Main ke Jogjakarta tujuan utamaku ikutan tur yang dirancang operator bernama Alon Mlampah. Tur jalan kaki ini berlokasi di sebuah pabrik cerutu berusia 104 tahun. Taru Martani namanya, artinya daun yang menghidupi. The leaf of life.
Tur berlangsung pukul 1 siang (18/11/2022). Hari itu Jogja adem banget. Tiga hari dua malam di Jogja cuacanya teduh. Beruntung sekali rasanya hehe.
Taru Martani mulanya ada di zaman kolonial, pengusaha Belanda yang mendirikannya. Di zaman revolusi kepemilikan pabrik dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kini Taru Martani adalah perusahaan daerah.
Taru Martani artinya the leaf of life. Daun yang menghidupi. Agak ironis dengan tembakau yang dianggap mematikan paru-paru, sebetulnya sih. Namun namanya hidup selalu ada paradoks. Hehe. Dan postingan ini tidak sedang menghakimi tembakau dan penggemarnya yha.
Daun yang menghidupi adalah nama pemberian Sultan Hamengkubuwono IX. Menghidupi di sini ditujukan pada pegawai-pegawai dan orang yang terlibat dalam ekosistem pabrik cerutu tersebut.
Pak Adam memandu kami, katanya boleh masuk pabrik dengan syarat: gak boleh rekam video. "Nah kalau foto boleh," ucap kepala produksi Taru Martani itu.
Gak banyak sambutan bertele-tele ala pegawai pemerintah. Ia menuntun kami berjalan, lewati koridor panjang menuju ruang produksi yang pertama. Semacam wall of fame di dinding koridor ada foto-foto tokoh nasional dan dunia yang pernah datang ke Taru Martani.
Terus tahu gak, ada Che Guevara dong. Wah mengapa bagian Che dilewatkan. Bagaimana ceritanya ia bisa berkunjung ke Taru Martani. Cerutu apa yang ia sukai. Terlebih lagi, ngapain dia ke Jogja?
Apakah saya melewatkan cerita tentang cerutu Taru Martani dan Che ini ataukah memang gak diceritakan oleh Pak Adam ya. Ah ya sudahlah.
Kami lihat produksi di ruang bagian daun pembungkus cerutu. Di sini daun tembakaunya difermentasi. Produksi tahap kedua ada pembuatan kepompong cerutu.
Tahap ketiga ada proses melinting. Terakhir tahap produksinya adalah pengemasan.
Usai dikemas cerutu gak langsung dijual tapi masuk ruang penyimpanan. "Ada proses drying, freezing, dan relaxing selama 35 hari," Pak Adam melanjutkan "kalau sudah melewati tahap itu cerutu sudah siap jual."
Ribet prosesnya. Ditambah cerutu itu murni tembakau. Menurut Pak Adam, dalam satu cerutu ada 5-7 jenis tembakau. Daun tembakau diambil dari Jember, Situbondo, Labalangka, Lombok. Nampaknya lokasi itulah penghasil tembakau unggul sih.
Cerutu Taru Martani kualitasnya ekspor. Standarnya internasional. Pak Adam yang bekerja di sini sejak tahun 1997 cerita kalo resep racikan cerutu di sini basednya holland taste alias seleranya wong eropa. Pasar ekspor terbesarnya Jerman. Ada juga Rumania, Swis, Lebanon, dan lain-lain.
Baru kutahu juga ukuran cerutu beragam. Ada yg besar, kecil, atau beda bentuk. Pak Adam bilang best sellernya Taru Martani adalah Robusto.
Masa kejayaan Taru Martani sudah lewat. Yaitu tahun 1990-1998. Habis itu penjualan menurun. Kini produksi Taru Martani 40.000 batang/hari utk pasar ekspor dan lokal. Pegawainya sekitar 230an.
Pada masa kejayaannya, pegawai Taru Martani ada ribuan. Tahun 1990-1998 era keemasannya.
Bisa dibilang Taru Martani terdampak kampanye antirokok. Apalagi di Eropa tahun 1960 ada larangan merokok di ruang publik.
Menurutku pun cerutu bukan produk massal ala rokok sih. Harganya mahal, produknya juga murni tembakau. Orang-orang tertentu aja yang bisa menghisap cerutu: orang dengan kekuasaan atau orang dengan banyak uang. Atau yah cerutu memang rokok orang-orang kolonial sih.
Namun namanya juga perubahan zaman. Cerutu yang murni tembakau ini sekarang dibuat versi murahnya. Taru Martani pun memproduksi cerutu macam itu.
Fakta menarik lain diceritakan Pak Yuda, anak buahnya Pak Adam. Selama pandemi penjualan cerutu dan tis meningkat (tis = tingwe, rokok kretek dengan saus).
"Orang-orang diem di rumah aja mungkin jadi gak banyak kegiatan, akhirnya nyoba ke cerutu dan tingwe,".
"Atau kesepian kali ya, Pak?" tanyaku. Pak Yuda ketawa. Che Guevara pernah bilang sih, ‘mengisap cerutu di kala senggang ialah sobat sejati bagi pejuang yang kesepian’. Pejuang yg Che maksud pejuang revolusi sih, tapi ya bisa disambungin mungkin, pejuang pandemi. Hehe.
Di belakang pabrik ada bangunan bekas kapel, tempat ibadah umat kristen. Kita tahu prinsipnya penjelajah kolonial adalah 3G: glory, gold, dan gospel. Nah Taru Martani juga dirancang demikian. Misi penyebaran kristen katolik juga terjadi di pabrik ini. Sekarang kapelnya berfungsi jadi ruang loker pegawai Taru Martani.
Di depan kapel ini pula turnya berakhir. Alon Mlampah memberi kami suvenir ala Taru Martani.
Bila ingin membeli produk Taru Martani bisa datang ke pabriknya. Ada koperasi di sana dan bisa beli eceran. Kalo beli online bisa buka Tokopedianya instagram @tarumartani1918coffee, klik saja link di bio akun tersebut.
Begitulah sekilas cerita dari Turnya Taru Martani. Detail-detail tahun, nama, kronologis cerita silakan diketahui saja langsung dengan mengikuti turnya Alon Mlampah.
Jogja seru amat walking tournya! Matur nuwun, Alon Mlampah! Saya harus nabung agak banyakan nih biar bisa sering-sering ke Jogja sih ikutan tur jalan kaki di sana. Hehe.
Photo courtesy: Ulu