Saya daftar jadi peserta workshop kepenulisan. Kelas pendek tentang menulis tema perjalanan. Mentornya Windy Ariestanty. Organisatornya Nalawa Patra. Biaya workshopnya 100ribu.
Windy editor sekaligus penulis buku. Beliau juga menggawangi beberapa travel web. Intinya mah saya ikutan acara ini karena mentornya :D
Jadi ilmu apa aja yang saya dapat?
Di kelas ini, pembahasannya dikerucutkan tentang menulis perjalanan naratif. Story telling cenah kata Mba Windy.
Artinya, kami diajak nulis bukan deskriptif-style. Tapi naratif. Kebayang gak?
Saya catat beberapa hal tentang menulis catatan perjalanan gaya naratif, berdasarkan penjelasan Mba Windy
Begitu kata Mba Windy.
Saya mengerti maksudnya. Kalo jalan-jalan, biasanya saya tentuin tujuan dulu. Bukan traveling berdasarkan hits atau tidak tempat tersebut. Namun berdasarkan minat saya. Saya sukanya apa. Saya mau lihat apa. Saya mau menuntaskan rasa penasaran pada apa.
Tapi saya gak nyangka kebiasaan tersebut berperan besar dalam menulis catatan perjalanan gaya naratif sih. Baru tahu malahan :D hihihi.
Lantas Mba Windi menambahkan begini.
"Bagi teman-teman yang mau bikin catatan perjalanan naratif, sebelum kamu pergi traveling coba tanya diri sendiri. Apa alasan kamu pergi ke tempat tersebut?"
Untuk keren-kerenan?
Untuk memanjangkan ingatan?
Untuk memuaskan rasa penasaran?
Untuk yaaahh mau jalan-jalan aja gak niat mau memecahkan rasa gelisah, pengen senang-senang aja?
Saya catat lagi beberapa tip dari Windy perihal menulis catatan perjalanan bergaya story telling. Here goes!
"Saat menulis catatan perjalanan naratif, perlakukan tempat sebagai entitas hidup," tutur Mba Windy lagi. Edan euy banyak banget kalimat-kalimat dia yang bisa dijadiin kutipan :D
Terus di sesi pertanyaan, ada satu orang yang pertanyaannya bagus dan emang kepikiran sih saya juga.
Gimana caranya menahan ego untuk gak nulisin segala macam dalam satu tulisan? Kan pengennya orang lain tahu apa yang kita alami, yang kita rasakan, yang kita lihat.
Mba Windy jawab: Gak apa-apa. Wajar banget. Bikin skala prioritas dan buat tabungan ide. Tempat yang didatengin cuma satu, tapi idenya banyak. Sehingga tulisannya bisa lebih dari satu.
Sayangnya dalam kelas tersebut, kami praktek nulis satu kali. Khusus nulis paragraf pembuka aja, dikomenin Mba Windy gitu. Jadi kita bisa revisi tulisannya nih.
Kata Mba Windy, paragraf pembuka penting banget. "Saya aja kadang mikir berhari-hari buat nulis paragraf pembuka," gitu dia bilang. Sepertinya itu bahasan berbeda ya. Bisa bikin kelas lain lagi buat bahas nulis paragraf pembuka hehehe.
Kepingin saya sih kelas kayak gini bisa maraton. Karena kalo cuma sekali, cuma sebatas teori. Kalo maraton, bisa ada prakteknya. Tapi pasti biayanya gak cuma 100ribu sih. Hehehe.
Oiya, dari kelas menulis ini saya langsung praktekin lho. Saya bikin satu tulisan berjudul Blitar dan Wajah Asing Soekarno. Boleh dibaca dan dikomenin :D
Windy editor sekaligus penulis buku. Beliau juga menggawangi beberapa travel web. Intinya mah saya ikutan acara ini karena mentornya :D
Jadi ilmu apa aja yang saya dapat?
Di kelas ini, pembahasannya dikerucutkan tentang menulis perjalanan naratif. Story telling cenah kata Mba Windy.
Artinya, kami diajak nulis bukan deskriptif-style. Tapi naratif. Kebayang gak?
foto dapet pinjem dari nybookseditor.com |
Saya catat beberapa hal tentang menulis catatan perjalanan gaya naratif, berdasarkan penjelasan Mba Windy
- Gak mesti nulis kegiatan kronologis
- Bukan tulisan review
- Bukan tulisan panduan perjalanan
Begitu kata Mba Windy.
Saya mengerti maksudnya. Kalo jalan-jalan, biasanya saya tentuin tujuan dulu. Bukan traveling berdasarkan hits atau tidak tempat tersebut. Namun berdasarkan minat saya. Saya sukanya apa. Saya mau lihat apa. Saya mau menuntaskan rasa penasaran pada apa.
Tapi saya gak nyangka kebiasaan tersebut berperan besar dalam menulis catatan perjalanan gaya naratif sih. Baru tahu malahan :D hihihi.
Lantas Mba Windi menambahkan begini.
"Bagi teman-teman yang mau bikin catatan perjalanan naratif, sebelum kamu pergi traveling coba tanya diri sendiri. Apa alasan kamu pergi ke tempat tersebut?"
Untuk keren-kerenan?
Untuk memanjangkan ingatan?
Untuk memuaskan rasa penasaran?
Untuk yaaahh mau jalan-jalan aja gak niat mau memecahkan rasa gelisah, pengen senang-senang aja?
Saya catat lagi beberapa tip dari Windy perihal menulis catatan perjalanan bergaya story telling. Here goes!
- Bikin struktur tulisan, bukan urutan peristiwa
- Tujuan ceritanya apa
- Pilih pengalaman mana yang bisa membangun cerita
- Menulislah untuk diri sendiri. Bila menulis untuk pembaca, fokuskan mereka pada cerita. "Bukan pada banyaknya waktu dan uang yang kamu habiskan di sana," kata Mba Windy.
- Eksplorasi dengan panca indra. Sentuh, raba, cium aroma. Mba Windy bilang: otak bisa lupa, tapi sentuhan dan aroma melekat lebih lama dalam ingatan.
- Riset. Riset. Riset. Dan risetnya jangan cuma googling. Sebab Mba Windy bilang: internet membuat kita mendangkalkan konten!
"Saat menulis catatan perjalanan naratif, perlakukan tempat sebagai entitas hidup," tutur Mba Windy lagi. Edan euy banyak banget kalimat-kalimat dia yang bisa dijadiin kutipan :D
Terus di sesi pertanyaan, ada satu orang yang pertanyaannya bagus dan emang kepikiran sih saya juga.
Gimana caranya menahan ego untuk gak nulisin segala macam dalam satu tulisan? Kan pengennya orang lain tahu apa yang kita alami, yang kita rasakan, yang kita lihat.
Mba Windy jawab: Gak apa-apa. Wajar banget. Bikin skala prioritas dan buat tabungan ide. Tempat yang didatengin cuma satu, tapi idenya banyak. Sehingga tulisannya bisa lebih dari satu.
Sayangnya dalam kelas tersebut, kami praktek nulis satu kali. Khusus nulis paragraf pembuka aja, dikomenin Mba Windy gitu. Jadi kita bisa revisi tulisannya nih.
Kata Mba Windy, paragraf pembuka penting banget. "Saya aja kadang mikir berhari-hari buat nulis paragraf pembuka," gitu dia bilang. Sepertinya itu bahasan berbeda ya. Bisa bikin kelas lain lagi buat bahas nulis paragraf pembuka hehehe.
Kepingin saya sih kelas kayak gini bisa maraton. Karena kalo cuma sekali, cuma sebatas teori. Kalo maraton, bisa ada prakteknya. Tapi pasti biayanya gak cuma 100ribu sih. Hehehe.
Oiya, dari kelas menulis ini saya langsung praktekin lho. Saya bikin satu tulisan berjudul Blitar dan Wajah Asing Soekarno. Boleh dibaca dan dikomenin :D
Aih tips yang renyah, padat dan kusuka. Hatur nuhun berbagi info menulisnya yaa teh Ulu 😄😍👍
ReplyDeleteGaya menulis favorite aku banget Lu, tidak kronolohis, bukan review, bukan panduan perjalanan.
ReplyDeleteWaktu travelling ke Korea tulisanku emosyenel semua lho. Naik subway, bukannya nulis ttg tata cara dan rute, tapi malah gosipin para penumpangnya, ada yang jas lengkap tapi bawa2 payung, ada yang stylist banget ala idol kpop hahaha.
Trus penasaran kenapa orang Korea rajin banget bawa payung dan si payung selalu ada dalam adegan di kdrama tuh. Hahaha ternyata jawabannya karena mereka sangat percaya ama ramalan cuaca, jadi kalo menurut ramalan hari ini hujan, mereka pasti bawa payung.
Pokoknya tulisan traveling-ku isinya curhat dan emosyenel semua deh hahaha.