Memang sengaja saya singgah jam delapan pagi. Selain ada urusan dengan Paxel, saya mau foto bangunan tua DIDAGO. Lokasinya di Dago nomor 21. Tidak jauh dari lampu merah, ada di belakang gedung Dekranasda.
Awalnya sih karena instagram. Duh apa sih yang gak gara-gara instagram sekarang ini tuh!
Lihat postingan Teh Asih dan Kang Andhika, saya pikir ini bangunan apa kok bagus amat. Di Dago ada memangnya ya bangunan tua begitu bentuknya? Ya sudah saya ontrog aja biar rasa penasaran ini hilang. Namun seorang teman berkata baiknya saya ke sana pagi-pagi. Karena ini kafe DIDAGO ini ramai pengunjungnya bukan main. Siapa tahu kan pagi masih kosong.
Ternyata bukan hanya kosong. Kafenya belum buka! Hahaha kepagian saya datang. Gak apa-apa. Kafenya masih tutup tapi bangunannya bisa saya masuki atas seizin karyawan DIDAGO. Mereka beres-beres, bersih-bersih, saya berkeliling bangunannya.
Menarik sekali ada bangunan tua mungil di balik gedung-gedung modern tepi Jalan Dago. Tertancap plakat di dinding bagian depan. Bangunannya didirikan tahun 1954 tanggal 2 Februari. Nama bangunannya: Hotel Dago.
Hotel ini pula yang jadi salah satu lokasi menginap delegasi Konferensi Asia Afrika 1955, selain Preanger, Homann, dan Swarha. Informasi ini saya dapatkan dari Deni bosnya Lawang Buku. Deni bilang informasi tersebut dia dapat dari buku saku delegasi KAA. Sementara di plakat yang kafenya cantumkan, tidak ada keterangan lain selain bangunan tersebut dulunya hotel bernama Hotel Dago.
Saya gak ngerti bagaimana jelasin arsitektur bangunannya. Wkwkwk. Jengki mungkin ya?
Jendelanya khas bangunan lampau, ada banyak! Gak besar, bentuknya persegi. Ada yang kaca tunggal aja ada juga yang bertumpuk sampai enam jendela. Pintu depan berkaca-kaca. Pintu samping setengah kaca. Entah baru, entah masih asli. Dindingnya dibiarkan 'mentah' macam gaya industrial tapi yang ini mentahnya asli deh kayaknya. Alias, emang cat dindingnya mengelupas di sana sini. Tidak jadi buruk kelihatannya, malahan tambah bagus. Arsty. Bagus lah buat latar foto. Gak heran instagenic.
Dominasi warna putih di sini gak membuat mata jereng. Pintu, jendela, bangku, meja, hampir semuanya deh putih. Enak lihatnya. Bersih dan sederhana. Namun juga terasa mahal.
Oiya, bila berkunjung ke DIDAGO cafe, kamu harus lihat tangganya. Cantik sekali! Tanpa rasa takut (karena masih pagi hantu-hantu masih tidur :P) sendirian saya tapaki anak tangganya. Hinggap di lantai atas, saya temui ruangan hangat nan mungil dengan meja kursi. Kata akang-akang wiraniaga, itu ruangan meeting. Ada satu pintu tertutup, sepertinya mengarah ke balkon. Jendela memenuhi dua dinding.
Terasa hangat karena matahari jam delapan pagi sedang menyembur-nyembur itu bangunan. Dan ini gedung royal dengan jendela. Siapa yang dahulu duduk di ruangan ini memunggungi matahari dan membiarkan punggungnya dielus-elus sinar mentari itu?
Bila diperhatikan, ini bangunan terlalu kecil untuk jadi hotel. Apa dulunya ada bangunan lain? atau ukurannya lebih besar dan luas? Gak tahulah. Yang pasti sih luas halaman parkirnya lebih besar dari gedungnya. Tanah kosongnya bisa dibuat jadi apartemen hahaha tapi semoga enggak.
Oya, saya sarapan di sini. Gak enak rasanya sudah berkeliling dan berfoto lantas pergi begitu saja. Saya memesan setangkup roti gandum isi filet daging ayam. Juga milkshake stroberi. Tidak mengenyangkan, rasanya juga gak istimewa. Untuk menu tersebut saya menebusnya dengan uang enam puluh ribu rupiah. Sarapan yang mewah.
Awalnya sih karena instagram. Duh apa sih yang gak gara-gara instagram sekarang ini tuh!
Lihat postingan Teh Asih dan Kang Andhika, saya pikir ini bangunan apa kok bagus amat. Di Dago ada memangnya ya bangunan tua begitu bentuknya? Ya sudah saya ontrog aja biar rasa penasaran ini hilang. Namun seorang teman berkata baiknya saya ke sana pagi-pagi. Karena ini kafe DIDAGO ini ramai pengunjungnya bukan main. Siapa tahu kan pagi masih kosong.
Ternyata bukan hanya kosong. Kafenya belum buka! Hahaha kepagian saya datang. Gak apa-apa. Kafenya masih tutup tapi bangunannya bisa saya masuki atas seizin karyawan DIDAGO. Mereka beres-beres, bersih-bersih, saya berkeliling bangunannya.
Menarik sekali ada bangunan tua mungil di balik gedung-gedung modern tepi Jalan Dago. Tertancap plakat di dinding bagian depan. Bangunannya didirikan tahun 1954 tanggal 2 Februari. Nama bangunannya: Hotel Dago.
Hotel ini pula yang jadi salah satu lokasi menginap delegasi Konferensi Asia Afrika 1955, selain Preanger, Homann, dan Swarha. Informasi ini saya dapatkan dari Deni bosnya Lawang Buku. Deni bilang informasi tersebut dia dapat dari buku saku delegasi KAA. Sementara di plakat yang kafenya cantumkan, tidak ada keterangan lain selain bangunan tersebut dulunya hotel bernama Hotel Dago.
Saya gak ngerti bagaimana jelasin arsitektur bangunannya. Wkwkwk. Jengki mungkin ya?
Jendelanya khas bangunan lampau, ada banyak! Gak besar, bentuknya persegi. Ada yang kaca tunggal aja ada juga yang bertumpuk sampai enam jendela. Pintu depan berkaca-kaca. Pintu samping setengah kaca. Entah baru, entah masih asli. Dindingnya dibiarkan 'mentah' macam gaya industrial tapi yang ini mentahnya asli deh kayaknya. Alias, emang cat dindingnya mengelupas di sana sini. Tidak jadi buruk kelihatannya, malahan tambah bagus. Arsty. Bagus lah buat latar foto. Gak heran instagenic.
Dominasi warna putih di sini gak membuat mata jereng. Pintu, jendela, bangku, meja, hampir semuanya deh putih. Enak lihatnya. Bersih dan sederhana. Namun juga terasa mahal.
Oiya, bila berkunjung ke DIDAGO cafe, kamu harus lihat tangganya. Cantik sekali! Tanpa rasa takut (karena masih pagi hantu-hantu masih tidur :P) sendirian saya tapaki anak tangganya. Hinggap di lantai atas, saya temui ruangan hangat nan mungil dengan meja kursi. Kata akang-akang wiraniaga, itu ruangan meeting. Ada satu pintu tertutup, sepertinya mengarah ke balkon. Jendela memenuhi dua dinding.
Terasa hangat karena matahari jam delapan pagi sedang menyembur-nyembur itu bangunan. Dan ini gedung royal dengan jendela. Siapa yang dahulu duduk di ruangan ini memunggungi matahari dan membiarkan punggungnya dielus-elus sinar mentari itu?
Bila diperhatikan, ini bangunan terlalu kecil untuk jadi hotel. Apa dulunya ada bangunan lain? atau ukurannya lebih besar dan luas? Gak tahulah. Yang pasti sih luas halaman parkirnya lebih besar dari gedungnya. Tanah kosongnya bisa dibuat jadi apartemen hahaha tapi semoga enggak.
Oya, saya sarapan di sini. Gak enak rasanya sudah berkeliling dan berfoto lantas pergi begitu saja. Saya memesan setangkup roti gandum isi filet daging ayam. Juga milkshake stroberi. Tidak mengenyangkan, rasanya juga gak istimewa. Untuk menu tersebut saya menebusnya dengan uang enam puluh ribu rupiah. Sarapan yang mewah.
Mempertahankan peninggalan adalah salah satu cara menjaga warisan nenek moyang, termasuk menjaga bangunan-bangunan tua. Bangunan klasik yang keren nih ^^
ReplyDelete