Tiga tahun ini saya rajin memotret pintu-pintu lama dan jendela tua. Bila ditanya kenapa, saya gak punya jawaban menarik. Mengapa ya? Kalo jawabannya karena saya suka, apa itu cukup?
Bagi saya foto adalah suvenir perjalanan bagi diri sendiri. Saat jalan-jalan, saya menantikan pemandangan rumah-rumah klasik. Foto pintu dan jendela itulah yang saya anggap suvenir. Senang aja lihatnya. Buat koleksi dan memuaskan diri sendiri aja sih. Gak ada niat menyenangkan orang lain atau keinginan disebut keren. Apalagi melestarikan bangunan tua, waduh berat sekali.
Kebetulan saja sekarang ada media sosial. Instagram. Saya pake buat naro foto-foto tersebut. Gak semua yang terpajang di media sosial karena ribuan foto tersimpan di hardisk.
Sewaktu kecil di Karangampel, saya tinggal di rumah tua. Ayahku bilang si rumah didirikan tahun 1950an. Rumah itu milik nenekku.
Jendelanya lapis dua. Jendela kayu berbuku-buku, jendela setengah yang masih dari kayu dengan dekorasi kaca patri. Setelah itu ada tirai dan teralis vertikal.
Setiap pintu kamarnya berlapis tirai. Pintunya berbuku-buku. Ranjangnya besi berkelambu.
Kamar mandi berada di paling belakang. Sebelahnya sumur. Bila mandi ayah ibuku menimba air dulu.
Ada mushola di dalam rumah itu. Berbentuk panggung, kata nenekku supaya air dari kamar mandi tidak nyiprat dari kaki ke lantai musola. Najis, katanya.
Di terasnya ada buk, dirancang agar penghuni rumah sering nongkrong pagi dan sore hari.
Tegel rumah 20x20 cm.
Pintu dapur ya, aih hampir aja lupa, terdiri dari dua daun pintu. Kunci pintunya bukan kunci besi seperti zaman sekarang. Tapi kunci kayu mekanik.
Saya mengingat rumah tersebut sebagai rumah rajeg ijo. Rumahnya seperti manusia. Dari kepala sampai kaki posisinya jelas dan urut.
Melihat kembali ke masa lalu, rumah yang pernah saya diami begitu indah, teduh, dan klasik. Cantik sekali. Kalau sekarang membuat benda yang sama, kayaknya bakal repot ya. Selain mahal, perawatannya juga gak mudah. Seperti pintu berbuku-buku itu, sewaktu kecil saya bertugas mengelap tiap bukunya dengan elap basah. Hah tugas menyebalkan.
Yha begitulah. Tan hana huni, tan hana mangke, begitu kata orang sunda. Gak ada hari ini bila gak ada hari-hari kemarin. Gak ada saya yang memotret pintu-pintu lama, jendela tua, rumah tempo dulu bila dahulu saya gak pernah jadi bagian mereka.
Matur kesuwun buat leluhur-leluhur saya di Karangampel. Saya berterima kasih sekali atas memento tersebut dan merasakan sedikit-sedikit ada gelombang kenangan pada waktu melihat banyak rumah tua lainnya.
kl foto2 rumah tinggal teh ulu di masa lalu sdh pernah diupload belum ya? sepertinya menarik. :)
ReplyDeletePernah diupload di instagram, Pak. Kalo di blog belum nih.
Delete