Dalam tubuh saya mengalir darah Pantura, Indramayu dan Cirebon. Ketika saya sampai di Kotagede, Yogyakarta, agak aneh geli sendiri rasanya. Karena Kotagede yang dahulunya kerajaan Mataram ini pernah mencaplok kawasan nenek moyang saya. Bergiliran dengan kerajaan Pajajaran, Mataram menguasai Cirebon jauh sebelum Belanda datang. Sampai pada akhirnya Belanda yang menjajah kita semua.
Mungkin begini ya rasanya orang Indonesia yang berkunjung ke negara Belanda. Hahaha perumpamaan yang gak terlalu tepat sih tapi ya kira-kira begitu lah.
Masih lekat dalam ingatan, saya pernah berkunjung ke Yogyakarta untuk pertama kali -selama 10 hari- di tahun 2007. Umur saya 22 tahun waktu itu. Lama tak bersua dengan Kota Pelajar, bulan Juni di tahun 2015 saya kembali ke Yogyakarta.
Wajah Yogyakarta sekarang banyak berubah. Yhaaa serupa Bandung lah. Lebih riuh, makin padat. Tapi tidak dengan rindu saya padanya yang masih sama sejak terakhir kali saya meninggalkannya. Masih sama segitu-gitu aja. Hehe.
Berada di
Yogyakarta, saya berlibur bersama dua orang lainnya, anak (nabilkubil) dan suami (indra). Satu
tempat yang sudah kami niatkan untuk kunjungi namanya adalah Kotagede.
Di sana kami bertiga hendak menikmati segelas es dawet di Warung Sido Semi, melongok makam-makam Raja Mataram, dan menyusuri bangunan antik sepanjang Kotagede.
Di sana kami bertiga hendak menikmati segelas es dawet di Warung Sido Semi, melongok makam-makam Raja Mataram, dan menyusuri bangunan antik sepanjang Kotagede.
Ke Jogja, saya dan Indra membawa bekal peta perjalanan buatan Emile Leushuis. Karena kami gak berencana belanja atau wisata kuliner, tujuannya satu: gedung-gedung kuno di Kotagede.
Kotagede pernah menjadi sentranya kerajinan dan perdagangan. Wilayah ini merupakan pusat kota Mataram. Banyak jejak pemukiman bangsawan yang pernah atau masih tinggal di sini.
Mengingat statusnya, ini kawasan berarti tua banget. Sudah ada sejak Sultan Agung masih hidup. Sekitar 5 abad lalu.
Berbekal sebuah peta yang kami fotokopi
dari buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia yang ditulis
oleh ahli geografi dan pemandu wisata Emile Leushuis, kami menapaki satu demi
satu gedung bersejarah di Kotagede.
Perjalanan
di Kotagede kami mulai pukul sembilan pagi. Cuaca masih segar meski panasnya
sudah begitu terasa menggigit. Titik keringat sudah bermunculan. Maklumlah, kami orang gunung. Datang dari Bandung yang suhunya sejuk, ke
Yogyakarta yang temperaturnya hangat.
Belum banyak
langkah kaki kami alun sejak Jalan Tegalgendu, beberapa bangunan tua sudah dapat dilihat.
Berdasarkan buku yang saya baca, itu rumah tua Rumah Kalang namanya. Orang Kalang asalnya dari zaman Majapahit yang ada campuran etnis Bali. Ini saya baca di internet aja sih asal-usulnya. Orang Kalang ini profesinya saudagar. Kaya raya pula. Cerita menarik tentang orang Kalang bisa kamu baca di sini ya.
Bangunan di Kotagede gaya arsitekturnya ala kolonial campur jawa. Itu rumah-rumah di tepi jalan. Kalau kamu masuk ke gang-gang kecil, nah baru kelihatan rumah-rumah tradisionalnya. Ada sih bangunan modern, tapi ada juga yang bentuknya masih joglo.
Berdasarkan buku yang saya baca, itu rumah tua Rumah Kalang namanya. Orang Kalang asalnya dari zaman Majapahit yang ada campuran etnis Bali. Ini saya baca di internet aja sih asal-usulnya. Orang Kalang ini profesinya saudagar. Kaya raya pula. Cerita menarik tentang orang Kalang bisa kamu baca di sini ya.
Bangunan di Kotagede gaya arsitekturnya ala kolonial campur jawa. Itu rumah-rumah di tepi jalan. Kalau kamu masuk ke gang-gang kecil, nah baru kelihatan rumah-rumah tradisionalnya. Ada sih bangunan modern, tapi ada juga yang bentuknya masih joglo.
Dapat
memasuki sebuah bangunan tua menjadi pengalaman yang saya tunggu-tunggu. Di
toko perhiasan silver bernama Silver Anshor saya melakukannya. Wah indah sekali
gedungnya. Warna bangunan putih, lantainya masih model tempo dulu, interiornya
yang megah, dan pilar-pilar gedungnya mencirikan pemiliknya yang berasal dari
kaum bangsawan. Kebanyakan gedung-gedung kuno di Kotagede cat dindingnya
berwarna putih. Warna yang sama dengan bangunan sejenis di Eropa, khususnya
Belanda.
Dari satu
rumah ke rumah yang lain, dari satu gedung ke gedung yang lain, Kotagede
sungguh memikat. Saya tidak melihat ada bangunan komersil yang lebih tinggi
dari rumah-rumah (kuno) di sini. Kelestariannya cukup terjaga (bila dibanding Bandung).
Di tengah
perjalanan kami mampir ke suatu warung sederhana. Seorang teman -sebelum kami berangkat ke Kotagede- menyarankan
begini: kalau ke Kotagede harus jajan Kipo!
Di warung
tersebut saya hendak menunaikan pesan dari teman. Tugas mulia bernama makan Kipo!
Oala ternyata bentuknya sangat kecil sekali. Sebesar ibu jari. Tak terbayang sebelumnya bahwa Kipo adalah kue yang ukurannya mini. Warnanya hijau. Terbuat dari tepung beras dan pada bagian dalamnya campuran gula merah dan kelapa parut. Kipo serupa dengan kue Dadar Gulung. Konon Kipo adalah kue yang dahulu menjadi suguhan di Keraton.
Oala ternyata bentuknya sangat kecil sekali. Sebesar ibu jari. Tak terbayang sebelumnya bahwa Kipo adalah kue yang ukurannya mini. Warnanya hijau. Terbuat dari tepung beras dan pada bagian dalamnya campuran gula merah dan kelapa parut. Kipo serupa dengan kue Dadar Gulung. Konon Kipo adalah kue yang dahulu menjadi suguhan di Keraton.
Kipo sudah
habis. Istirahat cukup. Energi sudah kembali. Perjalanan kembali dilanjut.
Kali ini kami memasuki gang kecil, menyelami Kotagede lebih dalam, mengenalnya lebih dekat. Bahkan di dalam ruang yang lebih sempit semacam gang, Kotagede memiliki pemandangan yang sama seksinya dengan panorama yang kami lihat di pinggir jalan raya. Bahkan ada gedung tua yang megah di dalam gang. Rumah Rudi Pesik, misalnya. Juga ada beberapa rumah tradisional Jawa, yaitu Joglo, dan rumah-rumah sederhana yang kuno dan apik.
Saya melihat pintu rumah antik terbuka. Sungguh menggoda untuk saya ketok pintunya dan ngobrol dengan penghuninya. Suara ibu-ibu terdengar sedang bicara. Medok dan merdu. Saya intip dari jendela, mereka kayak lagi asyik masak begitu.
Kali ini kami memasuki gang kecil, menyelami Kotagede lebih dalam, mengenalnya lebih dekat. Bahkan di dalam ruang yang lebih sempit semacam gang, Kotagede memiliki pemandangan yang sama seksinya dengan panorama yang kami lihat di pinggir jalan raya. Bahkan ada gedung tua yang megah di dalam gang. Rumah Rudi Pesik, misalnya. Juga ada beberapa rumah tradisional Jawa, yaitu Joglo, dan rumah-rumah sederhana yang kuno dan apik.
Saya melihat pintu rumah antik terbuka. Sungguh menggoda untuk saya ketok pintunya dan ngobrol dengan penghuninya. Suara ibu-ibu terdengar sedang bicara. Medok dan merdu. Saya intip dari jendela, mereka kayak lagi asyik masak begitu.
Warung Sido Semi yang saya tuju tutup sudah. Tutup selama-lamanya. Tetangganya berkata demikian. Waduh sayang uhuhuhu....
Ya sudah kami berjalan saja ke Pasar Legi. Dan sudah terlalu siang untuk belanja atau jajan. Uhuhuhuhu. Rencananya mau melongok isi pasar. Tapi pasarnya kayak udah agak sepi. Agak menyesal juga saya langsung tinggalin pasarnya. Lebih baik saya masuk saja dulu mana tahu di dalam pasar bagaimana pemandangannya.
Pasar Legi Kotagede sudah ada sejak abad 16.
Kami berbelok saja ke Makam Raja-raja Mataram. Menapaki Gerbang Paduraksa rasanya terasa begitu syahdu. Ini pertama kalinya saya mengunjungi makam Raja-raja Mataram.
Sinar matahari meredup. Langit berawan. Angin semilir di kompleks pemakaman tersebut menyambut kami bertiga. Jalur jalan pelancong dan peziarah di makam ini sangat berkelok. Jalan lurus - ketemu tembok - belok kiri - lurus - belok kanan - lurus. Serupa adat orang Jawa yang kalau sedang bicara terdengar berputar-putar. Cara orang membangun sebuah tempat konon persis sama dengan adat budaya cara berpikirnya.
Ya sudah kami berjalan saja ke Pasar Legi. Dan sudah terlalu siang untuk belanja atau jajan. Uhuhuhuhu. Rencananya mau melongok isi pasar. Tapi pasarnya kayak udah agak sepi. Agak menyesal juga saya langsung tinggalin pasarnya. Lebih baik saya masuk saja dulu mana tahu di dalam pasar bagaimana pemandangannya.
Pasar Legi Kotagede sudah ada sejak abad 16.
Kami berbelok saja ke Makam Raja-raja Mataram. Menapaki Gerbang Paduraksa rasanya terasa begitu syahdu. Ini pertama kalinya saya mengunjungi makam Raja-raja Mataram.
Sinar matahari meredup. Langit berawan. Angin semilir di kompleks pemakaman tersebut menyambut kami bertiga. Jalur jalan pelancong dan peziarah di makam ini sangat berkelok. Jalan lurus - ketemu tembok - belok kiri - lurus - belok kanan - lurus. Serupa adat orang Jawa yang kalau sedang bicara terdengar berputar-putar. Cara orang membangun sebuah tempat konon persis sama dengan adat budaya cara berpikirnya.
Tentu saja
makam seorang raja berbeda dengan makam orang-orang kebanyakan. Tempat yang
saya kunjungi itu sangat mewah, bukan hanya gapuranya tinggi-tinggi dan megah, tapi juga ada tempat
pemandian bernama Sendang Seliran. Sungguh ini kompleks pemakaman yang luas, sakral, dan eksotik.
Berada di kompleks Makam Raja Mataram saya harus melewati pintu-pintu (gapura) berukuran besar dan pepohonan beringin. Makamnya sendiri tidak boleh dilihat sembarangan. Butuh orang dengan status tertentu untuk melihat langsung makam para Raja Mataram.
Waktu saya ke sana sih sepi banget. Karena bukan hari akhir pekan dan hari libur. Saya gak merasa ada yang angker di sini. Tiap sudutnya cantik dan tradisional. Di pintu masuk gapura agak terganggu pemandangan jemuran warga sih.
Berada di kompleks Makam Raja Mataram saya harus melewati pintu-pintu (gapura) berukuran besar dan pepohonan beringin. Makamnya sendiri tidak boleh dilihat sembarangan. Butuh orang dengan status tertentu untuk melihat langsung makam para Raja Mataram.
Waktu saya ke sana sih sepi banget. Karena bukan hari akhir pekan dan hari libur. Saya gak merasa ada yang angker di sini. Tiap sudutnya cantik dan tradisional. Di pintu masuk gapura agak terganggu pemandangan jemuran warga sih.
Rencananya kami ingin beristirahat lagi di Masjid Besar Mataram, sayang masjidnya ditutup karena
renovasi. Kami beranjak keluar dari kompleks tersebut. Matahari kembali terang dan panas.
Aneh sekali. Di dalam kompleks pemakaman Raja Mataram tadi rasanya sangat
sejuuuuk banget.
Kembali ke
luar masuk gang, kami sempat tersesat. Tapi tak sulit keluar dari labirin
gang-gang Kotagede. Papan nama jalan terpancang rapi. Penduduk lokal pun selalu
menjawab ramah jika kami tanya.
Dua jam sudah berlalu
sejak jam makan siang berlaku. Kami sudah berada di Kotagede sejak jam 9 pagi.
Pukul dua siang perjalanan di Kotagede kami akhiri. Restoran atau warung makan menjadi destinasi kami berikutnya. Memesan taksi, kami putuskan kembali ke pusat kota.
Pukul dua siang perjalanan di Kotagede kami akhiri. Restoran atau warung makan menjadi destinasi kami berikutnya. Memesan taksi, kami putuskan kembali ke pusat kota.
Dari dalam
taksi kami kembali menyusuri jalanan Kotagede, kembali melewati Jalan Tegalgendu. Saya menyaksikan lagi
bangunan-bangunan yang kami saksikan dari dalam jendela kendaraan, sekilas
rasanya seperti sedang me-review perjalanan yang kami lakukan dari tadi
pagi. Mengkaji ulang dan merekam baik-baik pemandangan dan rasa Kotagede.
Setelah
delapan tahun akhirnya saya bisa bertemu lagi denganmu, Yogyakarta. Di
Kotagede, saya menuntaskan rindu itu. Semoga kita bersua lagi ya. Masih ada
sudut-sudut Yogyakarta yang ingin saya saksikan, sudut yang sama, sudut-sudut
kota yang tradisonal dan bersahaja (kecuali bangunan miliknya Keraton dan Raja-raja Mataram :D).
Disclaimer: tulisan ini adalah tulisan lama yang saya buat di tahun 2016. Saya perbaiki tulisannya dan saya unggah ulang per bulan April 2018 ini.
Disclaimer: tulisan ini adalah tulisan lama yang saya buat di tahun 2016. Saya perbaiki tulisannya dan saya unggah ulang per bulan April 2018 ini.
Kue Kipo mirip dengan bugis ya?
ReplyDeleteWaduh Bugis apa lagi nih, karena kalau di Bandung Bugis bentuknya beda jauh dengan Kipo itu, mba. Kalo di daerah Mba Wiwiek, Bugis kayak gimana?
DeleteTerakhir ke Jogja waktu adik kuliah di UGM, sdh lama sekali, baca tulisan ini jadi pengen ke sana lagi :)
ReplyDeleteEuleuh tahun berapa itu, Teh? Balik lagi atuh ke Yogyakarta, jalan-jalan hehehe
Deletewah iyaa.. kalau denger kotagede, ingetnya pengrajin kerajia=nan silver yang bikin saya mupeng banget..
ReplyDeleteflashback zaman2 sma hihi
Iya memang identiknya dengan kerajinan silver ya :D Lhoooo sekolahnya dulu di Jogja thoooo
DeleteBiasanya kalo ke Kotagede saya sekaligus beli oleh2 di coklat monggo. Tempatnya asri dan bagus sekali buat edukasi anak-anak, karena banyak permainan jadul saya masa kecil ;)
ReplyDeleteIya saya kelewat gak mampir ke Coklat Monggo euy! Duh nyesel deh... harus balik ke sana atuh ya, hehehe
DeleteSepintas kue Kipo kaya klepon ya mbak...
ReplyDeleteHijaunya mirip, bentuknya mah enggak kayaknya ya. Rasanya juga mirip hehehe
Deleteasiknya ke Jogja itu masih banyak bangunan tua. Walaupun suka gregetan karena kelihatan rapuh :D
ReplyDeleteIya, Mba. Sama nasibnya dgn Bandung. Hiks...
DeleteSalut dg cara keluarga ini berwisata, nggak ikut hiruk pikuk tapi memilih jalan kaki menikmati & menghargai yg ada di sekitar.
ReplyDeleteWah terima kasih, Mba Lusi. Nanti saya ke Jogja lagi kita ketemuan ya :D
DeleteWah saya tertarik banget tuh tentang info buku "Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia yang ditulis oleh ahli geografi dan pemandu wisata Emile Leushuis", karena saya suka sejarah, apalagi jika bisa ditelusuri langsung. Dulu belinya dimanakah?
ReplyDeleteBeli di acara peluncuran bukunya :D Bisa dibeli online ke penerbit Ombak, Mba. Atau beli online di toko-toko buku online juga ada. Di Gramedia juga rasanya tersedia.
DeleteDulu pengen banget ke kota gede, cuma ga sempet. Padahal pengen punya cincin perak dari sana. Katanya bagus
ReplyDeleteNah saya gak belanja satu pun perhiasan silvernya Kotagede, mba :D gak tahu bagus enggaknya hehehe
Deletejogja selalu ngangenin.. pertama kali ke jogja zaman sma, perpisahan dengan temen2 sekolah sampe sekarang selalu inget hal tersebut
ReplyDelete