Jujur aja saya capek baca novelnya. Bukan capek yang buruk, lebih kayak lelah aja baca konflik personal tiap tokoh di tiap chapter cerita. Betapa ngenesnya.
Bila ini semua ditulis berdasarkan kejadian sehari-hari di Oetimu, nyata begitu, malang nian. Saya gak bisa lupa sama Laura ibunya Sersan Ipi...Maria yang benci gereja...Silvy yang jenius tapi..
Ohiya novel terdiri dari 220 halaman saja. Penulis bernama Felix K Nesi.
Gak ada kata pengantar dalam bukunya. Saya langsung masuk ke Oetimu dan bertemu Sersan Ipi. Habis itu ada Julio. Lantas Laura. Muncul Aim Siki. Atino. Martin Kabiti. Romo Yosef. Maria. Silvy. Linus. Dan lain-lainnya.
Latar ceritanya di Nusa Tenggara Timur. Timor-timor tepatnya. Dengan kerangka luarnya konflik perang dari zaman Belanda, Jepang, Indonesia, pemberontakan. Juga Orde baru hingga Reformasi.
Ohiya novel terdiri dari 220 halaman saja. Penulis bernama Felix K Nesi.
Gak ada kata pengantar dalam bukunya. Saya langsung masuk ke Oetimu dan bertemu Sersan Ipi. Habis itu ada Julio. Lantas Laura. Muncul Aim Siki. Atino. Martin Kabiti. Romo Yosef. Maria. Silvy. Linus. Dan lain-lainnya.
Latar ceritanya di Nusa Tenggara Timur. Timor-timor tepatnya. Dengan kerangka luarnya konflik perang dari zaman Belanda, Jepang, Indonesia, pemberontakan. Juga Orde baru hingga Reformasi.
Saat saya menyelami keseharian warga di sana, saya berulang kali bilang ke diri sendiri. Betapa beruntungnya saya tinggal di Jawa, Jawa Barat, Kota Bandung, Setiabudi...
Di tiap chapter tokohnya berbeda. Namun semuanya saling berhubungan. Gak ada satupun bagian dalam novel ini yang membosankan atau karagok. Enak bener bacanya. Luwes kalimatnya. Seolah-olah saya sedang dinyanyiin atau didongengin. Membaca novelnya kayak denger orang lagi ngomong nonstop. Nyerocos.
Dan semua kalimat di novel ini, cakep-cakep banget! Kayak gini salah satunya:
"Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya. Itu adalah sepeda motor RX King yang telah ia modifikasi knalpotnya, sehingga raungannya menggelegar membelah rumah orang-orang miskin, membikin anjing melolong, dan kelelawar berterbangan dari pucuk-pucuk bunga kapuk".
Itu baru halaman pertama saja. Lainnya:
"Silvy menyentuh punggung tangan Sersan Ipi. Anjing-anjing kecil saling gigit dan mengaing di samping dapur. Seekor ayam berkokok di kejauhan. Angin sepoi menerobos. Sepeda motor menderu di kejauhan. Telur telah matang. Dan mereka telah berciuman."
Tentang suasana di antara adegan, deskripsinya sangat menyenangkan untuk dibaca. Tiap adegan, jadi layar di kepala saya. Gini:
"Wangi karang dan angin laut, kicau burung dan debu jalanan. Matahari belum juga jatuh. Cahayanya merah pendar beberapa senti di atas Laut Sawu. Saat itulah sepeda motornya dihantam dari belakang. Mereka terseret sembilan meter dan kena gilas tiga truk lain. Pakan ayam berhampuran. Darah dan otak menggumpal di jalanan".
Begitulah. Sekarang saya kenal Oetimu, yang sabananya luas-luas. Orangnya senang berjalan kaki. Atau naik kuda. Di sana, ojek gak laku. Laki-lakinya gemar sepakbola. Juga minum-minum, tuaknya bernama sopi. Sopi kepala. Mereka menanam cendana, jagung, jati. Prianya terkenal pria sejati. Tidak malu melakukan pekerjaan perempuan dan selalu berjalan di sisi kanan.
Ini bukan novel dengan kisah yang menyenangkan hati. Utamanya buat saya sebagai perempuan. Namun tulisannya brilian dan nikmat dibaca.
Di tiap chapter tokohnya berbeda. Namun semuanya saling berhubungan. Gak ada satupun bagian dalam novel ini yang membosankan atau karagok. Enak bener bacanya. Luwes kalimatnya. Seolah-olah saya sedang dinyanyiin atau didongengin. Membaca novelnya kayak denger orang lagi ngomong nonstop. Nyerocos.
Dan semua kalimat di novel ini, cakep-cakep banget! Kayak gini salah satunya:
"Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya. Itu adalah sepeda motor RX King yang telah ia modifikasi knalpotnya, sehingga raungannya menggelegar membelah rumah orang-orang miskin, membikin anjing melolong, dan kelelawar berterbangan dari pucuk-pucuk bunga kapuk".
Itu baru halaman pertama saja. Lainnya:
"Silvy menyentuh punggung tangan Sersan Ipi. Anjing-anjing kecil saling gigit dan mengaing di samping dapur. Seekor ayam berkokok di kejauhan. Angin sepoi menerobos. Sepeda motor menderu di kejauhan. Telur telah matang. Dan mereka telah berciuman."
Tentang suasana di antara adegan, deskripsinya sangat menyenangkan untuk dibaca. Tiap adegan, jadi layar di kepala saya. Gini:
"Wangi karang dan angin laut, kicau burung dan debu jalanan. Matahari belum juga jatuh. Cahayanya merah pendar beberapa senti di atas Laut Sawu. Saat itulah sepeda motornya dihantam dari belakang. Mereka terseret sembilan meter dan kena gilas tiga truk lain. Pakan ayam berhampuran. Darah dan otak menggumpal di jalanan".
Begitulah. Sekarang saya kenal Oetimu, yang sabananya luas-luas. Orangnya senang berjalan kaki. Atau naik kuda. Di sana, ojek gak laku. Laki-lakinya gemar sepakbola. Juga minum-minum, tuaknya bernama sopi. Sopi kepala. Mereka menanam cendana, jagung, jati. Prianya terkenal pria sejati. Tidak malu melakukan pekerjaan perempuan dan selalu berjalan di sisi kanan.
Ini bukan novel dengan kisah yang menyenangkan hati. Utamanya buat saya sebagai perempuan. Namun tulisannya brilian dan nikmat dibaca.