Social Media

Empat Jam di Blitar, Jalan-jalan di Sekitar Stasiun Kereta

24 December 2018
Hari terakhir di Malang, sebelum tidur saya bolak-balik baca jadwal kereta api Malang - Bandung. Saya juga baca peta Jawa Timur dan ketemu ada tiga kota berdekatan dengan Malang: Kediri, Pasuruan dan Blitar.

Terus tinggal dicocokan dengan jadwal kereta api ke Bandung. Nah, ketemulah kota Blitar. Jadi saya singgah sebentar ke Blitar. Bisalah ayo! 



gerbang ke Makam Soekarno


Ke Blitar dan Bertemu Pandu

Keyword yang saya cari tentang Blitar gampang aja sih: tempat wisata sekitar stasiun kereta api Blitar.

Ketemulah saya dengan beberapa artikel wisata yang gaya menulisnya seperti tahu banyak padahal belum tentu. Hahaha. Palingan penulisnya baca tulisan orang terus disadur ulang :P

Nah saya ketemu blognya Pandu. Tulisan dia nih terasa lokalitasnya. Ini nih yang saya cari, gitu dalem hati saya bilang. Cari tahu profilnya, lah ternyata orangnya emang tinggal di Blitar. 

Merasa klop dengan artikelnya yang bahas tempat-tempat menarik sekitar stasiun kereta api Blitar, saya cari-cari ikon instagram di blognya. Ketemu. Saya follow dan saya kontak via dm. Untunglah dia balas cepat :D

Kenalan. Ngobrol bentar gak pake ribet. Diseling satu hari, ia menjemput saya dan Nabil di depan stasiun kereta api Blitar.

Oh terima kasih, wahai teknologi!

Pandu sudah tahu saya cuma punya waktu empat jam. Siang sampai di Blitar, sore setengah enam harus naik kereta api ke Bandung.

Ketemu Pandu gak pake ribet, ngobrol gak ribet, pokoknya sama Pandu ini antiribet. Udah gitu baik banget pula, saya minta berhenti buat moto rumah-rumah tua eh dia mau aja. Mantan-mantannya pasti nyesel melewatkan cowok baik yang gak ribet kayak gini. Hahahaha :D

Aniweeei, sejak keluar stasiun dan meluncur ke jalanan Kota Blitar, feeling saya bilang ini akan jadi perjalanan pendek yang menyenangkan! ke mana aja nih di Blitarnya?


Di Blitar Ngapain?

  • Makan Soto yang Rasanya Manis

Sebab di Bandung mah sotonya gurih bukan manis. Di sini kuah sotonya warna hitam karena campur kecap sejak dari kuali. Dagingnya kelas hardcore: babat dan jeroan. Wkwkwk. Bukan jenis makanan yang saya suka tapi gak tega ngomong ke Pandu. Jadi saya telan aja semua. Makan gak pantangan. Sayurnya ada tauge dan potongan daun kucai. Kalo Indra ada di sini, pasti dia nambah dua porsi hahaha. 

Menu makan kami siang itu adalah soto Bok Ireng. Kata Pandu  ini soto terhits di Blitar. Harganya juga termasuk mahal (SEMBILAN RIBU AJA UDAH SAMA NASI, BTW!). Saya tertawa waktu dia bilang sotonya mahal. Lha standar saya kota Bandung yang harga sotonya 15.000.

Pandu bilang soto ini sudah dijual sejak pagi. Selain pecel, soto macam begini jadi menu sarapannya orang Blitar. 

Soto tandas masuk perut. Beserta tiga gelas es teh manis. Diminum saya semua :D Emang gak ada minuman ternikmat di daerah berhawa panas begini selain es teh manis!


Soto Bok Ireng, dimasak 8 jam di kuali
  • Museum Soekarno
Kedatangan kami berbarengan dengan rombongan peziarah. Beberapa pengunjung memakai sarung dan kopiah.

Di museum ini saya melihat ada banyak foto Soekarno di Bandung. Foto yang sama pernah saya lihat di Museum Konperensi Asia Afrika di Bandung. Bersama foto, saya juga menyaksikan banyak lukisan Soekarno.

Sedikit artefak Soekarno. Banyaknya sih buku dan dokumen (selain foto dan lukisan).

Museum Soekarno dirancang oleh Tim arsitek Baskoro Tedjo, dosennya Indra di ITB dulu. Indra bilang “perhatiin museumnya ya, dirancang Pak Baskoro. Pasti bagus.” Tapi selama saya berada di museumnya seperti gak dirancang arsitek. Heuheu.  

Penyebabnya spanduk-spanduk yang dipasang di kolom dan dinding. Ditambah deretan pedagang suvenir. Visualisasi museumnya terkesan bising daripada khidmat.

Nah baru tuh masuk ke area makam, lebih nyaman terasa. Orang-orang ngobrol berbisik. Lebih banyak diam. Hawanya sejuk. Dan iya lebih syahdu. Namanya juga pemakaman kali ya.

Saya gak mendekat ke makam Soekarno. Sebab pendopo makam penuh oleh peziarah. Kalo saya ikut duduk di sana, bingung juga ngapain ya. Belakangan saya menyesal karena melewatkan pengalaman duduk bersama orang-orang yang (anggap aja) mengkultuskan Soekarno. Harusnya saya duduk bersimpuh di sana. Baca Al Fatihah saja apa susahnya sih saya tuh…

Kalau saat itu saya bersama Michael Palin, Simon Reeve, atau Kate Humble, saya udah dipecat dari BBC. Hahaha. Mereka gak hanya akan duduk bareng peziarah. Tapi juga ngobrol dengannya.

Di kios-kios suvenir lebih aneh lagi. Nabil pengen beli miniatur gamelan. Terus saya belikan. Di dalam kereta api ke Bandung, saya baru mikir. Ngapain saya beliin itu barang ya ahahahaha. Kenapa gak beli tshirt aja buat Nabil dan buat saya. Buat Indra sekalian. T-shirt yang ada tulisan Blitar begitu. Lebih berguna.
  • Es Plered Kebon Rojo
Minum Es Plered di depan Kebon Rojo. Rekomendasi Pandu sih Es Plered di Alun-alun. Tapi berhubung mau ada penilaian Adipura, PKL-PKL di Alun-alun Blitar gak dagang dulu. Semacam ‘pemutihan’. Hehehe.

Menghabiskan es plered, saya gak bisa gak merhatiin Kebon Rojo. Kalo diperhatikan, dia mirip Balaikota. Semacam taman kota yang rindang. Bila saja ada waktu lebih lama, saya mau berkunjung ke Kebon Rojo dan berjalan kaki mengelilinginya.
  • Jam 4 sore. Istana Gebang here we come!
Bagi saya, situs ini adalah ‘museum’ ke dua Soekarno. Lebih banyak tentang Istana Gebang sudah saya tulis di tulisan pertama tentang Blitar yang tentang Soekarno itu.

Ada dua hal yang saya sukai dari kunjungan ke Istana Gebang.


Pandu, Kubil dan saya melihat yang latihan menari
Pertama: ada kelas tari di bangunan sebelah rumah utama, di Balai Kesenian. Suara gendingnya itu lho, terdengar indah sekali. Gabungan rumah antik, suara anak-anak yang ceriwis, dan suara gending, wah terasa tradisional dan berbudaya. Kedua, angin  sepoi-sepoi meniup gorden putih di kamar-kamar rumah utama. Matahari pukul empat sore jatuh di sela-sela daun jendela.

Perasaan ini terasa sejuk. Hangat. Damai. Tenang. 
  • Sekilas Alun-alun Blitar
Sebentar saja di sini. Alun-alunnya rapi banget dan lebih luas dari Alun-alun di Malang dan Bandung. Kenapa ya bisa luas banget begitu. Seperti lapangan sepakbola. Memangnya di masa lalu, Blitar ini kota sepenting apa? saya belum cari tahu di buku atau google. 

Di sekeliling Alun-alun, ada pohon besar-besar. Saya hitung Pohon Beringinnya. Satu...dua...tiga...empat..lima...enam....! Buset ada berapa Pohon Beringin di sini? Gila sepuluh mah ada! Edan euy!  

Sewaktu di sana, kata Pandu sih Alun-alunnya tumben rapi. Ya gara-gara persiapan Adipura itu. 

Ada bangunan pendopo dan pagar penutup batang pohon. Dominan merah warnanya. Kota Blitar ini memang gak bisa lepas dari partainya Megawati sih. Pandu bilang, pemilih di kota Blitar 95% suaranya untuk PDIP.

Sudah beres, kembali ke stasiun, saya bertanya di manakah pasarnya Blitar. Biasanya di dekat pasar, pasti ada komunitas Pecinan. Di sana pula ada bangunan-bangunan ala Tionghoa.

Nah Pandu bawa saya dan Nabil melewati Pasar Legi, sambil balik ke stasiun. Saya moto-moto beberapa rumah tua di sana. Juga di sekitar pasarnya.

Sebenernya gak langsung ke stasiun juga sih. Pandu bawa kami berkeliling kota sebentar menumpang motornya. Malah sampe lewatin rumah bibinya dan ngajak mampir. Rumah bibinya Pandu bagus banget, tipe-tipe rumah antik yang jendelanya banyak. Waduh mau banget mampir tapi takut ketinggalan kereta api. Heuheu.

Hampir Empat Jam di Blitar

Memang cuma empat jam di kota Blitar, rasanya sudah senang. Kotanya kecil dan sepi. Jalanan bagus mulus. Ada ruas jalan banyak pohonnya. Ada juga yang kering kerontang.


Saya bertanya kepada Pandu, orang-orang di kota Blitar ini apa pekerjaannya? Kebanyakan pegawai negeri sipil dan guru. Sisanya wiraswasta. Bikin kerajinan perak.

Senasib dengan kota kecil kebanyakan, anak mudanya merantau ke kota besar. “Ke Surabaya sih biasanya,” kata Pandu.

Pandu sebaliknya. Dia balik ke Blitar setelah kuliah dan bekerja di Surabaya. “Kenapa balik lagi kota kecil begini, Du? Betah memangnya?” tanya saya. 

“Tinggal di kota (besar) pusing, Mba,” kami tertawa. Saya menertawakan diri sendiri. Pandu entah ngetawain apa. Hahaha.

Di sekitar Kebon Rojo, saya memandang anak-anak SMP bersepeda, waduh nikmat sekali melihat pemandangan seperti itu. Tiba-tiba kenangan pulang pergi ke madrasah dulu naik sepeda bermunculan.

Angkutan umum hanya ada becak dan bemo. Kalau memperhatikan rute jalan-jalan saya bersama Pandu, bisa ditempuh dengan becak. Atau sewa bemo. Bila dalam kondisi santai tidak dikejar jadwal kereta api sore nanti, saya mau coba itu becak dan bemo ala kota Blitar. 

Lingkungan di sini terasa nyaman. Rileks. Tapi itu kesan pertama. Gak tahulah kesan berikutnya bila saya menghabiskan barhari-hari di kota ini.

Tapi aslinya, pengen juga sih pindah ke kota-kota kecil seperti Blitar. PENGEN BANGET (aminkan!). Kota yang selow. Kota yang gak buru-buru.

Rumah tuanya pun unik, gak ada di Bandung. Makin jauh dari kota-kota metropolis, rumah-rumah kuno begini bentuknya cantik-cantik. Juga ada banyak. 

Di Stasiun Blitar

Kira-kira pukul 5 sore kami sudah mendarat di stasiun. Kereta api datang 15 menit kemudian. Berpisah dengan Pandu, berpisah dengan Blitar.

Pukul 17.40 sore itu, lembayung yang saya saksikan dari bangku stasiun Blitar indah sekali. Serasa saya sedang disalami oleh Soekarno. Hehe

Kalau kamu sedang jalan-jalan ke kota lain (atau negara lain) dan tiba waktunya pulang, muncul perasaan sentimentil yang aneh gak? Sebab saya iya.

Perasaan seperti ini saya rasakan saat pulang sehabis mendaki Gunung Lawu, perjalanan kembali ke Bandung setelah pemakaman ayah saya di Karangampel, dan di Blitar ini. Ketiganya punya sensasi perpisahan yang mirip. Ada sedihnya, ada juga bahagianya, dan ada haru di sana. 

Di dalam kereta api menuju Bandung, saya gak berhenti membagi foto dan cerita ke Indra di Bandung. Via whatsapp. Sampai di rumah saya nyerocos terus ceritain detail-detail perjalanan pada suami saya itu. Dia gak bosen sih dengernya, ngantuk palingan :D Memang benar kata Christopher McCandless: happiness only real when shared. 

Sekian.




makam Soekarno
masuk Istana Gebang gratis, di sini -ruang tamu Istana gebang- nulis nama di buku tamu





alun-alun Blitar
pohon Beringin terbanyak yang pernah saya lihat ya di sini
kenapa catnya warna merah jambu ya
gereja Santo Yusuf, di seberang Kebon Rojo

Es Plered, mirip cendol kalo di Bandung. Di sini 4ribu saja segelas!
di sekitar Pasar Legi



difoto Pandu. Terima kasih, Pandu!






Foto: Ulu
Teks: Ulu
2 comments on "Empat Jam di Blitar, Jalan-jalan di Sekitar Stasiun Kereta"
  1. Biasanya kuliner siang orang-orang minta makan di Soto Bok Ireng mbak :D. Lain kali nyobain warung lain aja kalau gitu. Sebelahnya ada soto ayam kampung sor seri. wkwkwkwkwkwk

    Coba dateng ikut kereta yang lebih pagi, bisa agak jauh dikit mlipirnya mbak :)). Mungkin nextime kalau ke Blitar lagi berkabar saja. Siapa tahu bisa main bareng lagi.

    Terima kasih udah mampir juga, belajar banyak tentang sejarah yang selama ini nggak terlalu aku perhatikan.

    Aku juga masih punya pertanyaan yang belum terjawab, di masa lalu Blitar ini sebenernya sepenting apa sih? Stasiun Blitar termasuk gede juga, kalau dilihat dari bangunan lamanya. Selain itu peniggalan-peninggalan candinya yang bisa dibilang cukup penting pun masih jadi pertanyaan juga. Bukan kebetulan juga ada empat raja besar di masa lalu yang kini bersemayam di Blitar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwkwk makaci, Pandu! Gak apa-apa, walo gak suka, kalo lagi di perjalanan gini mah saya telan aja. Itung2 pengalaman krn soto kayak gitu gak ada di Bandung.

      Pasti atuh saya kabari lagi kalo ke Blitar. Mau lihat candi, ke pantai, pokoke gak 4jam lagi tapi 24 jam kek gitu hehehe.

      Saya belum cari tau nih peran Blitar di masa lalu. Tapi kota kamu itu pasti perannya gede di masa lalu. Ehehdhe

      Delete