Malam itu yang saya khawatirkan adalah asap rokok. Bukan
hanya kami berenam yang tidur di dalam tenda. Ada dua tenda lainnya, diisi
remaja-remaja desa yang mencari hiburan, di malam minggu.
Kami bertiga piknik ke desa di puncak bukit. Hampir 100 km
dari kota Bandung. Letaknya di Desa Bangbayang Situraja, Kabupaten Sumedang. Dari
jalan utama saja, jarak ke desa itu kira-kira 10 km.
Menuju ke sana melewati perbukitan. Jalannya horor. Bukan
ada kuntilanak dan pocong, tapi tanjakan dan tikungannya itu lho.. Tanjakan panjang, abis itu jalannya nikung sambil nanjak
pula!
Kalo kamu pernah ke Bromo, nah menuju Bangbayang mirip di sana kontur jalannya.
Kalo kamu pernah ke Bromo, nah menuju Bangbayang mirip di sana kontur jalannya.
Kami bertiga, Kang Ichsan, dan Teh Mima, tidur di tenda yang
berbeda. Nuhun buat Kang Ichsan yang minjemin tendanya pada kami :)
Malam di Bangbayang dan Makan Pohpohan
Jadi, teman kuliah Indra berkebun tanaman kopi di
Bangbayang. Melihat potensi alam desanya, ia mengajak teman-temannya datang ke kampung itu. Gak mau maju sendiri, ia ingin melibatkan warga desa mengolah wisata
Bangbayang.
Kang Asep nama temannya Indra itu. Waktu ke Jatigede, saya
ikut tur buatan Kang Asep juga. Sok dibaca tulisan saya tentang jatigede di sini.
Kesan pertama mendapati pemandangan Bangbayang, indah sekali
memang. Sejauh mata memandang hanya ada pucuk-pucuk bukit. Entah saya berada di
ketinggian berapa. Di google map katanya 700anmdpl. Sama kayak Bandung.
Tapi sore itu hangat aja hawanya. Baru terasa dingin di atas jam 10 malam.
Tapi sore itu hangat aja hawanya. Baru terasa dingin di atas jam 10 malam.
Jam 6 sore kabut berdatangan. Udara mulai sejuk. Teh
Mima mengenakan jaket. Tenda kami sudah berdiri. Alat pembakaran stand by, di
atasnya ada ubi, jagung, ikan tenggiri, dan segelas kopi milik Kang Ichsan.
Kami juga ngemil jajanan Bangbayang. Kang Asep nampaknya
mengundang warga untuk jualan di tepi lapangan. Ada cimol segala.
Highlight dari camilan di Bangbayang adalah keripik pisang. Terbuat dari Pisang Ro’ib. Rasanya manis banget, padahal gak pake gula sama sekali. Enak!
Highlight dari camilan di Bangbayang adalah keripik pisang. Terbuat dari Pisang Ro’ib. Rasanya manis banget, padahal gak pake gula sama sekali. Enak!
Ada lagi namanya Sate Iwung, terbuat dari rebung. Pas dimakan, teksturnya seperti kol. Rasanya gimana? wuenak! Sate rebungnya dibumbuin sambal kacang. Pedasnya aja yang bikin gak kuat :D
Juga ada kopi Bangbayang. Biji kopi dari perkebunan
setempat. Robusta kalo gak salah. Kami gak minum kopinya, Teh Mima dan Kang Ichsan yang minum. Rasanya
gak tahu gimana, saya lupa nanya. Heuheu.
Bila ada hal yang saya sayangkan di sini, itu adalah plastik
sebagai kemasan. Dengan suplai berbahan alami di sekitar mereka, menggunakan
kemasan daun (atau sejenisnya) pasti lebih bagus. Baik itu nilai jualnya, maupun dampak
ekologinya.
Malam itu, Kang Asep menyuguhkan kami makanan besar berupa
Nasi Liwet, Pepes Ikan, Asin, Sambal, daun singkong rebus, dan Pohpohan. Tapi
itu terjadi jam setengah sepuluh
malam.
Kami sudah isi perut duluan sehabis Magrib. Whehehehe. Dan
tetap ikut makan besar juga hehehehe. Nikmatnya haduh jangan ditanya. Juaranya kombinasi ikan asin, sambal,
dan pohpohan yang terasa begitu segar!
Malam itu kami adalah manusia blasteran kambing, makan nasi berkali-kali, makan daun lebih banyak lagi. Whehehe.
Malam itu kami adalah manusia blasteran kambing, makan nasi berkali-kali, makan daun lebih banyak lagi. Whehehe.
Rupanya bukan isu perngududan yang harus saya cemaskan. Gak ada bau asap rokok malahan. Tapi
abg-abg tetangga kemping bernyanyi semalaman, memetik gitar. Berisiknya membuat susah tidur. Tenda mereka
persis di sebelah kami.
Kubil tertidur pulas sejak ia masuk ke sleeping bag. Sementara
saya dan Indra, susah payah biar merem. Wekekekek. Niat hati mau tidur diiringi
suara alam. Daun yang bergesekan, tonggeret yang bernyanyi, hening yang syahdu.
Boro-boro. Hahaha. Malah denger lagunya Armada dkk.
Tapi saya ingat saya sanggup tidur kok. Gak nyenyak tapi
cukup enak dan bangun dengan perasaan senang. Karena pas buka tenda, di depan
saya bukan pemandangan sehari-sehari kalo saya bangun tidur.
Ada tebing dan hutannya, lapangan bola (ya kali wekekekek),
dan bekas api unggun. Kabut tipis mengudara. Udara segar berkuasa.
Pagi di Bangbayang, Trekking Melihat Puncak Tampomas
Kang Asep mengajak kami trekking. Lihat puncak Gunung
Tampomas, katanya. Kami berpapasan dengan petani penyadap getah pohon pinus,
terlihat bahan baku tersebut jadi tulang punggung warga selain gula aren dan sapu ijuk/uyun.
Di sini nih permainan baru dimulai. Permainan yang
menyadarkan saya dan Indra, bahwa kami kelamaan di kota, gak pernah olahraga, dan bobot badan udah kelebihan. Aheuheheu.
Sebuah permainan yang 'menukar' kaki-kaki pegal kami dengan panorama
alam pegunungan yang memukau.
Kubil ikut trekking enggak? Ikut dong :D
Berbeda dengan kami yang kepayahan trekking, anak cerewet
itu malah kayak kijang. Gak ada capek. Gak ada bete. Salut juga saya sama dia.
Menerjang trek-trek terjal dan ekstrim gak ada keraguan sama sekali. Emang saya
dan Indra bikin dia senang terus sih, kalo enggak wadoohhhh gawat hahahaha.
Di balik anak yang senang jalan kaki di galengan sawah
dengan jurang di sisi kirinya, ada orang tuanya kepayahan hahahaha. Capeknya
tiga kali lipat memang kalo hiking dengan anak kecil.
Gak apa-apa. Kami berdua senang sekali bisa kasih Kubil
pengalaman baru. Mudah-mudahan kamu inget pengalaman kita hiking di Bangbayang
sampai tua nanti, Bil.
Dua kali melewati sungai berbatu-batu kali, Kubil juga main
air melulu. Terus terang aja, ketemu air kayak gini membuat kondisi saya segar
lagi. Capek dan lesunya berkurang. Bukan cuma kaki dicelup ke sungainya, saya
juga cuci muka. Hahaha. Gak ada orang mah saya mandi juga nih.
Airnya itu lho, bening, mengalir jernih, dan merontokkan
perasaan-perasaan negatif. Pantes
ya orang zaman dahulu terlihat damai, kalem, tenang, pasrah. Sehari-hari
bersentuhan dengan air kayak gitu.
Menuju Curug Cikidang
Di sinilah saya ketemu pemukiman, Desa Bangbayang. Rumah yang
dikepung perbukitan. Terpencil, jauh dari mana-mana.
Rumah-rumah di sini kombinasi tradisional dan modern.
Terlihat banyak bekas rumah panggung. Lantai kayu berganti keramik. Kayu bakar
menumpuk di sisi rumah. Sepertinya saya harus menginap lagi di Bangbayang, menginap
di rumah warga.
Untuk apa kayu-kayu itu, untuk masak kali ya? Jadi ingin
lihat dapur rumahnya. Di kampung kayak gini mah masih bisa siduru kali ya.
Di belakang kampung mungil padat rumah itu, ada sungai
besar. Lebar sekali. Di sungai ke-dua itulah kami main air lagi. Halaman belakang yang mengasyikkan.
Sungai yang airnya jernih, perbukitan, pepohonan. Apa dulu Citarum kayak gini
bentuknya? Bagaimana dengan sungai di Bandung itu, Cikapundung?
Sungai diterjang, kami pergi menuju Curug Cikidang.
Woh meski gak besar, air terjunnya eksotis! Bener-bener kayak mandi dibanjur shower. Shower raksasa. Saya juga ikutan
dong kena airnya tipis-tipis. Kubil mah jangan ditanya, basah sebadan-badan!
Di sini terasa bukan cuma perasaan buruk dalam
hati yang terhempas air. Tapi dosa-dosa juga rasanya ikut hanyut. Segar airnya tuh masuk ke relung hati. Terasa
damai.
Apa begini rasanya jadi pertapa? Mandi membersihkan diri dari dosa,
dari rumitnya perkara dunia.
Saat kembali ke tenda, saya copot baju kubil dan
menggantinya dengan raincoat, karena cuma itu yang ada di tas. Heuheu. Sungguh pengalaman trekking yang menguji mental. Mental
sebagai orang tua, tentu saja. Lain-lainnya sih gak ada masalah.
Sebelum pulang, kami makan lagi. Kali ini disuguhkan
belalang goreng. Simeut nama makanannya. Renyah dan gurih, seperti makan udang
goreng. Daun Pohpohan gak ada. Adanya daun singkong rebus.
Pulang ke Bandung, kami membawa setumpuk pakaian kotor dan
otot-otot yang siap tegang esok hari. Benar saja, bangun tidur, sebadan-badan
sakit semua. Kata Indra jangan diam aja. Justru badan harus tetap bergerak
supaya ototnya mengendur dan sakitnya hilang. Alamak!
Wisata ke Bangbayang, Daftarnya ke Mana?
Lebih tepatnya ke siapa. Ke Kang Asep aja. Nih nomor kontaknya: 0812.939.7391. Ini websitenya: Kampung Bangbayang.
Kalo diperhatikan lagi, trek di Bangbayang ramah buat keluarga. Tinggal atur-atur ambil jalurnya ke mana.
Nah kalo kamu adventure junkie, bhahahahak di sana cocok banget! Seneng bersepeda di tanjakan dan turunan, ada semua di Bangbayang. Minta aja jalur-jalur ekstrim, pasti dikasih. Pemandangan mah jangan ditanya, indah sekali :)
Kalo mau kemping, toiletnya bagaimana? Ada dong. Bukan yang ideal seperti di rumah kita, tapi masih okelah. Gak ada komplen kalo saya mah.
Kubil dan Kang Ichsan |
Teh Mima dan saya :D |
Dipoto Kang Ichsan |
Dipotoin Kang Ichsan |
seger banget sih ... asik jalan2 begini.
ReplyDeleteMantaaap pengalamannya. Kebayang aku ikut trekking beginian. Jangan-jangan badan juga tegang semua keesokan harinya.
ReplyDeletesyahdu damai...perjalanan yang sepertinya membuat mood kembali full.
ReplyDeleteanyway aku belum pernah nyoba sate rebung. coba deh cari resepnya, soalnya di pekalongan punya pohon bambu, rebungnya paling biasa disop atau dibuat urap
Kalo ada waktu kemping lagi ya hihi
ReplyDeleteSalam dari kami warga lokal...senyum
Mantap...
ReplyDelete