Highlight jalan-jalan saya di Kuningan adalah Museum Perundingan Linggarjati. Atau Gedung Naskah. Abis baca biografinya Sjahrir nih gara-garanya. Kalo ke Banda Naira menyusuri jejak Sjahrir iraha boa atuh, tapi ke Kuningan bisalah karena dekat dari Bandung. Ada kan shuttle Bhineka jurusan ke sana, naiknya dari Pasteur atau Mekarwangi.
Perundingan Linggarjati, Buat Apa? Mengapa?
Di bangunan bergaya kolonial inilah
berlangsung perundingan resmi pertama Indonesia dengan Belanda setelah proklamasi.
Eh? Kan kita udah merdeka, ngapain berunding segala?
Kita udah merdeka memang. Kata siapa?
Kata kita sendiri. Gak apa-apa ngaku-ngaku merdeka? Gak apa-apa. Akan tetapi
begini lho.
Dunia belum kenal kita. Gak ada yang
tahu negara kita namanya Indonesia. Dunia taunya kita ini Hindia Belanda,
koloninya negara Belanda yang sedang dicaplok Jepang.
Ditambah fakta, mana maulah Belanda
lihat kita merdeka.
Setelah 17 Agustus 1945 itu, Belanda
gak terima kemerdekaan kita. Kan waktu itu Jepang kalah di Perang Dunia II,
tersingkirlah dari Indonesia.
Terus Belanda datang lagi ke Indonesia.
Angkat senjata, mereka melancarkan agresi militer. Gak bisa kamu merdeka, kamu
kan koloni saya. Gitu meureun kalo Belanda bisa ngomong. Hehe.
Bandung kena tuh agresi militernya
Belanda. Pasti tahu kan peristiwa Bandung Lautan Api? Saya pernah nulis tentang
peristiwa tersebut. Link di sini.
Kita melawan Belanda lagi. Dengan
senjata juga. Jendral Soedirman, Bung Tomo, Tan Malaka. Pokoknya kita gak mau
balik lagi jadi budak-budak Belanda! Soedirman bilang gini: lebih baik di (bom)
atom daripada tidak merdeka seratus persen!
Etapi apa iya kita harus ambil cara itu
terus-terusan? Angkat senjata dan secara frontal berperang dengan
Belanda dan sekutunya?
Enggak. Ada cara lain. Yaitu cari
pengakuan kemerdekaan Indonesia dari kancah internasional. Berdiplomasi.
Hatta dan Sjahrir adalah otak-otak
dibalik diplomasi Indonesia ke dunia.
Diplomasi Sjahrir, Mundur untuk Loncat!
Jadi, setelah proklamasi itu
pahlawan-pahlawan kita berbagi tugas.
Pertama, ada yang melawan Belanda
dengan senjata. Soedirman contohnya.
Kedua, ada yang melawan dengan diplomasi.
Sjahrir orangnya.
Ketiga, ada yang nonstop menggelorakan
kemerdekaan. Siapa lagi kalo bukan Sukarno.
Jangan abaikan juga peran Tan Malaka
yang perjuangannya dari balik layar.
Di sini nih, di Gedung Naskah yang
dulunya vila bekas hotel perundingan berlangsung empat hari. November 1946.
Sjahrir otak di balik terjadinya perundingan ini.
Ingat gak pelajaran sejarah di sekolah
dulu? Perundingan Linggarjati dianggap
nguntungin Belanda aja. Kita kalah.
Sjahrir diece-ece gagal. Tapi apa iya
dia gagal?
Hasil perundingannya gini: wilayah
Indonesia secara de facto hanya Jawa dan Sumatera, Belanda mengakuinya.
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia
Belanda.
Namun gak banyak yang tahu, bahwa dalam
hasil perundingan Linggarjati, Sjahrir dengan cerdiknya mengusulkan satu pasal
yang jadi batu loncatan. Pijakan yang membawa kita ke kancah
internasional.
Kayak main catur, langkah Sjahrir dalam
perjalanan politik kelihatannya hati-hati, sabar, cerdik, dan tentu saja elegan.
Emang bunyi pasalnya gimana?
Sjahrir mengajukan pasal perundingan di
tingkat PBB apabila terjadi perselisihan lagi. Belanda nurut. Mereka udah kesenengan
merasa menang. Gak sadar, ia masuk jebakan Sjahrir.
Sjahrir tahu, usai perundingan, kita
gak akan berhenti melawan. Soedirman dan simpul-simpul perjuangan terus
bergerak. Gak mau ditindas. Belanda ya sudah pasti nyerang terus.
Hasilnya? Tahun 1947 Belanda
melancarkan agresi militer. Yak perselisihan!
Prediksi Sjahrir terjadi. Belanda masuk
'perangkap' Sjahrir. Dilaporin lah Belanda ke PBB. "Nih mantan penguasa
koloni kami -Belanda- menindas kami nih!"
Dueng! Belanda baru nyadar taktik
Sjahjrir. Sjahrir membuat dunia internasional melek bahwa ada negara namanya
Indonesia, sudah merdeka, tapi masih ditindas mantan(penguasa koloni)nya.
Di tingkat PBB itulah kita berunding
lagi. Sjahrir memanfaatkan momentum tersebut. Sambil berunding, sambil juga ia
berjejaring dengan berbagai negara. Mencari simpati.
Lantas Belanda terbukti melanggar
perjanjian. Akhirnya Belanda harus menuntaskan persengketaan atas wilayah
Indonesia di sidang Internasional di PBB. Ya, sambil... ditonton...dunia…
Akhir perundingannya gini. PBB mengakui
eksistensi RI dan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau
“Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.
Perundingan berlanjut di Konferensi Meja Bundar di Hague Belanda. Kali itu, Hatta yang jadi peluru menghabisi Belanda di meja perundingan.
Perundingan berlanjut di Konferensi Meja Bundar di Hague Belanda. Kali itu, Hatta yang jadi peluru menghabisi Belanda di meja perundingan.
Museum dan Artefak
Itu ya, cerita yang saya kasih lihat
tadilah yang saya harap ada di Gedung Naskah. Tapi gak ada.
Museum ini membosankan setengah mati. Artefaknya aja yang dipajang. Konteksnya enggak. Bahkan Sjahrir gak kelihatan penting di sini.
Museum ini membosankan setengah mati. Artefaknya aja yang dipajang. Konteksnya enggak. Bahkan Sjahrir gak kelihatan penting di sini.
Ada foto, tanggal, tahun, nama, hasil
perundingan. Namun menurut saya gak cukup museum hanya menyajikan info apa dan
siapa.
Tidak ada keterangan mengapa dan
bagaimana. Mengapa perundingan harus berlangsung. Bagaimana perundingan
berjalan. Apa efeknya bagi kemerdekaan kita. Mengapa masih ada perundingan
setelah Linggarjati. Blablablabla….
Cerita yang saya perlihatkan di atas
pun hanya cuplikan saja. Teman-teman mesti baca sendiri kronologisnya. Termasuk
taktik Sjahrir mengirim hampir setengah juta ton beras ke India. Itu ada
hubungannya dengan diplomasi mencari kedaulatan. Dan menaklukan boncengannya
Belanda, yaitu Inggris.
Saat saya membaca kisah yang saya
paparkan ulang ini, kok saya jadi lebih ngerti ya. Tanggal dan tahun gak lagi
angka-angka sekedar hapalan. Nama Sjahrir saja buat saya gak lagi sama. Ia terbaca begitu…keren!
Mungkin gitu bagusnya pendekatan
belajar ya. Dengan pendekatan bercerita. Terima kasih banyak buku-buku biografi. Hahaha. Harusnya buku sekolahan tuh buku biografi ajalah. Jadi gak kaku.
Bangunan Museumnya sih Cakep! Banget!
Terpisah dari konten sejarahnya, bangunan Gedung Naskah ini cuakeepppp banget! Pintu jendela dicat hijau. Dindingnya putih. Ala kolonial.
Dahulunya ini bangunan hotel namanya Rustoord. Tahun 1935. Pernah jadi markas belanda, pernah jadi sekolahan. Juga pernah...terbengkalai.
Dahulunya ini bangunan hotel namanya Rustoord. Tahun 1935. Pernah jadi markas belanda, pernah jadi sekolahan. Juga pernah...terbengkalai.
Tahun 1976, gedungnya direstorasi. Lantas jadi museum. Hingga sekarang.
Bila ke Kuningan, saya rekomendasikan Gedung Naskah. Bukan untuk berfoto saja, tapi untuk menyadari ini lokasi legendaris. Dan tentang Sjahrir, baca-baca dulu tentangnya sebelum ke museum ini. Dialah orang yang membuka jalan pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia. Ya, dari kaki gunung Ciremai ini mulanya.
Museumnya sudah buka sejak pukul 8 pagi. Tiketnya Rp2.000.
Menteri Sosial RI yang pertama, orang yang mengusulkan lokasi perundingan di Linggarjati |
Unang yang sedang merintis sekolah dasar di Kuningan bernama Linimasa |
Post Comment
Post a Comment