Masih ingat jargon 'revolusi mental'? Jargon itu masih kepake terus sampai sekarang. Gak cuma di bidang pekerjaan birokrasi dan instansi pemerintah, revolusi mental juga sekarang kepake di dunia media sosial.
Nyambung di sebelah mananya revolusi mental dengan media sosial? Lah coba berkaca dan bertanya pada diri sendiri, selama ini mental kita menggunakan media sosial kayak gimana sih, gampang kepancing isu yang beritanya kita baca di timeline facebook? bikin status ujaran kebencian? share link-link yang menyajikan berita hoax?
Berkenaan dengan hal tersebut, Bandung Diary diajak menghadiri acara dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (disingkat Kemenko PMK) pada hari senin (24/7/2017). Acaranya non formal sih, ceritanya mah diskusi bersama netizen. Temen-temen bisa cek tagar #AyoBerubah2017 #NetizenBandung.
Dalam acara tersebut hadir juga para relawan TIK (teknologi Informasi dan Komunikasi). Wajar aja sih saya diundang, sehari-hari makanannya facebook, instagram, twitter, belum lagi blog. Saya udah sebut aplikasi chat belum? whatsapp juga kan termasuk teknologi digital sih. Bukan media sosial tapi arus informasi yang masuk di aplikasi chat sama hebohnya dengan media sosial. Hehe.
Sosialiasi jargon revolusi mental di media sosial sebenernya bukan hal baru. Udah banyak yang menganjurkan untuk menggunakan internet dengan baik dan menyebarkan konten positif.
Kalo yang saya tangkap dari paparan pembicara dalam acara tersebut (yang mana pembicaranya adalah Kepala Dinas Kominfo Kota Bandung, ketua relawan TIK, dan koordinator program Kemenko PMK Ngobrol Bareng Netizen), intinya mah tentang beretika di media sosial.
Apa aja emangnya etika dalam media sosial? Kalau yang saya catat nih dari obrolan di acara tersebut:
Sabar
Jangan terburu emosi. Sabar dulu. Endapkan emosinya supaya dapat sudut pandang lebih objektif dan jernih. Kalo gak sabaran nih gampang tersulutnya. Ada kejadian heboh aja langsung share berita di hari yang sama. Emang sih ada juga penyakit FOMO, fear of missing out. Tapi gak semuamua harus fomo lah apalagi kalau ada kejadian menarik isu-isu sensitif kayak suku, ras, dan agama.
Cek ricek berita
"Gampang kok mau cek hoax, tinggal buka akun www.turnbackhoax.id aja," begitu salah satu relawan TIK malam itu berkata. Cuma nih, yang saya perhatiin mah orang percaya pada berita-berita yang sedari awal sudah sesuai dengan keberpihakan orang yang bacanya sih. Ribet ya. Gimana caranya menarik diri agar lebih jernih melihat bahwa tidak semua pihak yang kita bela selalu benar dan tidak semua hal yang kita benci selalu salah? Ini masih jadi pertanyaan untuk saya sih.
Membangun optimisme
Ah ini mah gampang sebenernya. Sering-sering baca situs Good News From Indonesia! Seneng deh baca berita bagus tentang Indonesia di sana. Kita butuh lebih banyak situs kayak gitu. Good news semua isinya dong. Dari berita tentang atlet yang mengharumkan nama negara kita di kancah internasional, sampai profil wirausaha yang tangguh dan sukses besar, juga ada artikel-artikel tentang penemuan sampai dengan wisata. Artikel-artikel yang ada di situs kayak gini mestinya yang banyak dishare. Menumbuhkan harapan soalnya.
Sebagai tambahan informasi, pada tahu gak sih kalau Gerakan Nasional Revolusi Mental ini ada Inpresnya? gila ada regulasinya segala dong!
Coba cek deh Inpres 12 tahun 2016. Dalam Inpres disebutkan kayak gini: Revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk mengubah pola pikir, cara pandang, sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang daulat, mandiri, dan berkepribadian.
Hwuidiihhhh! Cita-cita luhur yang menurut saya jalannya masih panjaaaaaaang sekali. Bukan gak bisa diwujudkan sih, hanya saja revolusi mental tuh buat saya sama kayak mengubah budaya. Bukan budaya dalam arti tradisi-tradisi lokal, tapi budaya sebagai perilaku yang tertanam udah kelamaan gitu.
Tapi bisa kita mulai merevolusi mental dari diri sendiri, keluarga, teman-teman, lingkungan kerja, tempat tinggal, ya pokoknya dari unit terdekat lah. Dimulainya sekarang, ditunga-tunda mah atuh kapan mulainya :D
Sosialiasi tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) ini nih yang jadi kerjaannya Kemenko PMK. Acara yang saya hadiri termasuk dalam rangkaian panjang acara mereka. Ngobrol bareng netizen ini cuma salah satunya aja. Kementrian juga mengundang anak-anak sekolahan dalam rangka sosialisasi GNRM. Bukan cuna di Bandung kok, tapi juga udah kayak roadshow datangin banyak kota-kota di Indonesia.
Supaya sosialisasi makin santer gaungnya, Kemenko PMK mengadakan kompetisi games, aplikasi, foto dan video.Cek deh di Instagram @kemenko_pmk.
Kunjungi juga website www.revolusimental.go.id.
Teks : Ulu
Grafis : Kemenko PMK
Coba cek deh Inpres 12 tahun 2016. Dalam Inpres disebutkan kayak gini: Revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk mengubah pola pikir, cara pandang, sikap-sikap, nilai-nilai, dan perilaku bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang daulat, mandiri, dan berkepribadian.
Hwuidiihhhh! Cita-cita luhur yang menurut saya jalannya masih panjaaaaaaang sekali. Bukan gak bisa diwujudkan sih, hanya saja revolusi mental tuh buat saya sama kayak mengubah budaya. Bukan budaya dalam arti tradisi-tradisi lokal, tapi budaya sebagai perilaku yang tertanam udah kelamaan gitu.
Tapi bisa kita mulai merevolusi mental dari diri sendiri, keluarga, teman-teman, lingkungan kerja, tempat tinggal, ya pokoknya dari unit terdekat lah. Dimulainya sekarang, ditunga-tunda mah atuh kapan mulainya :D
Sosialiasi tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) ini nih yang jadi kerjaannya Kemenko PMK. Acara yang saya hadiri termasuk dalam rangkaian panjang acara mereka. Ngobrol bareng netizen ini cuma salah satunya aja. Kementrian juga mengundang anak-anak sekolahan dalam rangka sosialisasi GNRM. Bukan cuna di Bandung kok, tapi juga udah kayak roadshow datangin banyak kota-kota di Indonesia.
Supaya sosialisasi makin santer gaungnya, Kemenko PMK mengadakan kompetisi games, aplikasi, foto dan video.Cek deh di Instagram @kemenko_pmk.
Kunjungi juga website www.revolusimental.go.id.
Teks : Ulu
Grafis : Kemenko PMK