Berjalan kaki di kota Yogyakarta itu sulit, kawan :D
Wilayah yang ramai turis sih nyaman jalan kakinya. Keluar dari sekitar Malioboro, ah semacam pertaruhan nyawa. Baru mau nyeberang sudah diberondong klakson. Orang Jogja nih kalau sudah naik motor gak ada yang selow.
Ngomong-ngomong, kembali ke jalan-jalannya Bandung Diary di Yogyakarta. Kami menghabiskan sore pada hari rabu di awal Agustus di sekitar Kota Baru. Alfian Widi masih jadi penunjuk jalan dan pemandu.
Dari Museum Sandi, jalan kaki ke kawasan Kota Baru deket banget. Masih di wilayah yang sama sih.
Kota Baru ini dahulunya pusat pemukiman orang-orang Belanda di Jogja. Wilayah kolonial. Karena itu kawasannya kental rumah-rumah bernuansa Eropa. Beda dengan wilayah Jogja lainnya yang diperuntukkan bagi pribumi.
Memang tata kotanya di sini terasa lebih rapi. Di sisi jalan banyak pohon besar. Suasananya asri dan teduh. Kalau di Bandung mirip daerah sekitar Gedung Sate atau Dago.
Di sini ada rumah yang dibangun tahun 1918. Kalo dari buku yang saya baca, rumah tersebut dibangun untuk anggota keluarga keraton dan sampai sekarang masih dihuni keturunannya. Memang selain orang kolonial, kawasan Kota Baru jadi tempat tinggal kaum menak pribumi juga saudagar Tionghoa.
Terus ada juga gereja katolik, Kolese St Ignatius, dibangun tahun 1923. Bagus bangunannya ada menaranya gitu. Di seberang gereja tersebut ada bangunan yang amat sangat cantik. Menaranya dua dan pintu gerbangnya terbuka, masuklah kami ke dalamnya. Ke dalam halamannya saja.
Dahulunya vila milik Liem Han Tjioe, dibangun tahun 1920. Baru deh tahun 1966, bangunan ini diambil alih Suster-suster Darah Mulia jadi biara.
Bangunan lainnya entah apa dan bagaimana sejarahnya. Kami hanya melihat sebentar abis itu pergi. Bagus-bagus sih yang pasti mah arsitekturnya. Banyak yang tertutup pohon besar dan pintu gerbangnya tertutup.
Gak banyak berfoto di sini kami mah euy. Sebentar aja di Kota Baru. Gak ada satu rumah/gedung yang kami masuki. Mampir sebentar ke biara karena bangunannya cantik sekali. Seperti semua bangunan yang dipelihara yayasan kristen, kondisinya sangat terawat.
Kami putuskan ikut ajakannya. Sayang kalau langsung balik ke hotel mah euy.
Los Bunder itu bangunan milik Kereta Api Indonesia yang digunakan untuk menyimpan lokomotif. Bayangkan sebesar apa bangunannya :D
Kalau teman-teman pernah lihat serial kartun Chuggington, nah tempat si para lokomotif itu pulang dan istirahat namanya Los Bundar.
Kalau kami lihat dari luar, bentuk bangunannya mirip stadion sepakbola. Bentuk bangunannya bulat, tinggi, dan besar. Berkedok ingin memotret dalam rangka lomba fotografi, oleh satpamnya kami dibolehkan masuk ke dalam Los Bunder.
Dan di dalamnya saya bisa lihat Turntable!
Aaahhhkkkk senangnya bisa lihat langsung jejak peninggalan kereta api di masa lampau! Turntable ini dipake untuk memutar lokomotif atau menggeser rel. Turntable biasanya ada di tengah los bunder. Saya pernah lihat juga Turntable di Bandung, tapi los bundernya udah gak ada.
Los Bunder ini cuma ada dua di Indonesia. Satu di Yogyakarta, satunya lagi di Sumatera, di Tebing Tinggi kalau gak salah (cmiiw).
Terus kami gak bisa foto Los Bunder secara keseluruhan. Butuh kamera lensa besar sementara kami bawa lensa 35mm ajah :D
Ah yasudahlah. Melihat Los Bunder dan Turntable sepuasnya, kami merasa cukup dan beranjak ke tempat berikutnya: rumahnya Aan!
"Rumah saya dibangun tahun 1929, Lu." Semacam kalimat pemancing itu mah euy hahaha. Ternyata rumahnya berada di lingkungan pegawai Kereta Api Indonesia. Sejak tadi Aan ini emang mengobral cerita masa kecilnya dengan kereta api.
Rupanya bapaknya Aan ini pensiunan PJKA (nama dulu sebelum KAI). Sekeluarga mereka menempati rumah dinas yang umurnya hampir satu abad. Rumahnya pun masih 80% asli kayak dulu.
Khas banget lah rumahnya. Pagarnya aja masih kayu. Halaman depannya ada pohon asam yang guedeeeee banget.
Dari teras sampai dapur, Aan bawa kami room tour. Bahkan ke kamarnya yang gila luas amat. "Pernah ada 15 orang tidur di kamar ini," kata Aan. Ranjangnya saja masih super jadul dengan kelambu. Bahkan chandeliernya juga klasik amat. Dari lantai sampai langit-langit, masih orisinil.
Jendela rumahnya tinggi dan besar. Saya coba buka jendelanya, buset berat amat ya. Bukan karena rusak dan sudah tua, tapi karena kayunya yang berat.
Bagian paling seru: sebuah batu di pojok kamarnya.
Di bagian tengah batu terdapat besi, seperti kumparan. Kata Aan, batu itu sudah ada sejak ia kecil. Dari ceritanya, si batu digunakan untuk mengusir makhluk halus.
Wow baru tahu benda kayak gitu untuk usir hantu :D
Sebelum pulang, Aan bawa kami ke bengkel kereta api. Deket banget sama rumahnya.
Di sana saya lihat deretan pohon kenari yang dicagarbudayakan. Suasananya teduuuhh sekali. Damai banget. Kecuali pas motor-motor lewat :D
Kami nongkrong di tepi rel, di depan Balai Yasa Yogyakarta, semacam bengkelnya kereta api. Kami ngobrolin banyak hal yang sekarang saya lupa apa aja yang kita obrolin waktu itu ya, An? Hahahaha :D
Jogja yang hangat (secara harfiah tentu saja :D) dan sinar matahari yang bersahabat. Sore yang menyenangkan di sudut Yogyakarta. Jauh dari keramaian wisata, saya bisa lihat wajah lain dari kota idola turis-turis domestik dan mancanegara ini.
Berikutnya saya mau cerita perjalanan kami di kampung Kauman. Besok ya!
Teks : Ulu
Foto : Ulu, Indra
Wilayah yang ramai turis sih nyaman jalan kakinya. Keluar dari sekitar Malioboro, ah semacam pertaruhan nyawa. Baru mau nyeberang sudah diberondong klakson. Orang Jogja nih kalau sudah naik motor gak ada yang selow.
Ngomong-ngomong, kembali ke jalan-jalannya Bandung Diary di Yogyakarta. Kami menghabiskan sore pada hari rabu di awal Agustus di sekitar Kota Baru. Alfian Widi masih jadi penunjuk jalan dan pemandu.
Dari Museum Sandi, jalan kaki ke kawasan Kota Baru deket banget. Masih di wilayah yang sama sih.
Kota Baru ini dahulunya pusat pemukiman orang-orang Belanda di Jogja. Wilayah kolonial. Karena itu kawasannya kental rumah-rumah bernuansa Eropa. Beda dengan wilayah Jogja lainnya yang diperuntukkan bagi pribumi.
Memang tata kotanya di sini terasa lebih rapi. Di sisi jalan banyak pohon besar. Suasananya asri dan teduh. Kalau di Bandung mirip daerah sekitar Gedung Sate atau Dago.
Di sini ada rumah yang dibangun tahun 1918. Kalo dari buku yang saya baca, rumah tersebut dibangun untuk anggota keluarga keraton dan sampai sekarang masih dihuni keturunannya. Memang selain orang kolonial, kawasan Kota Baru jadi tempat tinggal kaum menak pribumi juga saudagar Tionghoa.
Susteran Darah Mulia |
Terus ada juga gereja katolik, Kolese St Ignatius, dibangun tahun 1923. Bagus bangunannya ada menaranya gitu. Di seberang gereja tersebut ada bangunan yang amat sangat cantik. Menaranya dua dan pintu gerbangnya terbuka, masuklah kami ke dalamnya. Ke dalam halamannya saja.
Dahulunya vila milik Liem Han Tjioe, dibangun tahun 1920. Baru deh tahun 1966, bangunan ini diambil alih Suster-suster Darah Mulia jadi biara.
Bangunan lainnya entah apa dan bagaimana sejarahnya. Kami hanya melihat sebentar abis itu pergi. Bagus-bagus sih yang pasti mah arsitekturnya. Banyak yang tertutup pohon besar dan pintu gerbangnya tertutup.
Gak banyak berfoto di sini kami mah euy. Sebentar aja di Kota Baru. Gak ada satu rumah/gedung yang kami masuki. Mampir sebentar ke biara karena bangunannya cantik sekali. Seperti semua bangunan yang dipelihara yayasan kristen, kondisinya sangat terawat.
Karena Los Bundar di Indonesia Hanya Ada Dua, Salah Satunya di Yogyakarta
Abis itu ceritanya sore masih terlalu muda. Aan ajak kami ke Los Bunder (Los Bundar istilahnya dalam Bahasa Indonesia, orang Jogja bilangnya Los Bunder).Kami putuskan ikut ajakannya. Sayang kalau langsung balik ke hotel mah euy.
Los Bunder itu bangunan milik Kereta Api Indonesia yang digunakan untuk menyimpan lokomotif. Bayangkan sebesar apa bangunannya :D
Kalau teman-teman pernah lihat serial kartun Chuggington, nah tempat si para lokomotif itu pulang dan istirahat namanya Los Bundar.
Kalau kami lihat dari luar, bentuk bangunannya mirip stadion sepakbola. Bentuk bangunannya bulat, tinggi, dan besar. Berkedok ingin memotret dalam rangka lomba fotografi, oleh satpamnya kami dibolehkan masuk ke dalam Los Bunder.
Dan di dalamnya saya bisa lihat Turntable!
Aaahhhkkkk senangnya bisa lihat langsung jejak peninggalan kereta api di masa lampau! Turntable ini dipake untuk memutar lokomotif atau menggeser rel. Turntable biasanya ada di tengah los bunder. Saya pernah lihat juga Turntable di Bandung, tapi los bundernya udah gak ada.
Di dalam Los Bunder, turntable di tengahnya |
Los Bunder ini cuma ada dua di Indonesia. Satu di Yogyakarta, satunya lagi di Sumatera, di Tebing Tinggi kalau gak salah (cmiiw).
Terus kami gak bisa foto Los Bunder secara keseluruhan. Butuh kamera lensa besar sementara kami bawa lensa 35mm ajah :D
Ah yasudahlah. Melihat Los Bunder dan Turntable sepuasnya, kami merasa cukup dan beranjak ke tempat berikutnya: rumahnya Aan!
"Rumah saya dibangun tahun 1929, Lu." Semacam kalimat pemancing itu mah euy hahaha. Ternyata rumahnya berada di lingkungan pegawai Kereta Api Indonesia. Sejak tadi Aan ini emang mengobral cerita masa kecilnya dengan kereta api.
Rupanya bapaknya Aan ini pensiunan PJKA (nama dulu sebelum KAI). Sekeluarga mereka menempati rumah dinas yang umurnya hampir satu abad. Rumahnya pun masih 80% asli kayak dulu.
Khas banget lah rumahnya. Pagarnya aja masih kayu. Halaman depannya ada pohon asam yang guedeeeee banget.
Dari teras sampai dapur, Aan bawa kami room tour. Bahkan ke kamarnya yang gila luas amat. "Pernah ada 15 orang tidur di kamar ini," kata Aan. Ranjangnya saja masih super jadul dengan kelambu. Bahkan chandeliernya juga klasik amat. Dari lantai sampai langit-langit, masih orisinil.
Jendela rumahnya tinggi dan besar. Saya coba buka jendelanya, buset berat amat ya. Bukan karena rusak dan sudah tua, tapi karena kayunya yang berat.
Rumahnya Aan, in frame adalah Aan dan Nabil |
Lantai rumahnya Aan |
Balai Yasa, bengkelnya kereta api |
Pohon Kenari yang dicagarkan |
Bagian paling seru: sebuah batu di pojok kamarnya.
Di bagian tengah batu terdapat besi, seperti kumparan. Kata Aan, batu itu sudah ada sejak ia kecil. Dari ceritanya, si batu digunakan untuk mengusir makhluk halus.
Wow baru tahu benda kayak gitu untuk usir hantu :D
Sebelum pulang, Aan bawa kami ke bengkel kereta api. Deket banget sama rumahnya.
Di sana saya lihat deretan pohon kenari yang dicagarbudayakan. Suasananya teduuuhh sekali. Damai banget. Kecuali pas motor-motor lewat :D
Kami nongkrong di tepi rel, di depan Balai Yasa Yogyakarta, semacam bengkelnya kereta api. Kami ngobrolin banyak hal yang sekarang saya lupa apa aja yang kita obrolin waktu itu ya, An? Hahahaha :D
Jogja yang hangat (secara harfiah tentu saja :D) dan sinar matahari yang bersahabat. Sore yang menyenangkan di sudut Yogyakarta. Jauh dari keramaian wisata, saya bisa lihat wajah lain dari kota idola turis-turis domestik dan mancanegara ini.
Berikutnya saya mau cerita perjalanan kami di kampung Kauman. Besok ya!
Foto : Ulu, Indra
Kotabaru memang banyak bangunan dan rumah-rumah cantik yg cukup bikin mata jelalatan :D
ReplyDeleteLalu yg paling aku suka adalah semacam boulevard ditengah2 jalan, dan bisa digunakan untuk jalan kaki :D
duh, bacain jogjanya Ulu mulu jadi kangen ksana, huhuhu! baru tau kalo ada pohon2 kenari dicagarbudayakan, Lu....
ReplyDeleteAsik juga jalan2 ke tempat anti mainstream di Jogja. Btw kemaren pas ke Stasiun Ambarawa, sempet liat turntable deh, tapi ga tau masih berfungsi apa tidak. Terus mau nanya siapa yg naro batu di pojokan rumahnya Aan? Bagaimana cara mengoperasikannya ?
ReplyDeleteWah asyek bisa jjs. Bukan piknik biasa. Penasaran buku apa yg dibaca ?
ReplyDeleteDuh makin kangen Jogj nih, Lu. Btw kok ga ada foto-foto dalam rumahnya, Lu? *ih kepoan ya hahaha*
ReplyDeleteUlu.. Mupeng ih, aku keturunan wong yogya aja belum sempet jalan menjelajah sudut demi sudut kota ini. Kalo kesana seringnya di rumah atau sowan ke rumah saudara yang banyak itu heheh
ReplyDeleteAaaaa... seru sekali menyisir gedung-gedung tua di Jogjakarta. Bangunannya kebanyakan juga bergaya kolonial ya Mbak. Terus rumahnya Aan, unik sekali. Tinggal di rumah seperti itu pasti adem banget. Rumah-rumah karyawan kereta api lainnya juga seperti itu ya Mbak Ulu?
ReplyDeleteRumahnya adem deh sigana lu, jadi ngebayangin main ayunan dibawah pohonnya
ReplyDeletesetiap baca postingan teh Ulu tentang jogja jadi makin ngebet pengen kesana da
ReplyDeleteWah, jadi kangen pengen ke Jogja lagi
ReplyDeleteAaaaah selalu suka sama Yogyakarta, gapernah bikin bosennnn. Pengen balik lagi dan lagi. Foto-fotonya old skull gitu kereeeeennnnn
ReplyDeleteHmm, boleh juga alasannya masuk ke Los Bunder itu, Mbak. Kapan-kapan saya mau coba ah... siapa tahu bisa lolos juga, hehe. Saya belum pernah melihat turntable dari dekat. Pasti keren banget, ya. Apa sekarang Los Bunder itu masih difungsikan?
ReplyDeleteTinggal di rumah tahun 1929? Woow... keren pisan! Dari satu foto saya lihat, daun jendelanya dobel. Keren, keren. Ini sisi lain Yogya banget. Keren juga melihat pohon kenari yang dijadikan cagar budaya. Di Mataram, pohon-pohon zaman Belandanya mulai tumbang satu per satu...
wew keren... los bundernya.. jogja kesanaa ahh
ReplyDeleteLos Bundernya yang paling menarik perhatian saya.
ReplyDeleteBaru tau klo ada Los Bunder di Jogja.
Suatu saat harus wajib kudu mesti ke sana :)
Desember nanti mau ke Jogja nih teh, tempat-tempat yang teh Ulu datengin mau pada aku catat, biar nanti nggak bingung kehabisan ide mau jalan kemana 😀
ReplyDeleteDi Sumatera Kereta Api belum beroperasi lagi yah...
ReplyDeleteKalau ada seru juga, halan-halan keliling Sumatera pakai kereta
Wah, Bocah2 di rumah bakalan seneng deh kalo diajak ke Los Bunder ini. Mereka suka dengan Chuggington. :D
ReplyDelete