Sinar
matahari dosis tinggi tak menyurutkan niat turis-turis domestik berbelanja kain
batik. Mumpung masih jam 9 pagi. Cuaca panas menyengat, masuk ke toko-toko batik yang berjejer itu lebih
menyenangkan sebab bisa menyejukkan diri dengan mesin pendingin udara di
dalamnya.
Namun saya dan Indra urung membeli oleh-oleh khas Cirebon di Trusmi. Tujuan kami di Kampung Batik Trusmi berada agak jauh dari keramaian, menepi ke sisi terjauh
Desa Trusmi yang senyap.
Desa
Kaliwulu merupakan tetangga dekat Desa Trusmi. Masjid kuno nan keramat bernama
Masjid Kaliwulu berada di sekitar perbatasan kedua desa tersebut. Rasa
penasaran akan masjid yang antik membawa saya padanya.
Dari
mulut Jalan Panembahan Plered yang merupakan gerbang masuk ke Kampung Batik
Trusmi, Indra kemudikan kendaraan lurus saja mengikuti Jalan Syekh Datul Kahfi menuju Jalan
Ki Natagama. Terima kasih Googlemap :D
Jalan mulai agak lengang dan menyempit. Kendaraan diparkir dan kami memutuskan menumpang becak. Tawar menawar harga, sepakat di angka Rp10.000 bolak-balik ke dan dari Masjid Kaliwulu.
Menyusuri
jalan kecil menuju masjidnya dari dalam becak, saya pikir sebenarnya mudah saja
melaluinya dengan berjalan kaki. Tapi anu lho, panasnya luar biasa. Padahal baru jam 9 pagi saja.
Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.
Kira-kira 1,5 km dari mulut jalan Ki Natagama dan melewati barisan rumah, kami bermuara ke sebuah tempat yang hening. Di situlah Masjid Kaliwulu berada.
Kesunyian Masjid Kuno Kaliwulu
Becak berhenti di dekat makam-makam warga yang jadi halaman depan Masjid Kaliwulu. "Makam keramat ada di belakang masjidnya," ucap Pak Sobari - tukang becak- tanpa saya tanya. Dia pikir saya mau ziarah kali ya :D
Saya
memintanya menunggu sembari saya menjelajahi masjidnya. Sepi sekali suasana masjidnya. Pohon besar-besar dan hamparan nisan membuatnya lebih temaram.
Sekilas memandang dari luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan rindang menaungi makam dan sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.
Sekilas memandang dari luar, masjid yang dipagari tembok bata merah setinggi 1,5 m ini tampak luas. Lebar sisi depannya saja kira-kira 50 meter. Pepohonan rindang menaungi makam dan sebagian wilayah masjid. Perasaan sejuk mendekap.
Dari beberapa literatur yang saya baca di internet, masjid ini disebut berumur lebih dari 200 tahun ini.
Sayangnya tahun pendirian masjid tidak tercatat pada badan masjid. Namun terdapat balok kayu di
bagian atas pintu masuk ke ruang utama masjid yang mencantumkan informasi dalam huruf arab tahun perbaikan masjid, yakni tahun 1826.
Masjid
Kaliwulu didirikan oleh putra dari Pangeran Panjunan yang mendirikan Masjid
Merah Panjunan. Namanya Syekh Abdurrahman. Oleh karenanya Masjid Kaliwulu
dikenal juga dengan nama Masjid Keramat Syekh Abdurrahman. Nama Kaliwulu
diambil dari sungai di belakang masjid. Lagipula pelafalan Kaliwulu lebih mudah diucapkan sih.
Baca juga: Menelusuri Rumah Kuno di Cirebon
Ada tiga pintu gerbang masuk ke Masjid Kaliwulu. Seperti pada umumnya gerbang-gerbang
di Cirebon, di sini gerbangnya berwujud gapura dari bata merah.
Menilik masjid dari halaman depannya, saya bisa lihat ada beberapa atap. Pada bangunan masjid semuanya beratap genteng. Sementara bangunan makam Syekh Abdurrahman beratap sirap. Di bangunan utama masjid atapnya tumpang dua. Pada pucuk masjidnya terdapat Memolo (ukiran).
Menilik masjid dari halaman depannya, saya bisa lihat ada beberapa atap. Pada bangunan masjid semuanya beratap genteng. Sementara bangunan makam Syekh Abdurrahman beratap sirap. Di bangunan utama masjid atapnya tumpang dua. Pada pucuk masjidnya terdapat Memolo (ukiran).
Tiap
bagian di kompleks Masjid Kaliwulu memiliki fungsi dan nama. Wilayah makam
keramat dinamakan Pasarean. Tempat sembahyang di luar ruang utama masjid
dinamakan Pawestren. Ada pula bangunan Pendhapa (serambi).
Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali, airnya dingin terasa sejuk.
Meski sekarang tersedia keran air untuk berwudu, dua sumur masih lestari keberadaannya, terletak di sisi selatan dan utara masjid. Di sebelah pintu masuk ke Pasarean ada kendi ukuran besar untuk berwudu sebelum masuk ke area makam. Saya membasuh muka dari kendi tersebut. Ah segar sekali, airnya dingin terasa sejuk.
Saya
minta izin pada pengurus masjid untuk memasuki ruang utama masjid, bagian asli
dari masjidnya. Namun ia menolak. Saya hanya bisa menginjakkan kaki di ruang
tengah masjid yang merupakan gabungan dari bangunan lama dan baru, yaitu Pawestren dan Pendhapa.
Sebelum masuk ke Pendhapa, saya berpapasan dengan dua orang yang hilir mudik di luar pintu makam Syekh Abdurrakhman yang dikeramatkan. “Mau kliwonan, Mba”, tutur salah seorang laki-laki muda, mungkin umurnnya 15 tahunan. Saya cek kalender online. Rupanya kedatangan saya pada hari kamis itu menjelang hari yang istimewa. Ah mana saya tahu kalau malam nanti malam jumat kliwon...heuheu.
Di Dalam Pendhapa
Dari buku berjudul Masjid Kuno Cirebon tulisan Dr. Eng Bambang Setia Budi Dkk disebutkan, di dalam ruang utama masjid terdapat empat sakaguru dan delapan sakarawa. Dari total 12 tiang di ruang utama, terdapat satu tiang penuh ukiran. Sayang sekali saya belum berkesempatan untuk melihat tiang dengan ukiran yang konon indah sekali tersebut.
Sebelum masuk masjid kami berwudhu dulu. Formalitas aja sih, tapi Indra emang udah niat mau sholat katanya.
Habis itu kami masuk ke Pendhapa dan menahan napas barang sedetik dua detik sebab terpesona dinding Paduraksa yang terlihat kokoh, gagah, dan luar biasa cantik.
Bila pernah mengunjungi Masjid Merah Panjunan yang di dindingnya unik karena ada piring-piring tertanam di dalamnya, maka seperti itu lah pemandangan yang kami saksikan di dalam Pendhapa Masjid Kaliwulu. Hanya saja di sini warna dindingnya putih. Piring-piringnya pun kebanyakan polos tak ada gambar seperti di Masjid Panjunan.
Ruang utama masjid dengan Pendhapa, dipisahkan Paduraksa. Tempat di mana saya dan Indra berdiri itu dahulu merupakan teras masjidnya. Saya dan Indra menyentuh dindingnya, meraba piringnya. Ah begini kali nih rasanya ada di lorong waktu :)
Kami juga mengintip-intip ke ruang utama dari celah pintu. Ah ingin masuk ke dalamnya tapi mana bisa. Pintu kayunya dikunci dan juga tidak dapat izin dari pengurus masjid.
Ya sudah mengintip juga sudah cukup.
Memendarkan pandangan ke sekeliling ruang Pendhapa, saya melihat ada empat tiang sakarawa. Satu dari empat tiang tersebut dibungkus kain putih. Tiga tiang bersih tanpa ukiran. Bagian bawah tiang disangga umpak batu. Tiang terbungkus kain putih adalah tiang yang umurnya sudah tuaaaaa sekali.
Entah apa alasannya kenapa dibungkus kain putih. Mungkin dikeramatkan. Bisa jadi juga untuk melindungi tiang kuno tersebut dari kerusakan. Tapi saya lebih yakin alasan keramat itu sih.
Entah apa alasannya kenapa dibungkus kain putih. Mungkin dikeramatkan. Bisa jadi juga untuk melindungi tiang kuno tersebut dari kerusakan. Tapi saya lebih yakin alasan keramat itu sih.
Pada bagian pendhapa terdapat dua pintu antik nan mungil beratap rendah di sisi utara dan selatan. Pintunya tertutup karena sudah ada pintu pengganti yang normalnya kita lihat sekarang lah bentuknya. Di sisi pintu-pintu kuno itu lah terdapat sumur untuk berwudhu.
Nah di Pendhapa ini lah muncul perasaan takut yang merayap ke punggung dan leher saya. Ditambah pula saya mengintip-intip ruang utama dari celah pintu. Ugh senyapnya luar biasa. Minim cahaya, temaram menambah kesan angkernya.
Indra menyempatkan sholat dhuha. Saya enggak. Hanya duduk memandang keindahan dinding dan paduraksa sambil kipas-kipas muka. Juga sambil mengenang tempo dulu suasananya bagaimana. Usai sholat dan merasa cukup melihat Pendhapa, kami keluar dan saya dengan santainya masuk ke ruang sumur.
Sebenarnya ruang sumurnya terbuka sih, sumurnya ditutup dinding warna merah setinggi 165 m tanpa atap dan pas masuk gak langsung ketemu sumurnya, sedikit berkelok lah baru ketemu sumurnya. Dan di sini lah hawa horor itu menjadi-jadi, terasa begitu kuat.
Perasaan aneh yang 'gelap' dan horor ini terbawa hingga ke rumah, bahkan saat saya di Bandung pun rasa merindingnya masih melekat, seperti ada beban menempel di pundak.
Beberapa kali mengunjungi situs kuno, tapi gak semua dari tempat itu meninggalkan hawa yang angker meski tempatnya emang menyeramkan. Masjid Kaliwulu ini beda banget auranya, perasaan yang sama pernah saya alami di situs Gunung Padang Ciwidey. Perasaan angkernya terbawa hingga ke rumah berhari-hari lamanya.
Kalo diperhatiin dari fotonya sih kayak yang biasa aja ya gak ada yang bikin merinding. Mesti ke sana langsung deh. Hawa mah tak terlihat. Enaknya dirasakan sendiri.
Gak apa-apa sih, namanya juga tempat keramat dan kuno. Terlepas dari aura tak sedap yang bikin gelisah, Masjid Kaliwulu ini sungguh masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya masih terjaga dan saya menyukainya.
Dan juga nama masjidnya mirip nama saya, ulu = wulu. Ehehehe maksa :D
Bila datang ke Cirebon, ayo datangi situs-situs kunonya. Pengalaman wisata yang sungguh berbeda bila dibandingkan dengan berbelanja benda-benda atau swafoto belaka. Yang ini namanya belanja pengalaman, gak bisa dibeli dengan uang.
Teks : Ulu
Foto : Indra Yudha, Nurul Ulu
Nah di Pendhapa ini lah muncul perasaan takut yang merayap ke punggung dan leher saya. Ditambah pula saya mengintip-intip ruang utama dari celah pintu. Ugh senyapnya luar biasa. Minim cahaya, temaram menambah kesan angkernya.
Indra menyempatkan sholat dhuha. Saya enggak. Hanya duduk memandang keindahan dinding dan paduraksa sambil kipas-kipas muka. Juga sambil mengenang tempo dulu suasananya bagaimana. Usai sholat dan merasa cukup melihat Pendhapa, kami keluar dan saya dengan santainya masuk ke ruang sumur.
Sebenarnya ruang sumurnya terbuka sih, sumurnya ditutup dinding warna merah setinggi 165 m tanpa atap dan pas masuk gak langsung ketemu sumurnya, sedikit berkelok lah baru ketemu sumurnya. Dan di sini lah hawa horor itu menjadi-jadi, terasa begitu kuat.
Perasaan aneh yang 'gelap' dan horor ini terbawa hingga ke rumah, bahkan saat saya di Bandung pun rasa merindingnya masih melekat, seperti ada beban menempel di pundak.
Beberapa kali mengunjungi situs kuno, tapi gak semua dari tempat itu meninggalkan hawa yang angker meski tempatnya emang menyeramkan. Masjid Kaliwulu ini beda banget auranya, perasaan yang sama pernah saya alami di situs Gunung Padang Ciwidey. Perasaan angkernya terbawa hingga ke rumah berhari-hari lamanya.
Kalo diperhatiin dari fotonya sih kayak yang biasa aja ya gak ada yang bikin merinding. Mesti ke sana langsung deh. Hawa mah tak terlihat. Enaknya dirasakan sendiri.
Gak apa-apa sih, namanya juga tempat keramat dan kuno. Terlepas dari aura tak sedap yang bikin gelisah, Masjid Kaliwulu ini sungguh masjid yang indah. Walau sudah ditambah ruang-ruang baru, tapi keasliannya masih terjaga dan saya menyukainya.
Dan juga nama masjidnya mirip nama saya, ulu = wulu. Ehehehe maksa :D
Bila datang ke Cirebon, ayo datangi situs-situs kunonya. Pengalaman wisata yang sungguh berbeda bila dibandingkan dengan berbelanja benda-benda atau swafoto belaka. Yang ini namanya belanja pengalaman, gak bisa dibeli dengan uang.
Bila Ingin ke Masjid Kaliwulu
1. Masjid Kaliwulu, paling mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Namun bila menggunakan transportasi umum pun tak masalah. Buka aplikasi Googlemap untuk penunjuk jalan.
2. Selain
ojek, pilihan menumpang becak bisa jadi keasyikan tersendiri. Dari pusat kota
Cirebon ke Plered menaiki angkot. Berhenti di Plered, tinggal dipilih ojek atau
becak yang ingin ditumpangi. Sekarang di Cirebon ada Gojek dan Grab sih. Tapi kayaknya bakal repot pas pesen mereka dari Kaliwulunya.
3. Belajar
menggunakan bahasa lokal. Tak usah banyak kosakata, cukuplah kata ‘terima
kasih’ dalam bahasa cirebonan.
4. Setiap
masjid ada kuncennya. Pastikan meminta izin dahulu sebelum memotret, apalagi
bila menggunakan kamera DSLR.
5. Berhubung
tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat ibadah sekaligus tempat yang
dikeramatkan, pakaian yang kita kenakan harus sopan dan berperilaku lah santun.
Teks : Ulu
Foto : Indra Yudha, Nurul Ulu
suka dengan dinding masjidnya, unik dengan dekorasi piringnya..
ReplyDeletenoted, ijin dulu. aku kesini pas SMP, wah udah lamaa banget
ReplyDeletewaktu itu ikut wisata Reliji ke Cirebon. Waduh, Mamang Penjaga Kotak Amal mani di mana-mana. Kalau gak ngasih dimaki-maki
ReplyDeletehahaha :D iya saya ngalamin juga
DeleteSinar yg masuk ke dalam mesjid membuat suasana lebih sakral
ReplyDeleteuhm.. baca ceritanya sambil lihat fotonya kesan seremnya kerasa.. :D :D saya gak tahu deh kalau diajak ke sini mau sih, tapi rada takut dikit.. wkwkkw
ReplyDeleteBtw, apa makna piring yang ditanam itu sih Lu? Untuk hiasan saja atau bagaimana?
ah iya saya juga belum tau euy. untuk dekorasi aja kelihatannya mah, terus ditiru sama banyak orang.
DeletePas ditanya mau kliwonan mbak. Langsung bergidik da sayah mah
ReplyDeletejadi inget kampung bapakku di demak. Ini masjid jawa banget ya mak terlihat dari arsitekturnya. semoga ada kesempatan bisa explore indonesia dan jalan - jalan kayak gini. amin
ReplyDeleteSama, Lu, kl berkunjung ke situs2 peninggalan gitu aku jg paling suka ngahuleng bayangin gimana keadaan di sana dulu.... apa yg mereka kerjain sehari2 (moal internetan haha), ngobrolinnya apa, trus kebayang senda guraunya yg sederhana. Ah! *naon seh. Btw eta merinding teh jadinya ketemplokan ga, hehehe
ReplyDeletekaya kraton gitu ya tempatnya, gerbangnya juga kayak pura, menarik ya, bagus buat pengenalan ke anakku nanti :)
ReplyDeleteMaksud piring-piring yang ditempelin itu apa, ya. Simbol naon kita, maksudna. Unik pisan. jadi inget pernah makan di warung kopi daerah kemuning, corak keramiknya mirip2 gitu.
ReplyDeleteGak kayak masjid ya bangunannya. Aduh, baca ini pas malem Jumat. Agak takut aku lihatnya. Ah, dasar borangan! :D
ReplyDeleteAku baru tau kalau ada masjid yg dindingnya ditempelim piring. Noted banget masjjd kaliwulu, siapa tau ntar main ke cirebon.
ReplyDeleteTerakhir kali merasa angker buatku itu pas ke galeri lukisan di keraton Jogja, lihat mata di lukisan gerak lirik kanan kiri. Apalagi kata kuncennya mereka seneng dikunjungi. Huaaaa bukan seneng, tapi merinding.
ReplyDeleteWah keramatnya di Kaliwulu sampe urusan izin motret juga Ya, Lu. Well noted. Aku ga percaya klenik tapi ya kalau gini ga berani juga sih buat nekat.
Nggak nyangka mba, umurnya sudah 200 tahun. Salut masih megah
ReplyDeleteFoto pertama malah keliaan agak mistisnya teh, temaram dan rasanya something is watching us
ReplyDeleteTertarik dateng ke situs sejarah dan museum-museum. Bisa jadi referensi nih
ReplyDeleteTeh, mesjid ini yang makam sunan gunung jati bukan ya? Mirip masjidnya, disana juga banyak keramik-keramik peninggalan yang ditaro didinding gt. *jangan-jangan emang ini*. Kmaren ke cirebon, ngelakuin ritual mandi 7 sumur nggak teh? Hehehehe Dulu pas kecil saya suka diajak alm. Nenek mandi 7 sumur, malem2 lah lewat perkampungan gt. :D
ReplyDeleteBukan. Itu mah namanya Masjid Gunung Jati atau Masjid Sang Saka Ratu. Kan ini mah Masjid Kaliwulu, My. Sejarahnya udah saya tulis & bisa dibaca di dalam tulisannya :D
Deleteaku sampe bayangin lagi ikut jalan2, nyentuh dindingnya juga, cantik banget ya! Mungkin krn lingkungannya deket makam, jadi ada semacam keramat2 gitu ya. Setauku, makam2 ulama emang bbrp tiang2nya macem ada kain putih gitu mbak :) Yg aku pernah,di makam Luar Batang sama makam Mbah Priok :)
ReplyDeleteiya betul, mba prita. bisa jadi karena keramat ya.
DeleteHiasan di dindingnya bagus banget ya mbak, tak ada kesan angker di tempat ini.
ReplyDeleteJadi pengen ke Cirebon lagi..pengen langsung liat jadinya hehe..
ReplyDeleteDulu pernah diajak uwa di cirebon masuk ke mesjid yg dindingnya ky gini... Masjid ini bukan ya...
ReplyDelete