Berikut ini karya kedua kami di surat kabar Pikiran Rakyat.
Selamat membaca.
**********
Sinar
matahari dosis tinggi tak menyurutkan niat turis-turis domestik berbelanja kain
batik. Cuaca panas menyengat, masuk ke toko-toko batik yang berjejer itu lebih
menyenangkan sebab bisa menyejukkan diri dengan mesin pendingin udara di
dalamnya.
Namun saya urung membeli oleh-oleh khas Cirebon itu. Tujuan saya ke Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh Desa Trusmi yang senyap.
Namun saya urung membeli oleh-oleh khas Cirebon itu. Tujuan saya ke Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh Desa Trusmi yang senyap.
Desa
Kaliwulu merupakan tetangga dekat Desa Trusmi. Masjid kuno nan keramat bernama
Masjid Kaliwulu berada di sekitar perbatasan kedua desa tersebut. Rasa
penasaran akan masjid yang antik membawa saya padanya.
Dari
mulut Jalan Panembahan Plered yang merupakan gerbang masuk ke Kampung Batik
Trusmi, saya kemudikan kendaraan lurus mengikuti Jalan Syekh Datul Kahfi ke Jalan
Ki Natagama. Jalan mulai agak lengang. Saya harus berbelok lagi ke kanan dan
berakhir tepat di mulut gerbang masjidnya. Jalan menyempit. Kendaran saya
parkir dan memutuskan menumpang becak. Tawar menawar harga, kami sepakat di angka Rp10.000 bolak-balik
dari Masjid Kaliwulu.
Menyusuri
jalan kecil menuju masjidnya dari dalam becak, saya pikir sebenarnya mudah saja
melaluinya dengan berjalan kaki. Mobil pun muat melaju namun akan menyusahkan
kendaraan yang lain yang arahnya berbalikan. Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan
Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang
hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.
Kesunyian Masjid Kuno Kaliwulu
Pertama
kali yang saya lihat adalah nisan-nisan makam di halaman depan Masjid Kaliwulu.
“Ini makam warga di sini,” cerita Pak Sobari, pengemudi becak yang saya
tumpangi. Ia berkata lagi “kalau makam di belakang masjid itu makam
keramatnya.”
Saya
memintanya menunggu sembari saya menjelajahi masjidnya. Sekilas memandang dari
luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar
sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan besar menaungi makam dan
sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.
Senang
sekali akhirnya saya bisa berada di masjid berumur lebih dari 200 tahun ini.
Sayang tahun pendirian masjidnya tidak tercatat, namun pada balok kayu di
bagian atas pintu masuk ke ruang utama masjid tercantum informasi dalam bahasa
arab tahun perbaikan masjid, yakni tahun 1826. Berarti Masjid Kaliwulu sudah
ada sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun sebelumnya.
Masjid
Kaliwulu didirikan oleh putra dari Pangeran Panjunan yang mendirikan Masjid
Merah Panjunan. Namanya Syekh Abdurrahman. Oleh karenanya Masjid Kaliwulu
dikenal juga dengan nama Masjid Keramat Syekh Abdurrahman. Nama Kaliwulu
diambil dari sungai di belakang masjid.
Gerbang
masuk berbentuk gapura ke masjid ada tiga. Seperti pada umumnya gerbang-gerbang
di Cirebon, di sini gerbangnya berwujud gapura dari bata merah.
Tiap
bagian di kompleks Masjid Kaliwulu memiliki fungsi dan nama. Wilayah makam
keramat dinamakan Pasarean. Tempat sembahyang di luar ruang utama masjid
dinamakan Pawestren. Ada pula bangunan Pendhapa (serambi).
Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya mencoba membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali airnya dingin.
Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya mencoba membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali airnya dingin.
Menilik
masjid dari halaman depan, ada beberapa atap yang menandakan tiap bangunan di kompleks
masjid memiliki atapnya sendiri. Bangunan masjid semuanya beratap genteng,
sementara makam Syekh Abdurrahman beratap sirap.
Bangunan utama masjid beratap tumpang dua dan pada pucuk masjid terpasang Memolo (ukiran), bukan kubah masjid seperti pada umumnya. Memolo ini ukiran yang unik. Saya perhatikan banyak bangunan di Cirebon (bukan hanya masjid) yang memasang Memolo di pucuk atap bangunannya.
Bangunan utama masjid beratap tumpang dua dan pada pucuk masjid terpasang Memolo (ukiran), bukan kubah masjid seperti pada umumnya. Memolo ini ukiran yang unik. Saya perhatikan banyak bangunan di Cirebon (bukan hanya masjid) yang memasang Memolo di pucuk atap bangunannya.
Saya
minta izin pada pengurus masjid untuk memasuki ruang utama masjid, bagian asli
dari masjidnya. Namun ia menolak. Saya hanya bisa menginjakkan kaki di ruang
tengah masjid yang merupakan gabungan dari bangunan lama dan baru.
Berdiri
menghadap Paduraksa (dinding gapura dengan atap) suasana temaram dan dingin menyergap
bulu kuduk saya. Sepi tak ada lagi pengunjung lain. Sebelum masuk ke ruang
tengah ini saya berpapasan dengan dua orang yang hilir mudik di luar pintu makam
Syekh Abdurrakhman yang dikeramatkan. “Mau kliwonan, Mba”, tutur salah seorang
laki-laki umur 15 tahunan. Saya cek kalender online. Rupanya kedatangan saya pada
hari kamis itu menjelang hari yang istimewa. Ah mana saya tahu kalau esok hari
jumat kliwon.
Bila
pernah mengunjungi Masjid Merah Panjunan yang di dindingnya unik karena ada
piring-piring tertanam di dalamnya, maka pemandangan yang hampir sama bisa
dilihat di Masjid Kaliwulu. Hanya saja warna dindingnya putih. Ruang utama
masjid dipisahkan Paduraksa sehingga tempat saya berdiri itu dahulu merupakan teras
masjidnya.
Di
dalam ruang utama terlihat tiang-tiang kayu yang masih kokoh. Sayang saya tidak
dapat menghitung tiangnya ada berapa. Dari buku berjudul Masjid Kuno Cirebon
tulisan Dr. Eng Bambang Setia Budi Dkk, di dalam ruang utama masjid terdapat
empat sakaguru dan delapan sakarawa. Dari total 12 tiang di ruang utama,
terdapat satu tiang penuh ukiran. Sayang sekali saya belum berkesempatan untuk
melihat tiang dengan ukiran yang konon indah sekali tersebut.
Sementara
di luar ruang utama tempat saya berdiri, saya melihat ada empat tiang sakarawa.
Satu dari empat tiang tersebut dibungkus kain putih. Tiga tiang yang saya lihat
bersih tanpa ukiran. Bagian bawah tiang disangga umpak batu.
Terdapat
dua pintu dengan atap rendah di sisi utara dan selatan. Pintunya tertutup
karena sudah ada pintu baru yang lebar dan bentuknya modern. Di dekat
pintu-pintu kuno itu lah terdapat sumur untuk berwudu.
Sungguh
masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya
masih terjaga.
Rumah-rumah Kuno di Jalan Trusmi
Keluar
dari Masjid Kaliwulu, saya bertolak ke arah Jalan Trusmi. Jalan utama di
Kampung Batik Trusmi adalah Jalan Syekh Datul Kahfi. Selain Jalan Panembahan
dan Jalan Syekh Datul Kahfi, ada juga Jalan Trusmi. Di sepanjang ketiga jalan
tersebut berjejer toko-toko batik.
Trusmi
bukanlah nama produk atau merek. Trusmi adalah nama desa. Kampung Batik Trusmi
merupakan sentra industri batik di Cirebon. Secara tepat lokasinya ada di
Kecamatan Plered, sekitar 6-8 km dari pusat kota Cirebon.
Alih-alih
membeli batik seperti yang sudah pernah saya lakukan sebelumnya, saya ingin
mencoba pengalaman lain di sini.
Berjalan santai saja menyisir sebagian ruas Jalan Trusmi sepanjang 1km. Kendaran saya parkir di Alun-alun Trusmi. Berjalan kaki membuat saya dapat melihat lebih dekat. Baru sekarang saya perhatikan kalau di sisi Jalan Trusmi banyak rumah-rumah antik nan cantik dengan detail dekorasi yang menawan.
Berjalan santai saja menyisir sebagian ruas Jalan Trusmi sepanjang 1km. Kendaran saya parkir di Alun-alun Trusmi. Berjalan kaki membuat saya dapat melihat lebih dekat. Baru sekarang saya perhatikan kalau di sisi Jalan Trusmi banyak rumah-rumah antik nan cantik dengan detail dekorasi yang menawan.
Pukul
11 menuju jam makan siang. Matahari mulai meninggi, panas Cirebon sudah
menyalak sejak pukul 10 tadi pagi di Masjid Kaliwulu. Siang makin terang, saya
berjalan di sisi jalan yang agak teduh. Sayangnya tidak ada banyak pepohonan di
sini.
Rumah-rumah
kuno di Cirebon beragam bentuk arsitekturnya. Bukan saja kental dengan
arsitektur gaya kolonial, ada pula saya lihat tiga rumah bergaya seperti Rumah
Joglo yang pernah saya foto di Kotagede Yogyakarta.
Semua
rumah (selain yang bentuknya Joglo) berdinding warna putih. Bagian depan rumah
dirancang sebagai toko, karena itu teras rumah dibuat melebar dan pintunya
memanjang (pintu lipat). Sebagian besar warna pintunya kuning, ada juga yang
putih dan warna krem.
Sayang
sekali hanya sedikit rumah-rumah tua sekaligus toko kain batik yang buka,
kebanyakan tutup. Entah tutup sementara atau seterusnya dan mereka punya toko
baru yang lebih modern bangunannya.
Kebanyakan
pengunjung berkendara dan menumpang becak. Warga lokal hilir mudik beraktivitas
dengan kendaraan motor dan sepeda.
Trusmi
sendiri merupakan nama seorang legenda. Pada mulanya ia bernama Pangeran
Cakrabuana dan seiring waktu namanya menjadi Ki Buyut Trusmi. Dia lah orang
yang memberikan tahta keratonnya kepada Sunan Gunung Jati lalu pindah ke Desa
Trusmi dalam rangka menyebarkan agama Islam di tahun 1470.
Masjid Trusmi
Makam
Ki Buyut berada di kompleks Kabuyutan Trusmi. Dalam kompleks ini terdapat juga masjid
kuno. Namun bila dibanding Masjid Kaliwulu yang masih orisinil, bagian dalam
Masjid Trusmi sudah banyak yang berubah dan ruang utama (asli) masjidnya dibuka
saat jam sholat.
Saya
sengaja mampir ke Masjid Trusmi pada jam adzan Dhuzur. Ruang utama dibuka bila
waktu sholat tiba. Ruang utama khusus untuk laki-laki, beruntung saya dapat
melihatnya meski dari ruang yang berbeda karena saya perempuan. Mengintip ruang
utama saya perhatikan ada empat sakaguru (tiang) yang berukir.
Salah
satu yang unik pada masjid yang
didirikan tahun 1481 ini adalah beberapa bangunannya beratap rumbia (jerami). Bangunan
utama masjidnya sendiri beratap sirap. Pucuk bangunan ada Memolo. Setiap empat
tahun sekali di bulan rajab, diselenggarakan tradisi Memayu. Memayu adalah
kegiatan mengganti atap sirap masjid yang dilakukan gotong royong oleh penduduk
setempat.
Bagian
lain yang menarik adalah gapura (pintu) masuk ke masjid. Ada dua gapura, Gapura
Wetan dan Gapura Kulon. Saya masuk dari Gapura Kulon. Pintu gapura terbuat dari
kayu dengan ukiran flora dan fauna. Masuk melalui gapura ini saya harus
merundukkan kepala. Bukan cuma gapura yang unik, tegelnya pun apik.
Letaknya
yang berada di jantung Kampung Batik Trusmi membuat masjid ini ramai pengunjung
dan warga lokal. Pencahayaan ruangannya pun lebih terang dibanding Masjid
Kaliwulu. Di sini tidak ada Paduraksa dengan piring-piring yang tertancap di
dalamnya.
Transportasi ke Desa Trusmi
Tempat
yang saya tuju, utamanya Masjid Kaliwulu, paling mudah dijangkau dengan
kendaraan pribadi. Namun bila menggunakan transportasi umum pun tak masalah.
Selain
ojek, pilihan menumpang becak bisa jadi keasyikan tersendiri. Dari pusat kota
Cirebon ke Plered menaiki angkot. Berhenti di Plered, tinggal dipilih ojek atau
becak yang ingin ditumpangi.
Belajar
menggunakan bahasa lokal. Tak usah banyak kosakata, cukuplah kata ‘terima
kasih’ dalam bahasa cirebonan.
Setiap
masjid ada kuncennya. Pastikan meminta izin dahulu sebelum memotret, apalagi
bila menggunakan kamera DSLR.
Berhubung
tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat ibadah sekaligus tempat yang
dikeramatkan, pakaian yang kita kenakan harus sopan dan berperilaku santun.
Idealnya
waktu berkunjung ke masjid lakukan di pagi hari. Bila terlalu sore khawatir
terlalu gelap dan merepotkan untuk berfoto.
Menyusuri
Trusmi dengan jalan kaki seperti yang saya lakukan lebih nyaman dilakukan sore
hari usai sengatan sinar mahatari mereda. Bisa juga pagi sekitar pukul 07.00 –
09.00.
Berikut ini rumah-rumah kuno di sepanjang Jl. Trusmi.
Teks : Ulu
Foto : Indra, Ulu