Pada
sebuah rumah tua di Jalan Hata yang senyap, yang entah berapa tahun umur rumahnya. Jendelanya
besar-besar. Lantainya seperti marble berwarna hitam putih keabu-abuan. Kursi
dan meja yang jompo, membisu di sudut-sudut ruang. Kalau bisa bicara, mereka
punya segudang cerita yang datangnya sejak zaman kolonial.
Cerita
tentang tiga pemuda asal Italia, yang menambatkan hatinya di Hindia Belanda.
Tiga Ursone bersaudara datang ke Bandung. Gemar bermain musik, mereka kerap
menerima panggilan di hotel-hotel dan restoran tempat orang-orang Belanda
berpesta. Tiga Ursone kerasan tinggal di tanah priangan.
Lantas
mereka berpikir untuk menetap di Bandung lebih serius. Bermain musik adalah
hobi, Ursone butuh pendapatan yang kekal untuk menyambung nyawa di tanah Jawa.
Selanjutnya
yang terjadi, mereka membeli sapi. Memilih Lembang sebagai tempat peternakan,
beternak sapi perah adalah bisnis yang mereka tekuni. Bisnis melejit, pesaing
sedikit.
Tiga
Ursone jadi juragan. Membeli tanah, membeli rumah. Berpesta pora sekaligus
berderma.
Dua
Ursone tidak menikah hingga akhir hayat. Satu Ursone jatuh cinta pada wanita
lokal dari sebuah kampung di belakang Jalan Braga, Nyi Oekri namanya. Tak punya
anak, mereka mengadopsi anak perempuan.
Sebuah
pabrik cokelat didirikan Ursone. Mafalda nama pabriknya. Iya, serupa nama anak
perempuannya.
Ursone
wafat, makamnya yang indah seperti istana ada di Taman Pemakaman Pandu.
Perkenalan
saya dengan sejarah Ursone hanya selintas saja. Pengetahuan saya terhadap mereka
hanya sepotong-sepotong. Tenggelam di antara ketenaran juragan teh di Malabar,
yakni Bosscha. Buku yang saya baca hanya itu-itu saja nampaknya :D
Sampai
saya mengikuti acara bertajuk Jelajah Cipaganti buatan komunitas Heritage Lover
dan Lembang Heritage. Bersama mereka, saya dan teman-teman lainnya diajak
bertemu muka dengan keluarga yang istimewa. Keluarga Ursone. Tepatnya keluarga
Pietro Antonio Ursone.
Sampai
di mana tadi saya cerita tentang Ursone? Oh, Mafalda ya.
Mafalda
menikah. Mafalda punya anak. Anaknya Mafalda menikah dan punya anak juga.
Nah,
dengan anak dari anaknya Mafalda ini kami berbincang. Ronnie Nouma namanya,
cicit Ursone. Melihat paras wajahnya Om Ronnie, ada gurat garis yang tak biasa.
Bukan lazimnya wajah orang Indonesia. Perawakannya tinggi, di atas 1,75 m.
Aom
Ronnie tak banyak bercerita. Beliau senangnya bercanda gurau. Sang Menantu , Muhammad Taufik, yang
berdiri di samping Ursone menggantikan beliau bicara, mewakili kisah Ursone.
“Dulu
rumah kami di sini ada 11, semua susu yang datang dari Lembang ditampung dulu
di sini di Jalan Hata.”
Edan
11 rumaaaaahhhhhh? Jerit saya dalam hati hahahahahaha.
“Sekarang
rumahnya tinggal 1 yang ini,” maksudnya rumah yang kami masuki.
“Bapak
trauma. Pernah ngurusin tanah Ursone di Dago, gak taunya malah beliau yang
dipenjara. Abis itu bapak gak mau ngurus tanah ursone lagi,” ungkap menantunya
Aom Ronnie.
Kang Taufik menggiring
kami ke sebuah kamar. Di sana ia membuka koper. Foto-foto lama berhamburan dari
dalam kopernya, kebanyakan hitam putih warnanya.
Saya
melihat sebuah foto hitam putih. Tiga orang duduk dalam foto tersebut: P. A
Ursone, Nyi Oekri, dan Mafalda. Duduk di kursi (sepertinya) tamu. Foto diambil
di ruangan tempat saya berdiri. Saya pegang fotonya dan membayangkan pindah ke
masa itu.
Diceritakan
oleh anak (menantu) Om Ronnie tentang kehidupan mereka kini. Apa yang mereka
alami, ketidakadilan macam apa yang harus mereka hadapi sejak pemerintah
menasionalisasikan semua asetnya. Perusahaan
yang Ursone dirikan menjadi satu dari banyak perusahaan milik orang
nonindonesia yang dinasionalisasikan. Asetnya diambil pemerintah. Puncak
kejayaan memang selalu ada masanya ya, yang keluarga Ursone alami memang pahit
sekali.
Ironisnya, Ursone menikah dengan orang Indonesia. Perusahaan, rumah, dan tanahnya banyak yang diatasnamakan Nyi Oerki, saking sayangnya sama sang Istri. Tapi tetep aja ya walau atas nama orang Indonesia, tetap aja dinasionalisasikan.
Menurut
saya mah Ursone adalah orang-orang yang jadi korban sistem. Saat Pemerintah
Kolonial menduduki Hindia Belanda, orang-orang kayak Ursone (menurut saya)
mempunyai kemudahan untuk memiliki usaha. Minimal izin usaha dan urusan jual
beli tanah. Begitu
Indonesia merdeka, mereka jadi korban amukan. Dianggap sebagai bagian dari
kolonialisme, asetnya diambil 'paksa', pabrik cokelatnya dibakar.
Serba
salah ya.
Saya
gak tahu kalau ada di posisi mereka mesti gimana. Keturunan pertamanya yang
tinggal di Indonesia mengalami masa kejayaan, namun setiap hujan pun ada
redanya. Keturunan berikutnya harus mengurai benang kusut akibat sistem yang
berganti-ganti dan berantakan.
Beranjak
pulang dari rumah tua di Jalan Hata, saya termasuk yang paling akhir keluar.
Dari jalan saya memandangi lagi rumahnya. Di dalam Jalan Hata, tak sangka ada
legenda.
Panjang
sejarah keluarga Ursone, saya melongok keluarga saya sendiri, apa kabar
sejarahnya? Siapa leluhur saya? Apa pekerjaannya? Di mana tinggalnya? Dari mana
asalnya?
Terkadang
saya iri pada mereka yang punya kesempatan untuk mencatat silsilah keluarga dan
mampu cerita riwayat keluarga. Apalagi melengkapi sejarah dengan koleksi
foto-foto. Akan tetapi saya dan keluarga memang rakyat biasa, kaya raya banget
enggak, miskin juga saya gak tahu. Nasib rakyat biasa pada dahulu memang berada
pada level yang kira-kira begini: kerja-aja-yang-penting-bisa-makan-tidak-
kelaparan.
Yha.
Mungkin sih.
Saya juga jadi berpikir yang sama, seandainya sejarah keluarga saya bisa dicatatkan mungkin punya cerita sendiri yang bisa diceritakan untuk anak cucu :D
ReplyDeleteIya, saya sendiri penasaran cerita leluhur saya kayak gimana. Penasaran banget.
DeleteKalimat terkhir setuju banget, gda bukti sejarah apa apa
ReplyDeleterakyat jelata :D
DeleteSeperti apapun, ada baiknya slogan 'jas merah' tetap dipakai. Jangan melupakan sejarah. Pengalaman para pendahulu pasti bisa diambil hikmahnya.
ReplyDeleteNgomong-ngomong, foto-foto itu tidak diletakkan di album khusus? Sayang sekali dong. Seharusnya dirawat tuh biar awet :)
Koleksinya banyak sekali, nampaknya mah begitu. Jadi ya overload foto-fotonya. Tapi emang lebih rapi kalo ditaro di album foto ya.
DeleteSaya juga gak tau persis sejarah keluarga Lu. Paling mentok sampai cerita kakek aja yang dulu bekerja cari makan sebagai penjual peci hitam di pasar. Yang kalau punya rezeki uang buat beli telur. 1 telur di masak, hasilnya dipotong-potong buat dimakan 5 anaknya. Bayangin 1 telur dadar buat 5 anak.
ReplyDeleteBener, andai setiap keluarga mencatat sejarahnya silsilahnya bakalan menarik ya.
Seneng banget sama bangunan tua macam ini. Adem.
Kesadaran akan family tree memang belum jadi kebiasaan yang jamak untik orang Indonesia pada umumnya. Masih inget siapa kakek-neneknya aja udah bagus hehehe. Mungkin ini ada kaitannya dengan kebiasaan dokumentasi bangsa kita yang masih minim ya?
ReplyDeleteYah kalo sistem sih sampe sekarang juga masih brantakan haha. Untung saya ada darah ningrat jawa dan masih tercatat sehingga tidak ikut kena nasionalisasi. Tapi tetap kisruh karna orang jaman dulu anaknya bisa 7-8 orang
ReplyDelete