Biasanya, biasanya nih, film-film yang masuk kelas festival adalah film yang jujur, kelas sosial dan konfliknya diperlihatkan apa adanya. Tahu sendiri ya kejujuran macam begitu seringnya bikin sesak napas.
Dengan demikian saya sering menghindar dari film-film festival, lebih spesifik lagi yang kisahnya melibatkan konflik perempuan sebagai tokoh utama. Seperti film yang judulnya Yuni ini.
Beda dengan format buku. Sepedih apapun ceritanya saya sanggup baca. Nah begitu film Yuni rilis dalam bentuk novel saya langsung ikutan preorder.
Ceritanya gini. Yuni kelas 3 SMA. Tinggalnya di kota kecil, daerah Cilegon. Di sana lazim perempuan menikah usia muda (di bawah umur 20 tahun). Yuni menghadapi isu yang sama, begitupun teman-temannya.
Masih duduk di bangku sekolah saja, Yuni sudah dilamar 2x. Gadis ini mengalami kebimbangan, apakah teruskan sekolah atau menikah. Dia juga dihadapkan pada banyak kenyataan bahwa stigma sosial banyak dijatuhkan pada perempuan. Misal: menolak lamaran menikah itu pamali.
Meski gak seperti Yuni, saya sendiri sebagai perempuan sering ketemu peristiwa yang membuatku berpikir, mungkin Tuhan itu laki-laki ya? Ataukah jangan-jangan dunia ini dirancang untuk laki-laki saja?
Demikian. Saat saya membaca bagian akhir ceritanya, saya bertanya-tanya apakah Yuni: ***** **** ataukah ia jadinya *******?
Gini nih ciri khas film-film festival, bagian akhirnya sering berada di tangan penonton. Atau dalam kasus saya, di mata pembaca.
Ayo ditonton filmnya, atau seperti saya, dibaca novelnya 💜💜💜
Post Comment
Post a Comment