Braga di Bandung, siapa yang tidak tahu. Braga bisa disebut sebagai jantungnya sejarah kolonial kota kembang.
Saya mengikuti tur jalan kaki berjudul Telusur Gang Braga. Seorang warga lokal memandu kami, Farida namanya. Ia menuntun kami berseluncur ke dalam gang-gang, melihat rupa Braga dari dalam akarnya selama tiga jam pada hari sabtu (10/12/2022).
Telusur Gang Braga bersama Braga Heritage merupakan acara kolaborasi dengan festival literasi keliling Patjarmerah dalam rangka sesi #JelajahPatjar. Para peserta secara acak mendapat satu buku tentang Bandung sebelum tur mulai.
Farida bercerita mula-mulanya di zaman kolonial ada empat orang saudagar kaya raya menguasai kepemilikan tanah di Braga: Alkateri, Asep Berlian, Apandi, dan Yiep Ging. “Apandi pelukis terkenal itu bukan, Teh?” tanyaku lugu dan bodoh.
Saya masih yakin Apandi yang dimaksud adalah pelukis tersohor. Namun kepikiran juga apa iya dari penjualan lukisan bisa beli tanah banyak banget. Farida tersenyum usil, ia menyimpan rahasia perihal Apandi sampai kami berada di depan Hotel Kedaton.
Di depan pelataran parkir Bank Jabar tempat kami berkumpul, Farida bercerita bahwa wilayah Braga terbagi dua: braga pendek dan braga panjang. “Braga pendek itu kira-kira dari Bank Jabar sampai Museum Konferensi Asia Afrika. Braga panjang meliputi Gedung berita Antara sampai Bank Indonesia,” katanya.
Di belakang braga panjang terdapat pemukiman warga yang padat dan berdesak-desakan dalam gang. Jumlah rukun warganya ada delapan. Farida bermukim di RW 03.
Braga yang kutengok dalam gang tidak jauh berbeda dengan gang-gang sempit di jantung kota dan kabupaten Bandung: rumah menempel saling berhimpitan, ibu-ibu bercengkrama di depan rumah, sampah berceceran, dan banyak bangunan menyerupai kos-kosan/kontrakan. Bedanya ya tentu saja bobot sejarah si Braga.
Rumah besar dan kecil berdempetan. Ada RW-RW yang terlihat bersih segar nan hijau, banyak tanaman hias. Ada pula yang terlihat kotor dan tidak terurus. Kupikir selain bobot sejarahnya, gang-gang di Braga ini menarik juga penampilannya karena perbedaan mencolok antar rukun warga tersebut.
“Warga di Braga kebanyakan pendatang. Profesinya mayoritas pedagang kecil makanya banyak warung di sepanjang gang,” Farida melanjutkan “tukang bengkel ada, pegawai toko juga ada. Kalo pegawai negeri kayaknya jumlahnya hitungan jari deh.”
Persis di belakang Braga City Walk, bangunan tinggi menjulang sangat kontras dengan suasana di titik saya berdiri, terdapat puing-puing bangunan yang sudah rata. Warga menggunakan lahan tersebut untuk berkumpul bercengkrama dan parkir motor. Anak-anak memanfaatkan lahannya untuk bermain. Di sana pula Farida menyuguhi kami surabi Surga, Surabi Braga, buatan Teh Nur yang warungnya berada di lokasi kami berkumpul. Kupilih surabi oncom tentu saja.
Sebuah tips: bila kamu berhadapan dengan surabi Bandung, maka pilihlah pertama-tama surabi oncom, pilihan keduanya surabi kinca.
Sambil mengunyah surabi kami mencerna juga cerita Farida seputar sengketa lahan di Braga. Namun detail cerita ini harus saya sensor. Farida dan Braga Heritage secara berkala mengadakan tur berjalan kaki gang braga. Kamu follow saja akun instagramnya dan pantau informasinya di sana.
Farida menuturkan dahulu komunitas di Braga terbentuk dari kalangan pendatang. Salah satunya adalah sopir-sopir delman dan pedati. Di masa lalu Braga yang berdekatan dengan Banceuy pernah menjadi istal kuda. Tempat peristirahatan kuda, kerbau, dan kusirnya itu dekat dengan pos pemeriksaan dan bagian dari rangkaian Jalan Raya Pos yang termashyur di zaman kolonial.
Masa istirahat para pengendara kuda, delman, dan pedati ini bisa memakan waktu lebih dari sehari. “Waktu istirahat itu mereka menetap di Braga, mungkin cinta lokasi dengan warga di sini, dan beranak pinak,” katanya lagi.
Begitu pun yang terjadi hari ini. Komposisi pendatang di Braga jumlahnya lebih banyak ketimbang warga lamanya. “Makanya masalah yang ada di sini kompleks banget,” kata Farida yang menetap di Braga sejak usia kecil.
Farida dan keluarganya telah mendiami Braga sejak puluhan tahun lalu. “Ibu saya sendiri lahirnya di sini tahun 1950an,” katanya lagi. Saking komunal dan bertumpuknya pemukiman di lingkungan ini fasilitas MCK umum masih tersedia.
“Kalo kondisi air bersih di sini gimana, Teh?” tanyaku. Farida bercerita fasilitas air bersih di gang-gang braga disediakan oleh PDAM, tapi warga menampung airnya di jam-jam tertentu saja dan tidak semua RW mendapatkan fasilitas tersebut. Air ledeng baru menyala pukul 5 sore sampai 5 subuh.
Mojang Bandung yang profesinya mengajar ini memberitahu kami bahwa hotel-hotel dan kafe yang berada di Braga membeli air bersih dari wilayah lain. Warga dari RW 06 di Kejaksaan juga melakukan hal yang sama, yakni membeli air bersih ke produsen air kecil berwadah jirigen.
Memang paling menarik berjalan dengan pemandu lokal, dia membawa kami ke akar-akar Braga yang tidak terlihat dari jalanan. Kami masuk terowongan, halaman belakang rumah warga, dan sisi sungai Cikapundung. Farida juga memberitahu kami informasi faktual. Cerita tentang sejarahnya adalah hal yang perlu diketahui, kisah warga sehari-harinya merupakan hal lain yang menjadi penghubung antara masa lalu dan hari ini, imho.
Selain mengajar, dalam kesehariannya Farida mengelola sebuah rumah baca bernama Rumah Baca Kreatif Braga. “Di tahun 2019 untuk keberlangsungan program rumah baca kami coba buat tur jalan kaki. Pemandunya anak-anak karang taruna yang udah kami latih,” Farida cerita panjang lebar tentang asal muasal Braga Heritage.
Farida pernah terlibat kegiatan di Museum Konferensi Asia Afrika bernama Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA). Ia berkecimpung dalam anak klab edukator SMKAA. “Saya belajar memandu dari museum KAA, terus saya coba bagikan ilmunya ke anak-anak karang taruna di Braga sini,” ungkapnya lagi. Braga Heritage kini menyediakan tur reguler bernama Ngabaraga.
Pendiri Braga Heritage ini mengaku tidaklah mudah membina warga tertarik ke dunia sejarah. Bilapun ada kebanyakan mereka bersikap pemalu saat harus berbicara di depan orang lain. “Mendobrak malu-malu kucingnya warga ini yang sulit,” katanya.
Farida, Braga Heritage |
Warga Braga sendiri menyambut peserta tur jalan kaki dengan ramah. Menurut Farida mereka sudah terbiasa kedatangan warga asing. “Cuma masih harus belajar “bersih”, “ungkapnya sambil terkekeh. Saya lupa menanyakan bersih-tanda-kutip yang dimaksudnya apa.
Permasalahan lain di Braga adalah tidak ada sinergi antara pelaku bisnis di jalan besar dan warga di perkampungan belakang jalan. Menurut Farida masalah ini adanya karena kurang komunikasi, "kurang ngobrol," katanya lagi.
Menghuni pemukiman Braga, Farida punya keinginan melongok dapurnya restoran kuno di Braga bernama Sumber Hidangan.
Sekalian saya kutanya iseng, selama tinggal di Braga yang banyak kafe dan hotelnya, ada gak tempat yang pengen teteh lihat dan kunjungi?
Secara mengejutkan si teteh manis ini menjawab antusias: Nyonya Manis! “Kabita pengen masuk ke dalamnya, Nyonya Manis kalau siang jualan dimsum, kalau malam berubah jadi klab malam!” katanya sumringah.
Tak kusangka. Haha. Langsung saya search itu Nyonya Manis di Instagram dan kufallaawwww!
Ohiya teka-teki Apandi itu akhirnya diceritakan Farida saat kami berada di depan lokasi bekas rumah keluarga Apandi. Terbukti memang pertanyaan saya ada bodohnya.
Demikian sepotong cerita dari tur jalan kaki menengok Braga dari dalam akarnya. Betulan sepotong saja karena Farida tidak membawa kami ke ruang-ruang bawah tanah Braga. Durasi tur ada batasnya.
Kurasa Braga memang panjang dan beragam kisahnya. Hari itu yang kutengok cuma sepotong akarnya saja.