Keputusan untuk menginap semalam di Solo dan berjalan-jalan sehari doang di sana adalah keputusan yang salah. Tapi ya sudahlah hahaha. Mudah-mudahan ada kesempatan lain saya bisa main ke Solo lagi lebih lama euy.
Sehari jalan-jalan di Solo, ke mana aja dan ngapain aja?
Kami teh belum pernah lihat keraton Surakarta. Maka ke sanalah tujuan pertama kami. Tempat wisata yang sudah umum tapi buat yang baru pertama kali, terasa mengasyikkan.
Tujuan ke dua, Pasar Gede! Indra, sebagai arsitek, bilang kalo Pasar Gede ada sejak tahun 1930 dan wajib saya datangi. Karena arsitektur pasarnya yang bagus dan masih lestari. "Ntar perhatiin sirkulasi udara dan cahaya di sana," begitu katanya. Sementara saya mah sejujurnya ke Pasar Gede pengen jajan aja. Heuuu.
Nah lokasi ke tiga ini idaman banget. Sudah lama rasanya mau berkunjung ke Laweyan. Bukan untuk belanja batik. Tapi pengen lihat rumah-rumah antik juragan batik di sana.
Saya rinciin satu-satu tentang tempat yang kami sambangi ya. Here goes!
Ingin memotret Gapura Keraton namun banyak kendaraan berlalu lalang. Belum lagi beberapa motor parkir persis di pintu gapura. Rupanya dari halaman depan keraton berbelok ke kanan ini jalan umum ya? Waduh berisik sekali suasananya pagi itu. Kendaraan warga dan bis-bis wisata menumpuk seperti pasar di musim lebaran.
Ohiya, warna biru pada semua ornamen di keraton cantik sekali. Biru-biru itu apa artinya ya? Sementara di keraton Yogyakarta saya perhatikan warnanya dominan hijau.
Masuk ke museum, harga tiketnya murah saja. Tiket masuk keraton surakarta Rp10.000/orang. Bila membawa kamera (DSLR atau sejenisnya), ada biaya tambahan.
Pukul 09.00 keraton baru dibuka untuk pengunjung.
Dan masuklah kami bertiga ke dalam keraton. Penuh sekali keraton pagi itu. Banyak turis! Keraton ini memang wisata Indonesia andalan banget.
Ada dua area yang kami bisa sambangi. Area berbentuk persegi dengan taman luas di tengahnya. Pada bangunan tersebut terdapat banyak ruangan yang terhubung dengan ruangan lain.
Nah di situlah museum keraton berada. Dengan penerangan yang minim, agak susah mencermati koleksi museum. Entahlah ini ruangan dahulu berfungsi sebagai apa. Kami mengelilingi museum tanpa pemandu. Tak ada brosur juga. Haduh bingung memang ahahaha.
Area satunya lagi masuk ke dalam keratonnya. Alas kaki harus dilepas. Rupanya area outdoor tersebut beralaskan pasir pantai. Konon pasirnya diangkut dari pantai gunung kidul.
Di sekitar kami ada dua pendopo. Ada juga satu menara. Dahulu berfungsi sebagai menara berjaga atau memantau.Ada tali yang jadi pembatas area terlarang kami masuki. Memotret dari luar masih diperbolehkan.
Ohiya, ada banyak pohon juga. Pohon apa ya itu? sepertinya pohon sawo kecik. Betul gak? Karena pepohonan itu lah hawanya lebih sejuk dan adem. Mataharinya juga gak tembus ke tanah terlalu ganas.
Bila membandingkan dengan keraton Yogyakarta, keraton Solo ini terasa lebih misterius. Lebih tertutup. Cuma dua area yang dibuka untuk umum.
Tapi yak gak apa-apa. Hanya penasaran saja kayak apa kehidupan keraton. Kalau keraton Yogyakarta kan bisa saya lihat di akun instagramnya. Juga ratu dan putrinya yang aktif di twitter :D
Keraton Surakarta ini siapa saja tokoh-tokohnya ya? Yang saya ingat hanya orang pertama yang punya mobil di Hindia Belanda asalnya dari Keraton Surakarta, Pakubowono X namanya.
Dari keraton kami menumpang becak menuju Pasar Gede.
Habis dua mangkuk, kami beranjak ke dalam pasar. Jajan lagi. Kali ini penganan mirip lontong dicocol ke sirup gula merah.
Masuk ke dalam pasar, makin liar jajannya hahaha. Makanan-makanan yang gak akan ada di minimarket ya adanya di Pasar Gede ini.
Cabuk Rambak, Brambang Asem, Lenjong, Es Dawet! Kuliner lokal ini memang kekuatan wisata Indonesia yang gak ada tandingan. Di Pasar Gede keunikan kuliner tersebut berada. Saya makan semua tuh.
Favorit saya dari makanan-makanan lezat itu adalah Cabuk Rambak. Makanan super karbo ala Solo. Ketupas diiris tipis. Bumbunya saos wijen (btw, saosnya ENAK BANGET!). Kerupuknya terbuat dari nasi yang dikeringkan dan digoreng. Namanya Karak. Cabuk sendiri adalah istilah untuk bumbu kacangnya. Ah parah enak banget. Saya nambah 2x pun!
Pasar Gede adalah tempat yang bakal saya datangi lagi bila saya ke Solo lagi. Janji!
Laweyan ini bagi saya sudah layak masuk ke daftar tempat wisata di Solo. Namun untuk pengunjung newbie di Solo seperti saya, sulit juga jalan-jalan di Laweyan bila tanpa teman lokal.
Di hari minggu sentra batik legendaris ini terasa sepi sekali. Gang-gangnya senyap. Dinding antar rumah tinggi sekali. Sekitar 3 meter lebih tingginya. Di pintu-pintu masuknya ada pintu ukuran kecil, seperti pintu untuk kurcaci. Kita harus menunduk jongkok bila masuk melewati pintu kecil itu.
Rasanya asing ada di Laweyan. Perasaan saya aja kali sebagai turis yang pertama kali ke sana. Tapi ada perasaan aneh yang dingin sewaktu menyusuri jalan-jalan kecil di kampung batik ini. Rasa yang gak nyaman.
Gak banyak rumah antik yang saya bisa saksikan. Dari artikel yang saya baca, rumah-rumah antik adanya di balik tembok nan tinggi. Ya pantas saja saya gak bisa lihat rumahnya. Cuma pintunya saja yang saya foto.
Dahulu, tembok tinggi ini dibangun dalam rangka menghalau orang-orang yang mau mengintip proses pembuatan batik. Takut motifnya diintip, teknik pembuatan batiknya khawatir dicuri pesaing. Begitu yang saya baca di blog teman saya, Aan. Termasuk untuk mencegah aksi kejahatan.
Memang blognya Aan dan Halim jadi pegangan banget untuk jelajah Solo, khususnya Laweyan.
Sekarang di dunia perbatikan peran Laweyan ini bagaimana ya? masih menyuplai banyak batik? ke mana saja? masih banyak pengusaha batik di sana? Konon di rumah-rumah pengusaha ini ada bunker, apa iya? Katanya juga tiap rumah punya satu pintu yang terhubung dengan pintu tetangganya. Untuk apa?
Rupanya kembali ke Bandung, perut saya kenyang terpuaskan. Namun rasa penasaran akan Laweyan belum tuntas. Seperti kalimat awal tulisan ini. Saya bakal balik lagi ke Solo. Penjelajahan melongok sejarah bos-bos batik di balik tembok tinggi itu belum tandas.
Ngomong-ngomong, bila jalan-jalan ke Solo, teman-teman menggunakan armada apa untuk menjangkaunya?
Bila saya, dari Bandung menuju Solo bisa menumpang pesawat. Tercepat memang bila dibanding kereta api, bis, dan shuttle. Karena ingin cepat sampai saja lantas memilih burung besi.
Pilih tab Tiket Pesawat
Cari penerbangan
Pilih penerbangan
Isi data kontak penumpang
Pembayaran
Tinggal tunggu e-ticket dikirim ke email
Harga tiket menurut saya mah bersaing. Ditambah ada fitur poin bernama Pepepoin. Poinnya bisa ditukar dengan diskon hotel. Percayalah ngumpulin poin ini menyenangkan sekali memang. Hahaha. This is ibu-ibu speaking :D
Lantas apalagi kelebihan booking via Pegipegi ini selain Pepepoin?
Yak bagi teman-teman yang mau ke Solo, selamat jalan-jalan ya! Sebenernya mah cukup sehari juga. Cuma ya mana puas, pasti terasa kurangnya mah :D Manusia memang...wkwkwk.
Mulai hunting tiket pesawat di Pegipegi dari sekarang atuh. Eh ntar di Solo, jangan lupa ke Pasar Gede dengan perut kosong, sebab aneka macam makanan lokalnya yang unik itu siap masuk perut :D
Teks: Ulu
Foto: Ulu
Sehari jalan-jalan di Solo, ke mana aja dan ngapain aja?
Kami teh belum pernah lihat keraton Surakarta. Maka ke sanalah tujuan pertama kami. Tempat wisata yang sudah umum tapi buat yang baru pertama kali, terasa mengasyikkan.
Tujuan ke dua, Pasar Gede! Indra, sebagai arsitek, bilang kalo Pasar Gede ada sejak tahun 1930 dan wajib saya datangi. Karena arsitektur pasarnya yang bagus dan masih lestari. "Ntar perhatiin sirkulasi udara dan cahaya di sana," begitu katanya. Sementara saya mah sejujurnya ke Pasar Gede pengen jajan aja. Heuuu.
Nah lokasi ke tiga ini idaman banget. Sudah lama rasanya mau berkunjung ke Laweyan. Bukan untuk belanja batik. Tapi pengen lihat rumah-rumah antik juragan batik di sana.
Saya rinciin satu-satu tentang tempat yang kami sambangi ya. Here goes!
Keraton Surakarta
Di bawah panas hawa Solo yang luar binasa, kami gak langsung masuk ke bangunan keratonnya. Berfoto-foto dulu lah di sekitar keraton. Ada masjid dan bangunan yang kayaknya sih dulunya istal kuda. Pintunya besar-besar. Bagus sekali!Ingin memotret Gapura Keraton namun banyak kendaraan berlalu lalang. Belum lagi beberapa motor parkir persis di pintu gapura. Rupanya dari halaman depan keraton berbelok ke kanan ini jalan umum ya? Waduh berisik sekali suasananya pagi itu. Kendaraan warga dan bis-bis wisata menumpuk seperti pasar di musim lebaran.
Ohiya, warna biru pada semua ornamen di keraton cantik sekali. Biru-biru itu apa artinya ya? Sementara di keraton Yogyakarta saya perhatikan warnanya dominan hijau.
Masuk ke museum, harga tiketnya murah saja. Tiket masuk keraton surakarta Rp10.000/orang. Bila membawa kamera (DSLR atau sejenisnya), ada biaya tambahan.
Pukul 09.00 keraton baru dibuka untuk pengunjung.
Dan masuklah kami bertiga ke dalam keraton. Penuh sekali keraton pagi itu. Banyak turis! Keraton ini memang wisata Indonesia andalan banget.
Ada dua area yang kami bisa sambangi. Area berbentuk persegi dengan taman luas di tengahnya. Pada bangunan tersebut terdapat banyak ruangan yang terhubung dengan ruangan lain.
Nah di situlah museum keraton berada. Dengan penerangan yang minim, agak susah mencermati koleksi museum. Entahlah ini ruangan dahulu berfungsi sebagai apa. Kami mengelilingi museum tanpa pemandu. Tak ada brosur juga. Haduh bingung memang ahahaha.
Area satunya lagi masuk ke dalam keratonnya. Alas kaki harus dilepas. Rupanya area outdoor tersebut beralaskan pasir pantai. Konon pasirnya diangkut dari pantai gunung kidul.
Di sekitar kami ada dua pendopo. Ada juga satu menara. Dahulu berfungsi sebagai menara berjaga atau memantau.Ada tali yang jadi pembatas area terlarang kami masuki. Memotret dari luar masih diperbolehkan.
Ohiya, ada banyak pohon juga. Pohon apa ya itu? sepertinya pohon sawo kecik. Betul gak? Karena pepohonan itu lah hawanya lebih sejuk dan adem. Mataharinya juga gak tembus ke tanah terlalu ganas.
Bila membandingkan dengan keraton Yogyakarta, keraton Solo ini terasa lebih misterius. Lebih tertutup. Cuma dua area yang dibuka untuk umum.
Tapi yak gak apa-apa. Hanya penasaran saja kayak apa kehidupan keraton. Kalau keraton Yogyakarta kan bisa saya lihat di akun instagramnya. Juga ratu dan putrinya yang aktif di twitter :D
Keraton Surakarta ini siapa saja tokoh-tokohnya ya? Yang saya ingat hanya orang pertama yang punya mobil di Hindia Belanda asalnya dari Keraton Surakarta, Pakubowono X namanya.
Dari keraton kami menumpang becak menuju Pasar Gede.
Kuliner Pasar Gede Solo
Baru juga sampai, belum masuk ke pasarnya, kami sudah jajan. Es Gempol namanya. Dalam semangkuk itu ada kuah santan, es batu dan entah apalagi. Pokoknya segar sekali rasanya. Ada daging seperti ronde, warnanya putih, bentuknya seperti bakso. Rasanya manis.Habis dua mangkuk, kami beranjak ke dalam pasar. Jajan lagi. Kali ini penganan mirip lontong dicocol ke sirup gula merah.
Masuk ke dalam pasar, makin liar jajannya hahaha. Makanan-makanan yang gak akan ada di minimarket ya adanya di Pasar Gede ini.
Kiri: Cabuk Rambak Kanan: Lupis mungkin ya, lupa nama ala Solonya apa |
Cabuk Rambak, Brambang Asem, Lenjong, Es Dawet! Kuliner lokal ini memang kekuatan wisata Indonesia yang gak ada tandingan. Di Pasar Gede keunikan kuliner tersebut berada. Saya makan semua tuh.
Favorit saya dari makanan-makanan lezat itu adalah Cabuk Rambak. Makanan super karbo ala Solo. Ketupas diiris tipis. Bumbunya saos wijen (btw, saosnya ENAK BANGET!). Kerupuknya terbuat dari nasi yang dikeringkan dan digoreng. Namanya Karak. Cabuk sendiri adalah istilah untuk bumbu kacangnya. Ah parah enak banget. Saya nambah 2x pun!
Pasar Gede adalah tempat yang bakal saya datangi lagi bila saya ke Solo lagi. Janji!
Rumah-rumah Kuno di Laweyan
Ke Laweyan berbekal peta yang saya salin dari sebuah buku. Kami hanya berkeliling saja tidak beli apa-apa. Ada kejadian hampir dikejar anjing :D sepertinya kami masuk terlalu dalam ke Laweyan bagian bukan untuk pengunjung. Untunglah selamat :DLaweyan ini bagi saya sudah layak masuk ke daftar tempat wisata di Solo. Namun untuk pengunjung newbie di Solo seperti saya, sulit juga jalan-jalan di Laweyan bila tanpa teman lokal.
Di hari minggu sentra batik legendaris ini terasa sepi sekali. Gang-gangnya senyap. Dinding antar rumah tinggi sekali. Sekitar 3 meter lebih tingginya. Di pintu-pintu masuknya ada pintu ukuran kecil, seperti pintu untuk kurcaci. Kita harus menunduk jongkok bila masuk melewati pintu kecil itu.
Rasanya asing ada di Laweyan. Perasaan saya aja kali sebagai turis yang pertama kali ke sana. Tapi ada perasaan aneh yang dingin sewaktu menyusuri jalan-jalan kecil di kampung batik ini. Rasa yang gak nyaman.
Gak banyak rumah antik yang saya bisa saksikan. Dari artikel yang saya baca, rumah-rumah antik adanya di balik tembok nan tinggi. Ya pantas saja saya gak bisa lihat rumahnya. Cuma pintunya saja yang saya foto.
Dahulu, tembok tinggi ini dibangun dalam rangka menghalau orang-orang yang mau mengintip proses pembuatan batik. Takut motifnya diintip, teknik pembuatan batiknya khawatir dicuri pesaing. Begitu yang saya baca di blog teman saya, Aan. Termasuk untuk mencegah aksi kejahatan.
Memang blognya Aan dan Halim jadi pegangan banget untuk jelajah Solo, khususnya Laweyan.
Sekarang di dunia perbatikan peran Laweyan ini bagaimana ya? masih menyuplai banyak batik? ke mana saja? masih banyak pengusaha batik di sana? Konon di rumah-rumah pengusaha ini ada bunker, apa iya? Katanya juga tiap rumah punya satu pintu yang terhubung dengan pintu tetangganya. Untuk apa?
Rupanya kembali ke Bandung, perut saya kenyang terpuaskan. Namun rasa penasaran akan Laweyan belum tuntas. Seperti kalimat awal tulisan ini. Saya bakal balik lagi ke Solo. Penjelajahan melongok sejarah bos-bos batik di balik tembok tinggi itu belum tandas.
Ngomong-ngomong, bila jalan-jalan ke Solo, teman-teman menggunakan armada apa untuk menjangkaunya?
Bila saya, dari Bandung menuju Solo bisa menumpang pesawat. Tercepat memang bila dibanding kereta api, bis, dan shuttle. Karena ingin cepat sampai saja lantas memilih burung besi.
Booking Tiket Pesawat via Pegipegi
Booking tiket pesawat menuju Solo, saya mencari rutenya di aplikasi Pegipegi. Tinggi buka aplikasinya. Lalu:Pilih tab Tiket Pesawat
Cari penerbangan
Pilih penerbangan
Isi data kontak penumpang
Pembayaran
Tinggal tunggu e-ticket dikirim ke email
Harga tiket menurut saya mah bersaing. Ditambah ada fitur poin bernama Pepepoin. Poinnya bisa ditukar dengan diskon hotel. Percayalah ngumpulin poin ini menyenangkan sekali memang. Hahaha. This is ibu-ibu speaking :D
Lantas apalagi kelebihan booking via Pegipegi ini selain Pepepoin?
- Pembayaran yang Mudah : udah banyak daftar bank sebagai sistem pembayaran. Jadi gampang banget bisa milih bank sesuai tempat kita naro uang :D gak kena potongan admin kalau transaksi. Mbanking bisa, atm apalagi. Fakta terbaru: bisa bayar dicicil!
- Banyak Diskon (dan Promo!): Selain ngumpulin poin, nyari promo juga penting banget. Lumayan naro kode untuk diskonan. Setahu saya promo adanya di aplikasi saja.
Mulai hunting tiket pesawat di Pegipegi dari sekarang atuh. Eh ntar di Solo, jangan lupa ke Pasar Gede dengan perut kosong, sebab aneka macam makanan lokalnya yang unik itu siap masuk perut :D
Teks: Ulu
Foto: Ulu