Tahun 2018 sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Buku yang saya baca masih itu-itu saja temanya. Jumlahnya gak nambah. Ya segitu-gitu juga. Gak itung berapa. Di atas 10 mungkin.
Tiap habis baca buku, otak saya bilang saya harus menulis. Semacam menulis ulang apa yang saya baca. Supaya saya tahu membaca itu gak percuma.
Makin tua, otak rasanya menyusut. Apa yang saya baca, hilang semua. Ya, semua. Karenanya saya mesti tulis hasil bacaan itu, seperti nempelin tombol huruf kuat-kuat di ingatan, bagai mesin tik yang mencetak tinta di kertas.
Sayang waktu juga gak mau jalan pelan-pelan. Waktu terbang. Tahu-tahu sudah sore. Tahu-tahu sudah berganti hari. Tahu-tahu pekerjaan menumpuk. Semuanya jadi tahu-tahu.
Dulu saya menertawakan orang yang bilang 24 jam gak cukup. Sekarang kena karmanya. Tidak ada waktu yang cukup. Manusia yang gak pernah ngerasa cukup. Tiap hari kayak berkejar-kejaran tapi gak dapat apa-apa. Kalo kata Kunto Aji: yang dicari, hilang. yang dikejar, lari.
Ini saya nulis apa sih. Saya kembaliin ke judul di atas. Buku-buku yang saya baca di tahun 2018:
1. Aroma Karsa - Dee Lestari
Tiga hari tamatin bukunya. Cerita yang brilian! Ga ada pola cerita yang baru ya kayaknya. Isi bukunya mirip-mirip Supernova yang terakhir. Tapi ya tetap aja gelo kisahnya si Jati ini. Dee Lestari ga pernah gagal kalo bikin novel. Saya teh satu aja yang gak suka dari mba dee: puisinya.
2. Seri tokoh: Chairil Anwar
Membaca buku-buku seri tokoh dari penerbit GPU ini, saya bertanya-tanya. Waktu di sekolah dulu kenapa gak belajar sejarah kayak gini aja sih. Hiks. Kalian tahu gak sejarah hidupnya Chairil Anwar? Parah ini orang nyentrik abis. Saya bahkan gak tahu kalau ia adalah bangsawan!
3. Midah Simanis Bergigi Emas
Kisah yang tragis. Bukunya tipis karenanya bisa baca sekali duduk. Kisahnya pahit. Latarnya Jakarta di tahun 50an.
Midah anak pak haji kaya raya dinikahkan dengan orang yang ia gak cinta. Kabur, Midah sudah berbadan dua. Ia hidup di jalanan, bergabung dengan grup pengamen. Terus terang aja capek baca kisah-kisah perempuan seperti Midah. Capek batin.
4. Seri tokoh: Sjahrir
Baca buku ini tuh makin menjelaskan bahwa yang namanya politik ribet abis!
Siapa yang bermasalah dengan tokoh manalah, cara ambil keputusan yang berbeda-bedalah, sudut pandang yang bersebranganlah, perspektif yang sama tapi bedalah. Rumit banget.
"Sjahrir adalah pemimpin besar yang pantas memimpin republik," kata Jenderal Soedirman pada Hamengku Buwono IX. Sementara itu Sjahrir dan Soedirman adalah orang yang selalu bersebrangan dalam mengambil keputusan. Yang satu senengnya selesaikan masalah secara frontal, yang satu lagi lebih seneng berdiplomasi.
Selesai baca buku-buku kayak gini memberi kesan pada saya: banyak politisi zaman sekarang yang sangat amatir dan bodoh.
5. Mata yang Enak Dipandang: Ahmad Tohari
Haduh baca buku kayak gini perlu sekali, supaya kaki tetap berpijak ke bumi. Target pekerjaan diraih, pencapaian hidup berhasil, traveling keliling dunia, followers banyak, jadi panutan. Banyak hal membuat kita bangga dan jumawa. Kita lupa kita orang yang beruntung. Sebab kita bisa milih. Bisa memilih adalah rezeki.
Ini saya nulis apaan sih...zztttt...
6. Yang Kuat Yang Kalah : Rama Surya (buku fotografi)
"dari tiga rol yang saya pakai, hanya empat foto yang didapat" - Rama Surya
7. Alaya Cerita Dari Negeri Atap Dunia - Daniel Mahendra
Ah buku ini saya bikin resensinya. Cukup panjang tulisannya untuk orang yang lama sudah gak nulis resensi buku. Buku menarik yang juga rada-rada narsis. Maafkan istilah bila terkesan kasar. Baca resensinya di sini.
8. Tanah Air yang Hilang - Martin Aleida
Ini buku terbaik yang saya baca di tahun 2018. Buku yang mengagumkan. Saya menulis resensinya. Baca di sini. Panjang mah enggak, tapi lebih panjang dari semua tulisan berita di Tribunnews.com.
Buku yang berkesan sebab penulisnya sendiri korban keganasan 65. Kisah eksil ditulis dengan romantis dan bergaya masa lampau.
9. Rijsttafel - Fadly Rahman
Bukunya sudah saya baca tapi belum saya review. Akan saya tulis resensinya. Entah kapan. Bulan depan mungkin hueheuheu. Dalam buku disebutkan ada empat makanan favorit orang kolonial, satu di antaranya adalah pisang goreng.
10. Jelajah Rusia dengan Trans Siberia - Kurniawati Setyaningrum
Saya ingat membeli buku ini dengan poin traveloka. Bila ada buku yang judulnya menyinggung-nyinggung 'kereta api', sudah saya gak akan mikir untuk beli bukunya.
30 hari, 13 kota, penulis menjelajahi daratan Rusia dengan transportasi kereta api. Dan itu kali kedua ia bepergian dengan rute yang hampir sama dengan sebelumnya, hanya beda kota berangkat/titik finisih. Lupa lagi kota yang ia maksud, Beijing apa ya.
Selain tripnya yang menarik, cerita yang jadi latar perjalanannya bagi saya cenderung membosankan. Buku bagus jadi pegangan untuk jalan-jalan. Tapi sebagai buku yang menuturkan kisah manusia, tidak banyak yang saya pungut ceritanya.
Walo begitu, saya menjadikannya koleksi. Suatu hari saya akan gunakan rute penulisnya untuk saya praktekan.
Dan beberapa buku lainnya:
Kisah Para Preanger Planters
Nice Boys Dont Write Rock n Roll
Sepercik Keindahan Dalam Kegelapan
Semasa
Cerita Dari Digul
Ada dua buku lagi, lupa judulnya.
Saya tulis resensi pendek buku-buku tersebut di instagram @bandungdiary. Memang enak nulis di media sosial, gak perlu buka-buka dashboard seperti ini blog.
Ngomong-ngomong, ada buku-buku yang saya tidak selesaikan. Alasannya kenapa, saya juga lupa. Gila sudah setua ini saya bahkan saya lupa kenapa lupa. Menyedihkan memang.
Tahun 2019 sudah berjalan 19 hari, saya sudah membaca dua buku. Buku seperti tombol 'pause'. Rehat. Seperti mendengar musik dan menghayatinya, begitulah definisi rehat bagi saya.
Tiap habis baca buku, otak saya bilang saya harus menulis. Semacam menulis ulang apa yang saya baca. Supaya saya tahu membaca itu gak percuma.
Makin tua, otak rasanya menyusut. Apa yang saya baca, hilang semua. Ya, semua. Karenanya saya mesti tulis hasil bacaan itu, seperti nempelin tombol huruf kuat-kuat di ingatan, bagai mesin tik yang mencetak tinta di kertas.
Sayang waktu juga gak mau jalan pelan-pelan. Waktu terbang. Tahu-tahu sudah sore. Tahu-tahu sudah berganti hari. Tahu-tahu pekerjaan menumpuk. Semuanya jadi tahu-tahu.
Dulu saya menertawakan orang yang bilang 24 jam gak cukup. Sekarang kena karmanya. Tidak ada waktu yang cukup. Manusia yang gak pernah ngerasa cukup. Tiap hari kayak berkejar-kejaran tapi gak dapat apa-apa. Kalo kata Kunto Aji: yang dicari, hilang. yang dikejar, lari.
Ini saya nulis apa sih. Saya kembaliin ke judul di atas. Buku-buku yang saya baca di tahun 2018:
1. Aroma Karsa - Dee Lestari
Tiga hari tamatin bukunya. Cerita yang brilian! Ga ada pola cerita yang baru ya kayaknya. Isi bukunya mirip-mirip Supernova yang terakhir. Tapi ya tetap aja gelo kisahnya si Jati ini. Dee Lestari ga pernah gagal kalo bikin novel. Saya teh satu aja yang gak suka dari mba dee: puisinya.
2. Seri tokoh: Chairil Anwar
Membaca buku-buku seri tokoh dari penerbit GPU ini, saya bertanya-tanya. Waktu di sekolah dulu kenapa gak belajar sejarah kayak gini aja sih. Hiks. Kalian tahu gak sejarah hidupnya Chairil Anwar? Parah ini orang nyentrik abis. Saya bahkan gak tahu kalau ia adalah bangsawan!
3. Midah Simanis Bergigi Emas
Kisah yang tragis. Bukunya tipis karenanya bisa baca sekali duduk. Kisahnya pahit. Latarnya Jakarta di tahun 50an.
Midah anak pak haji kaya raya dinikahkan dengan orang yang ia gak cinta. Kabur, Midah sudah berbadan dua. Ia hidup di jalanan, bergabung dengan grup pengamen. Terus terang aja capek baca kisah-kisah perempuan seperti Midah. Capek batin.
4. Seri tokoh: Sjahrir
Baca buku ini tuh makin menjelaskan bahwa yang namanya politik ribet abis!
Siapa yang bermasalah dengan tokoh manalah, cara ambil keputusan yang berbeda-bedalah, sudut pandang yang bersebranganlah, perspektif yang sama tapi bedalah. Rumit banget.
"Sjahrir adalah pemimpin besar yang pantas memimpin republik," kata Jenderal Soedirman pada Hamengku Buwono IX. Sementara itu Sjahrir dan Soedirman adalah orang yang selalu bersebrangan dalam mengambil keputusan. Yang satu senengnya selesaikan masalah secara frontal, yang satu lagi lebih seneng berdiplomasi.
Selesai baca buku-buku kayak gini memberi kesan pada saya: banyak politisi zaman sekarang yang sangat amatir dan bodoh.
5. Mata yang Enak Dipandang: Ahmad Tohari
Haduh baca buku kayak gini perlu sekali, supaya kaki tetap berpijak ke bumi. Target pekerjaan diraih, pencapaian hidup berhasil, traveling keliling dunia, followers banyak, jadi panutan. Banyak hal membuat kita bangga dan jumawa. Kita lupa kita orang yang beruntung. Sebab kita bisa milih. Bisa memilih adalah rezeki.
Ini saya nulis apaan sih...zztttt...
6. Yang Kuat Yang Kalah : Rama Surya (buku fotografi)
"dari tiga rol yang saya pakai, hanya empat foto yang didapat" - Rama Surya
7. Alaya Cerita Dari Negeri Atap Dunia - Daniel Mahendra
Ah buku ini saya bikin resensinya. Cukup panjang tulisannya untuk orang yang lama sudah gak nulis resensi buku. Buku menarik yang juga rada-rada narsis. Maafkan istilah bila terkesan kasar. Baca resensinya di sini.
8. Tanah Air yang Hilang - Martin Aleida
Ini buku terbaik yang saya baca di tahun 2018. Buku yang mengagumkan. Saya menulis resensinya. Baca di sini. Panjang mah enggak, tapi lebih panjang dari semua tulisan berita di Tribunnews.com.
Buku yang berkesan sebab penulisnya sendiri korban keganasan 65. Kisah eksil ditulis dengan romantis dan bergaya masa lampau.
9. Rijsttafel - Fadly Rahman
Bukunya sudah saya baca tapi belum saya review. Akan saya tulis resensinya. Entah kapan. Bulan depan mungkin hueheuheu. Dalam buku disebutkan ada empat makanan favorit orang kolonial, satu di antaranya adalah pisang goreng.
10. Jelajah Rusia dengan Trans Siberia - Kurniawati Setyaningrum
Saya ingat membeli buku ini dengan poin traveloka. Bila ada buku yang judulnya menyinggung-nyinggung 'kereta api', sudah saya gak akan mikir untuk beli bukunya.
30 hari, 13 kota, penulis menjelajahi daratan Rusia dengan transportasi kereta api. Dan itu kali kedua ia bepergian dengan rute yang hampir sama dengan sebelumnya, hanya beda kota berangkat/titik finisih. Lupa lagi kota yang ia maksud, Beijing apa ya.
Selain tripnya yang menarik, cerita yang jadi latar perjalanannya bagi saya cenderung membosankan. Buku bagus jadi pegangan untuk jalan-jalan. Tapi sebagai buku yang menuturkan kisah manusia, tidak banyak yang saya pungut ceritanya.
Walo begitu, saya menjadikannya koleksi. Suatu hari saya akan gunakan rute penulisnya untuk saya praktekan.
Dan beberapa buku lainnya:
Kisah Para Preanger Planters
Nice Boys Dont Write Rock n Roll
Sepercik Keindahan Dalam Kegelapan
Semasa
Cerita Dari Digul
Ada dua buku lagi, lupa judulnya.
Saya tulis resensi pendek buku-buku tersebut di instagram @bandungdiary. Memang enak nulis di media sosial, gak perlu buka-buka dashboard seperti ini blog.
Ngomong-ngomong, ada buku-buku yang saya tidak selesaikan. Alasannya kenapa, saya juga lupa. Gila sudah setua ini saya bahkan saya lupa kenapa lupa. Menyedihkan memang.
Tahun 2019 sudah berjalan 19 hari, saya sudah membaca dua buku. Buku seperti tombol 'pause'. Rehat. Seperti mendengar musik dan menghayatinya, begitulah definisi rehat bagi saya.
wah saya malah lebih parah lupanya, g ingat lagi buku apa aja yang saya baca di 2018.
ReplyDeleteOh iya si midah bergigi emas sy udah baca juga, yang lain saya malah blm baca semua mb dr list mb. Sepertinya yang transiberia menarik ya , sy pernah dengar tripnya dari dulu dan penasaran banget pengen nyoba