acret, mahoni, dan beberapa nama lainnya termasuk kembang-kembangan yang saya tidak ingat namanya. “Terus itu teh pohon karet,” katanya sambil menunjuk pohon yang dimaksud.

Tuh kan betul pohon karet, ucap indra.

Kami kembali ke kamar setelah membungkus dua obat nyamuk. Bapa-bapa tadi sempat cerita bahwa dinas kehutanan melarang pengambilan kayu hutan. Sementara Mulih Ka Desa punya ciri khas makanan yang dimasak di atas tungku. Untuk keperluan tungku mereka harus punya kayu bakar. Masalahnya penggunaan kayu bakar itu sudah dilarang.

Pantas saja saya lihat di depan tiap bungalow ada tungku. Namun tungkunya kosong. Bapa tersebut memberitahu bahwa sebelumnya tiap kamar dibekali satu ceret (ketel besar) berisi air minum. Ceretnya disimpan di atas tungku tersebut.

Sekarang saya paham mengapa ada banyak nyamuk merdeka di bungalow. Tidak ada lagi asap kayu bakar di Mulih Ka Desa.

Ditambah kasus pandemi, Mulih Ka Desa sekarang sedang dalam pemulihan. Baru buka lagi dan sedang dalam usaha bangkit kembali.

Malam itu saya tidur nyenyak. Ranjangnya besar dan luas, size kingbed. Ada suara-suara pohon ditimpa angin sehingga bunyinya agak horor. Namun indra meyakinkan saya itu betulan suara kayu-kayu pohon.

Sementara itu para nyamuk tewas dihantam obat nyamuk bakar. 

 

nginep di mulih ka desa garut
sore di mulih ka desa


nginep di mulih ka desa garut
pagi-pagi di mulih ka desa


 

Pagi datang dan saya buka pintu kamar selebar mungkin. Sayang sekali kalau saya tiduran saja. Kami jalan-jalan keliling penginapan dan jatuh cinta lagi. Hawanya segar murni bersih. Gunung Cikuray terlihat jelas. Pepohonan yang kemarin sore seperti orang ngamuk, pagi itu nampak kalem. Pagi yang mesra di Mulih Ka Desa.

Saya hirup udara banyak-banyak! Kalau bisa saya bungkus udaranya dan bawa ke Bandung. Terasa sekali bersihnya!

Saat matahari muncul di sela-sela pepohonan berkasnya masuk dan jatuh ke rumput, saya jatuh cinta lagi dengan panorama Mulih Ka Desa. Benar-benar cocok namanya: pulang ke desa.

Kami sarapan di saung. Ya Tuhan makanan Mulih Ka Desa enak semua! Rasanya segar dan gurih. Harusnya malam tadi saya pesan makan di restorannya saja bukannya pesan makan online dari restoran lain. Saya benar-benar tidak tahu bahwa masakan Mulih Ka Desa seenak itu. Bahkan makan siang pun saya santap di sana dan ya Tuhan enak sekali! Nila bakar dan tumis oncom genjer itu sangat memabukkan!

Sampai di mana tadi? saung ya?

 

nginep di mulih ka desa garut

nginep di mulih ka desa garut


Kami nongkrong di saung selama tiga jam. Bengong melihat danau dangkal dan ikan-ikan gemuknya. Ngobrolin tentang rencana punya kebon dan balong. Menghitung-hitung mengenai kemungkinan pindah ke kampung. Dan hal-hal penuh impian lainnya yang ada fananya tapi kami harap terjadi. Kami juga tertawa-tawa membicarakan kelakuan teman dan keluarga yang kocak.

Ah betapa damainya suasana dari tempat kami duduk lesehan di saung itu. Dan perasaan jatuh cinta saya makin bulat.

Sehingga saya putuskan akan kembali ke Mulih Ka Desa. Entah kapan tapi begitu saya bertandang lagi ke Garut, Mulih Ka Desa sudah masuk kantong wajib kunjungan.


nginep di mulih ka desa garut
tumis oncom genjer yang nikmat!

Review Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

15 June 2023

Buku ini kubaca awal Januari. Judulnya bagus jadi saya kesengsem membelinya dan semangat bacanya.

Isinya berupa kumpulan reportase dalam catatan perjalanan oleh jurnalis senior Tempo, Arif Zulkifli. Tulisannya berlatar dalam negeri dan mancanegara.

Tulisan jagoannya ada di halaman-halaman awal, tentang pertemuan Arif dengan pendiri GAM (Gerakan Aceh Merdeka) berjudul: Dua Jam Bersama Hasan Tiro. 

 

review buku jurnalisme di luar algoritma


Karena ada cerita di balik layar penulisannya jadi saya terhanyut dalam reportase tersebut. Padahal saya gak paham-paham amat tentang Hasan Tiro dan GAM. Tulisan-tulisan lain sama lenturnya tapi buatku tidak seistimewa artikel tentang Hasan Tiro itu.

Saat wawancara Hasan Tiro, ia tidak boleh mencatat. Jadi dia tulis semua hal dalam ingatannya, mulai dari pakaian, cara berjalan, rambut, warna gigi, keriput kulit, buku-buku, suara musik klasik, guman geram, sorot mata, dan tarikan napas. "Saya merekam semua kejadian dalam ingatan karena menyadari satu goresan saja di buku catatan akan merusak suasana pertemuan langka tersebut," gitu katanya.

Bertanya-tanya juga saya bagaimana cara jurnalis mencatat tanpa menulis. Dua jam ngobrol dengan Hasan Tiro, tidak mencatat satu huruf pun, tapi tulisannya detail dan rinci.

Seperti tertulis di halaman 5 “Tiba-tiba Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach, Toccata and Fugue dan Air on the String G. String sayup-sayup segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola dan naskah drama yang saya baca pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu termenung. Tubuhnya disorongkan ke depan. Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen.”

Senang juga baca buku kayak gini, lumayan buat mengasah sudut pandang. Ada cerita-cerita Arif dari berbagai mancanegara dan di seantero Indonesia. Kalo bepergian saya cuma bersikap sebagai pelancong aja.

Sementara jurnalis selalu punya sudut pandang menarik dan mengupasnya secara runut dan menjawab persoalan. Atau memberi pembacanya persoalan yang harus kita pikirkan sendiri jawabannya.

Masalahnya kalo jadi pelancong gak kepikiran persoalan. Makanya orang bandung saat jalan-jalan ke jogja akan selalu terkenang-kenang jogja, dan sebaliknya. Kita gak (mau) tahu persoalan kota yang kita kunjungi jadi berasa indah saja semua-muanya.

Beda memang bobot catatan perjalanan buatan jurnalis. Bertabur data, komprehensif, dan ujung-ujungnya jadi reflektif atau provokatif. Yah namanya juga reportase pastilah berbeda dengan catatan netizen sepertiku dan kamu. Hehe.

Bukunya dapat beli di instagram @kiosojokeos. Terdiri dari 350 halaman. Penerbitnya Tempo jadi kualitas font, tipografi, kertas, dan urusan teknis lainnya tidak ada masalah bagi pembaca. Terbitnya November 2022.

Cerita Dari Toko Buku Merpati di Garut

05 June 2023

Sejak sehari sebelum berangkat dari Bandung saya sudah fokus pada empat tujuan di Garut: makan bacil, berendam di Tirta Gangga, belanja teh kiloan di Pasar Mandalagiri, dan mampir ke toko buku di Jalan Ciledug. Hamdalah tiga dari empat kesampaian. Terutama yang terakhir itu, ke toko buku Merpati.

 

toko buku di garut toko buku merpati


Tahun lalu waktu berkunjung ke Garut secara tidak sengaja saya melihat toko buku sehabis makan bubur di Jalan Ciledug sekitar pukul sembilan pagi. 


Berjalan kaki di trotoar saya memperhatikan pertokoan di sisi kanan. Etalase toko berupa kaca berlapis jendela kayu klasik warna cokelat terlihat menarik. Itulah Toko Buku Merpati.

Saya berlalu saja sambil berkata dalam hati mungkin sore nanti saya mampir ke tokonya. Keputusan yang salah karena pada waktu kembali ke sana, tokonya sudah tutup dan saya harus kembali ke Bandung esok harinya pagi-pagi sekali.

Tahun 2023 inilah saya berjodoh dengan Merpati. Ada rasa gugupnya saat pergi ke Jalan Ciledug. Khawatir tokonya tutup. Syukurlah buka. Terlihat dari etalase tokonya.

Sesuai instruksi mamang parkir, saya harus mengetok pintunya. “Dibel weh, Neng!” teriak Mamang Parkir. Oke baik saya pencet bel pintu. Tingtong!

Selang beberapa detik pintu dibuka oleh ibu-ibu berkaos merah. Kukatakan padanya hendak membeli buku. Dengan ramah ia menyambutku, kami mengobrol dalam bahasa sunda.

Saya pergi ke toko bersama Indra, jadi dengan bahasa sunda level basic yang saya kuasai ini, Indra yang skill bahasa sundanya level advanced membantu saya ngobrol dengan pemilik Toko Buku Merpati.
 

"Asih Setiasih, mangga Ibu Asih wae," ucapnya sambil tersenyum saat mengenalkan diri.

Seperti ngobrol dengan teman lama, Ibu Asih memulai cerita toko buku Merpati dari orang tuanya. Tokonya adalah warisan. Ayahnya menitipkan toko buku tersebut agar tetap buka meski mereka sudah tiada. 

 

toko buku di garut toko buku merpati


“Kinten-kinten tahun 50an mung abdi hilap tahun sabaharana mah,” jawab Ibu Asih, saya bertanya padanya tahun berapa toko buka pertama kali.

Mayoritas buku yang tersedia di sini adalah buku-buku berbahasa sunda. Semua bukunya disuplai oleh penerbit asal Bandung. Ada penerbit Pustaka Jaya, Kiblat, dan Ujung Galuh.

Dahulu ada lebih banyak penerbit yang menitipkan bukunya di sini, termasuk Gramedia. Namun bisnis perbukuan cetak menurun, penerbit berguguran. Gramedia sendiri baru buka tokonya di Garut tahun 2022 dan sejak itu buku terbitannya tidak lagi masuk ke Toko Buku Merpati.

Kutanyakan padanya bahwa tahun lalu saya berniat mampir ke toko, tapi tokonya sudah tutup meski belum pukul 4 sore. “Tabuh sabaraha buka tutupnya, Bu?" kutanyakan untuk konfirmasi.

Ibu Asih menjawab simpel: pagi dan sore. Kalau pagi kira-kira pukul sembilan dan sorenya tutup sebelum magrib, katanya. Bahkan, katanya lagi, kalau ia menyapu trotoar depan toko subuh-subuh, itu artinya toko sudah buka. 

 

"Serius, Bu?" tanya saya rada olohok. 

"Muhun atuh hahaha!" Ibu Asih tertawa renyah saat berkata demikian. Saya pun ikutan tertawa.

Saat ini ibu dua anak tersebut sedang menjalani masa pensiun. Waktunya lebih leluasa buat mengasuh toko. Sebelum pensiun, ia membuka tokonya sehabis jam kerja kantor.

Saya meresapi perkataannya. Punya toko buku, bekerja di kantor, sekarang pensiun, tokonya masih dalam pengasuhan. Wah sepertinya kehidupan yang menarik bila saya menilainya dari lapis permukaan saja. Utamanya jika pemilik toko adalah kutu buku juga.

 

toko buku di garut toko buku merpati

 

Namun menjual buku bukan pekerjaan mudah, lantas bagaimana dengan menjual buku berbahasa sunda?

Ibu Asih cerita bahwa pelanggan tokonya terdiri dari pegawai dinas pemerintah, guru dan anak sekolah dasar, lalu perantau.

“Perantau, Bu?” tanyaku rada bingung tapi saya dapat menebak arahnya ke mana.

“Muhun,” jawabnya. Ia melanjutkan, perantau orang sunda yang bekerja dan tinggal di luar pulau jawa dan luar negeri bila pulang ke Garut pasti mampir ke tokonya dan memborong banyak buku. Salah satu pelanggannya bermukim di Kalimantan.

“Buat obat kangen” ucapku, Ibu Asih mengiyakan. Biar serasa tidak jauh dari kampungnya mungkin, katanya lagi. 

 

Saat itu saya ingin memotret Ibu Asih tapi beliau berkata sedang tidak memakai kerudung. Tidak enak hati memotonya secara diam-diam, saya hanya meminta izin foto toko dan buku-bukunya saja. 


Penampakan tokonya seperti bukan buatan tahun 2000an. Tegel kuning kusam terlihat seumur dengan ayah saya, lemari buku yang rapi dan sunyi, etalase toko dengan majalah Mangle yang menggantung-gantung hening di sana. Semuanya, meski tidak tua-tua amat, terasa begitu antik. 


Saya menyimpulkan Ibu Asih sayang pada tokonya. Ia juga pembaca buku, dengan fasih dan lincah ibu berusia 62 tahun tersebut merekomendasikan berbagai macam judul.

Dibantu rekomendasinya, saya membeli tiga buku di sini. Total harganya Rp99.000. Tidak lupa saya minta cap tokonya juga di halaman pertama tiap buku sebagai tanda mata. Kenang-kenangan.


toko buku di garut toko buku merpati

 

Toko buku Merpati tidak berjualan online. Alamatnya di Jalan Ciledug 57 Garut.

Senin - Sabtu
Buka pukul 09.00
Tutup sebelum magrib

Mungkin hari minggu juga buka

 

Bila kamu datang ke sana dan mendapati tokonya tutup di antara pukul 9 dan sebelum magrib, anggap saja belum beruntung. 


Toko Buku Merpati ini ibaratnya kue-kue rumahan, diasuhnya dengan sentuhan pelan dan longgar, tergantung aktivitas pemiliknya. Subuh-subuh saja, jika kamu melihat seorang ibu-ibu sedang menyapu trotoar depan etalase toko, mungkin itu pertanda sudah buka tokonya.


toko buku di garut toko buku merpati

Bandungdiary yang Menggantung di Toko Monas

29 May 2023

Toko Monas yang berada di Pasar Kanoman itu berubah wajah. Tegel toko yang sebelumnya warna hijau persegi kecil kini keramik mengkilap. Tidak lagi ada jambal roti menggantung-gantung kokoh di pintu toko. Bakasem japuh dalam baskom dan ebi beralas tampah menghilang. Semua ikan asin tersimpan  dalam chiller.

 

toko monas cirebon


Mudik 2023 lalu saya berbelanja di Toko Monas yang sekarang serba modern dan rapi. Wujudnya membuat wajah toko ini sama dengan toko oleh-oleh pada umumnya yang kulihat di Cirebon. Cici yang biasanya menjaga kasir toko wafat tiga tahun lalu. Kini toko diurus generasi ketiga.

Perubahan wajah toko terjadi entah karena efek pandemi atau memang pemiliknya mau renovasi toko saja. Saya menyukai wujud toko sebelumnya yang rapi, sedikit berantakan tapi cantik dan terasa tradisionalnya.

Namun ya sudahlah, saya pembeli bukan pemilik tokonya. Di sini saya belanja bakasem japuh saja. Selain font nama toko yang syukurlah tidak diubah, kualitas produk di toko juga masih sama seperti dulu. Di Bandung kumasak dan makan bakasem japuhnya, duh gusti nikmatnya luar biasa memang bakasem japuh made in toko Monas adalah terbaik!

Btw, saat membayar di kasir, saya melihat ada beberapa pigura terpajang di tembok belakang kasir. Kubaca dan kukenal salah satu foto yang dalam pigura itu: foto Toko Monas yang kujepret dengan kamera hp di tahun 2018 dan saya posting ke instagram Bandungdiary.

Kuminta izin kepada mba-mba kasir untuk melihat piguranya lebih dekat. Ia menolak, tentu saja karena alasan keamanan, tidak mengapa.


Saya mengatakan padanya bahwa foto yang menggantung di belakang meja kasir itu adalah foto jepretanku. Itu pun akun instagram milikku. Hamdalah dibolehin kulihat piguranya dari dekat. 

 

toko monas cirebon


Postingan saya tentang Toko Monas masuk radar tokonya. Juga sangatlah saya terharu atas fakta bahwa mereka mencetak foto beserta captionnya dan memajangnya di toko. Nama akun instagram saya tidak dihilangkan. 


Saya bukannya dari Kompas, Jawa Pos, atau media lainnya yang meliput Toko Monas. Saya hanya pelanggan yang kebetulan punya instagram dan blog. Perlukah saya merasa istimewa mengetahui bahwa mereka memajang postingan instagram Bandungdiary di tokonya? 


toko monas cirebon


Indra bilang saya gak berlebihan. Saya sendiri tidak tahu sejarah dan asal usul tokonya. Hanya saya tebak saja dengan kandungan produk yang terkurasi dan beragam khas pantura itu, kupikir ini toko mungkin sudah ada sejak lama. 

 

Keinginan saya posting foto Toko Monas di instagram semata-mata ingin merekomendasikannya sebagai toko oleh-oleh Cirebon. Maksudku di antara batik trusmi (yang bagus itu) dan empal gentong (yang enak banget itu), ada toko yang menjual produk pangan khas Cirebon berupa bakasem, ebi, emping kwalitet bagus, dan mie homemade yang mereka buat dengan teknik kuno seperti di tiongkok. 


Menurut pendapat saya komponen pangan ala wong Cirebon sangatlah menarik. Mereka bukan jawa juga bukan sunda. Bila kamu plesir ke Cirebon, belanja ke pasar tentu saja jadi pengalaman menyenangkan karena ketemu bahan-bahan pangan yang orisinil. Asem jawa saja ada beberapa macam dari yang mentah sampai yang tanpa biji. Hingga asem jawa ya g difermentasikan jadi obat bernama Asem Kawak. 


 toko monas cirebon


Pada waktu itu saya bisa masukkan toko ini sebagai ‘hidden gem’ Cirebon karena kurasi Toko Monas akan produknya memang sebagus itu. 


Maksudku, di mana bisa kamu temui jambal roti versi manis? Dan bakasem japuhnya Toko Monas…astaga…terbaik sekali dari segi tekstur, ukuran, dan rasa. Penggemar masak memasak niscaya akan bahagia ada di toko ini.

Beberapa kali sebelum pandemi saya jastipkan produk dari Toko Monas di Bandung. Pembelian saya hanya 2-3 juta. Bila saya minta diskon ke cici, ia memberiku diskon 10.000 sambil berkata “wis tenang bae baka tuku ning kene jaminane wis mutu kabeh laka maning ning toko sejene!” demikianlah kepercayaan diri pemilik toko, cici-cici yang usianya saat terakhir saya bertemu mungkin sekitar 70 tahunan. 

Saat berbelanja dan jastip itulah saya memotret banyak produk Toko Monas dan fasadnya. Saya posting di instagram. Dan foto itulah yang mereka pajang. 


Bandungdiary yang menggantung di Toko Monas adalah salah satu episode ajaib nan menyenangkan dalam hidupku. 


toko monas cirebon

Soto Bu Pujo yang Kutemukan di Twitter

10 May 2023

Begitulah media sosial. Tidak sengaja saya temukan postingan tentang Soto Bu Pujo di timeline twitter. Itu terjadi beberapa bulan lalu. Saat benar-benar berada di Jogja, saya telusuri kembali postingan tentang kuliner jogja, wah itu dia, soto terenak yang ada di Pasar Beringharjo lantai dua! 

 

soto bu pudjo di pasar beringharjo

 

Sehabis ikutan tur jalan kaki dengan Jogja Good Guide, saya menumpang ojeg online ke arah Malioboro. Syukurlah masih kebagian satu porsi soto karena pembeli berikutnya beberapa orang setelah saya malah kehabisan. Kulihat jam tangan, kira-kira belum pukul satu. Hebat betul sudah habis sotonya. 


"Bukanya jam berapa, Bu?" kutanyakan sambil nunggu sotonya datang. Jam 8 pagi jawabnya. Wah kupikir buka sejak jam 6 pagi atau lebih subuh lagi. Berapakah stok porsi soto yang mereka siap jual ataukah sudah dipatok tidak bawa banyak-banyak, ataukah pembelinya sebanyak itu? 


Soto datang, kumakan saja. Kuahnya panas membara. Menyantap soto sepanas ini di tengah pasar dan cuaca Jogja yang menggelora rasanya nikmat sekali. Meski saya kepanasan dan keringatan saat makan, tapi setelah selesai dan menutup sesi dengan segelas es teh manis rasanya agak dingin ke tubuh. 

 

Sebetulnya tidak ada beda santap siang di Pasar Beringharjo dengan Pasar Cihapit. Namun namanya orang liburan, saya merasa ada aura petualangan yang berbeda saja. Semua gerak-gerik awak masak Bu Pujo, semangkok soto, segelas teh manis dingin, suara dangdut koplo entah darimana sumbernya, sudut-sudut pasar yang terasa antik. Wah suasana makan siang (yang basah karena keringatan!) yang menyenangkan. 

 

soto bu pudjo di pasar beringharjo

Dagingnya made in Soto Bu Pujo empuk dan sedikit beraroma. Potongannya tidak terlalu besar. Hanya menyediakan daging sapi saja. Ada bihun, potongan daun kucai, toge, kol, dan bawang goreng. Sejujurnya satu porsi terasa kurang buat saya. Namun mau nambah pun tidak bisa karena mahal. Harga turis. Seporsinya Rp19.000. Menurut pendapat saya ini masih mahal bila dibandingkan (ukuran) satu mangkoknya yang mungil untuk perut saya yang seluas Siberia.

 

Namun tidak ada keluhan berarti. Saya menikmati soto bening ala Bu Pujo ini dengan tentram dan khidmat saja.  

 

Agar rasa kenyang tertancap damai di perut saya beli jeruk setengah kilo. Kembali ke hotel, saya makan jeruk dan tidur siang. Memanglah setelan orang liburan dan jalan-jalan itu damai rasanya. Ada uang yang terpakai tapi ada pekerjaan yang sejenak bisa ditinggalkan bukan? Hehe.


Walo inginnya mencari kuliner lain, tapi bisa jadi saya akan kembali makan di soto yang sama kapan-kapan. Rasanya memang enak. Cobain! Makasih mas-mas yang rekomendasiin Soto Bu Pujo di Twitter! 

 

soto bu pudjo di pasar beringharjo

Berkunjung Ke Museum Rumah Peranakan di Jalan Gambiran Parakan

24 March 2023

Ada seorang arsitek, seniman, kolektor, sekaligus pebisnis tembakau yang kebon tembakaunya berada di Parakan. Chris Darmawan namanya. Ia membeli rumah tua di Parakan dan mengkonservasinya. Tahun 2022 rumah tersebut menjadi rumah percontohan museum peranakan dan menjuarai Ikatan Arsitek Indonesia Heritage Awards. 

 

 

museum rumah peranakan parakan


Ini rumah dengan kondisi paling segar dari empat rumah yang saya kunjungi di Parakan. Bersih dan sangat terawat. Rumah ini sebetulnya adalah rumah lama yang sudah melalui proses konservasi. Oleh Pak Chris rumah ini dijadikan museum dan galeri rumah peranakan. Beliau sendiri kini bermukim di Semarang, tapi semasa kecilnya hingga bangku SMP ia tinggal di Parakan.


Peranakan tionghoa adalah budaya percampuran yang terjadi karena pernikahan antara orang tionghoa dengan orang indonesia.


Di kota Parakan ini percampuran budaya terjadi  dengan etnis Jawa. Dalam proses akuturasi budaya tersebut, pengaruh budaya kolonialnya ikut bercampur mengingat saat itu pemerintah kolonial yang berkuasa.
 

Museum inilah yang memperlihatkan campuran budaya tersebut. Terdiri dari dua bangunan, ada gaya tionghoa dan eropa di sini. Di antara kedua bangunan tersebut ada taman kecil tanpa atap.


Bangunan di depan bergaya peranakan tionghoa. Lengkap dengan altar sembahyang dan berbagai perabotan khasnya. Bangunan kedua bergaya kolonial, lebih kelihatan western karena ada dekorasi melengkung yang katanya Mas Bayu, pemandu saya, itu khas eropa.

Museum ini berpagar pendek, ada dua daun pintunya. Meski ada teras sempit, dari pagar kita langsung ketemu pintu rumah dan dua pintu jendela di sisi kanan kiri. 


Rumah-rumah tua yang saya saksikan di Parakan penampakan luarnya sederhana dan tidak terlalu mencolok kecuali ukuran tembok bangunan yang tinggi. Namun tunggu sampai kamu lewati pintu masuknya. Barulah terlihat kemegahannya yang memukau. 

 

Di museum ini sebelum masuk lewati pintu, Mas Bayu si pemandu meminta kami mendongakkan kepala. Di atas kami ada Thawkong, penyangga kuda-kuda yang menonjol ke luar. Wah indah sekali peyangganya, craftmanship tukang-tukang zaman dulu memanglah rumit dan penuh detail. Ukirannya mengagumkan dan njelimet.

 

museum rumah peranakan parakan 

museum rumah peranakan parakan


Dalam buku Living Heritage Parakan disebut “kuda-kuda itu bukan sekadar bagian dari struktur bangunan, melainkan dibuat untuk menyenangkan mata yang memandangnya. Indah tanpa mengurangi kegaharannya sebagai penyangga kuda-kuda”. Dekorasi zaman dulu memperhatikan sekali kerinciannya sampai-sampai hal yang luput dari mata biasa saja tetap dibuatnya penuh dedikasi dan cantik sekali. 

Masuk ke dalam bangunan kita akan bertemu altar sembahyang. "Rumah peranakan pasti ada altarnya," kata Mas Bayu. Semua rumah peranakan yang saya kunjungi altarnya berada tepat di hadapan pintu masuk rumah. Ada juga yang agak menyamping sedikit seperti di Omah Tjandie tempat saya melihat pembuatan Bolu Cukil Cap Tomat.

Di sisi kiri dan kanan ada ruangan tanpa pintu, ada kursi-kursi jati khas tionghoa di sana. Alas duduknya batu marmer. Enak betul saat kududuki terasa sejuk dan adem ke bokong. 


Dekorasi guci tersimpan di berbagai pojok ruangan. Saya khawatir salah gerak sehingga menyenggol gucinya. Guci-guci kuno berusia ratusan tahun soalnya. Bila membawa anak kecil sebagai peserta tur baiknya diaping betul-betul di sini.

Pak Chris menjaga ruh rumahnya seperti dahulu kala. Lantai dalam museum berupa tegel berwarna hitam pola kembang. Meski pola tegelnya terlihat antik, tapi cetakannya baru. 

 

Bukan hanya arsitekturnya yang diperhatikan tapi juga sampai ke perabotannya: foto, lukisan, meja marmer dan kayu, kursi berukir yang kayu swancinya didatangkan dari Tiongkok, guci-guci kuno, lampion,  ranjang, sampai tempat menggantung sandal dan kain, juga wadah untuk mencuci wajah lengkap dengan cerminnya.


Saat membeli rumah tua ini, Pak Chris memang bertujuan mengembalikan rumah ke kondisi kejayaannya. Proses konservasi dilakukan dengan riset agar rumah tersebut lahir kembali dan semirip mungkin dengan kondisinya dahulu saat dihuni pemilik pertama rumah, keluarga Siek Kiem Tan. 


Kepemilikan rumah ini berpindah-pindah tangan. Mulanya milik Siek Kiem Tan, juragan gambir yang bisnisnya moncer sampai-sampai gambirnya diekspor. Siek Kiem Tan wafat tahun 1935.


Mas Bayu pemandu dari PIPPA cerita bahwa gambir digunakan sebagai pewarna pakaian. Selain tembakau, Parakan ini surganya gambir. 

Saking kesohornya keluarga Siek dan bisnis gambir, juga rumah-rumah tinggal lainnya yang berbisnis sama, lokasi rumah mereka bernama Gambiran. Kini nama jalannya menjadi Tejo Sunaryo. Namun warga Parakan masih menyebutnya jalan gambiran.

 

museum rumah peranakan parakan

museum rumah peranakan parakan

 museum rumah peranakan parakan

 

Selain mongkonservasi bangunan tua, Pak Chris juga berinisiatif membuat buku mengenai rumah-rumah tua di Parakan. Judulnya Living Heritage Parakan. Penulisnya Lily Wibisono dan fotografernya Feri Latief. 

 

Saya membaca bukunya di perpustakaan Telkom University di Bandung. Setelah membacanya, terasa betul penyusunan buku ini sangat istimewa. 

 

Bukan saja ia mengarsip proses konservasi rumahnya sendiri, tapi juga meriset rumah-rumah kuno yang berada di Parakan. Ada wawancara dengan pemilik rumah. Riset dan pengumpulan datanya pasti gak mudah. Saya merasa beruntung sudah membaca bukunya dan akhirnya bisa juga berkunjung ke Parakan.


Kuharap kota-kota lainnya di Indonesia juga mendapatkan anugerah seseorang dengan privilege seperti Pak Chris. Harusnya ini tugas pemerintah sih tapi ya sudahlah bisa ngarep apa dari pemerintah


Di youtube ada arsip diskusi #ObrolanHeritage 54 bertema Parakan: Living Heritage, diskusi ini berlangsung saat pandemi tahun 2020. Saya mengakses videonya karena penasaran saja apakah yang diobrolkan ada rumah yang saya datangi. Ternyata iya. 

 

Dalam diskusi tersebut Chris Darmawan cerita bahwa rumah yang jadi museum peranakan itu tidak menggunakan semen dalam pembangunannya. Sebab itulah di proses konservasi dia juga melakukan hal yang sama.


Jadi Pak Chris menggunakan campuran bata merah yang ditumbuk, batu kapur, dan pasir. Komposisinya 2:1:1.  Ia juga mengatakan rumah tersebut tidak menggunakan bata merah tapi bata mentah yang terbuat dari campuran tanah dan air. "Tebal batanya 50 cm," katanya lagi. Bahan bakunya memang tidak ada lagi sehingga Pak Chris menyiasatinya dengan teknik yang kira-kira mirip. Mungkin begitu. 


Ini wujud rumah lama yang baru. Saya melihat foto-foto lama rumah ini sebelum ‘dibersihkan dan diperbaiki’ dan berada di dalamnya hari itu rasanya seperti melihat sesuatu bangkit dari kuburnya, dalam makna yang baik.


Mengunjungi museum peranakan ini sepertinya harus by appointment dulu. Kontak PIPPA untuk mendapatkan izin dan panduannya.

 

Saya beruntung bisa menyaksikan rumah peranakan yang kini jadi museum tersebut. Makasih, Alon Mlampah yang ajak saya berkunjung ke Parakan.

museum rumah peranakan parakan