Social Media

Image Slider

Blogging Story: Saat Harus Menginap dan Meresensi Sebuah Hotel dan Saya Sakit

24 May 2017
Ada banyak cerita dari dunia blogging saya bersama blog yang saya tumbuhkan: Bandung Diary. Kalau orang perhatiin ngeblog itu asyik-asyik saja, wah tunggu cerita saya yang satu ini. Hahaha. Pedih sekaligus seruuuuu!

Suatu kali di awal tahun 2016, seorang markom hotel bintang empat di Bandung menghubungi saya. Ia meminta saya menginap di hotel tempatnya bekerja. Bukan saja menginap, saya dimintanya meresensi dalam blog di hari yang sama dengan saya menginap.


Cek tanggal, ah mudah saja. Saya sanggupi permintaannya. 

Pendek cerita saya tinggal berangkat. Hotelnya di Bandung juga kok jadi gak jauh-jauh amat dari rumah. Tinggal berangkat, eh pagi harinya suami saya sakit. Alamak. Dia kan fotografer untuk blog saya. Kalau dia sakit, gak bisa ikut, siapa yang motoin? 

Saya lah siapa lagi huhuhuhu. Sebelum berangkat saya dibriefing singkat dulu cara motret. Setelan kamera (DSLR) udah suami saya siapin jadi saya tinggal jepret! jepret! 

Segan membatalkan acara, saya meninggalkan suami saya yang sakit dan anak di rumah. Hati ini gak enak banget harus pergi dengan kondisi suami kayak gitu. Ya gimana lagi huhuhu. 

Sesampainya di hotel saya langsung diajak makan siang. Nyammmnyammmmm enak. Untuk sesaat lupa dengan yang ada di rumah :D 

Check in ke kamar di lantai 15, saya buka pintu kamar dan whuaaaaa bagus sekali kamarnya. Bukan cuma luasnya yang lebih dari cukup untuk bernapas (hahaha lebay :D) tapi juga jendelanya yang segede satu dindingnya. Waks!


Bandung sedang agak mendung. Berada di kamar sebesar itu sendirian, saya teringat dengan mereka yang ada di rumah dan seharusnya ada bersama saya. Sedih... huhuhu. 

Tapi waktunya bekerja di depan mata. Saya segera ambil kamera dan mulai memotret. 

Waktu yang kosong sebelum jadwal wawancara dengan manajer hotelnya, saya menemani seorang teman berjalan hingga ke Jalan Braga. Hotel saya menginap ada di Jalan Merdeka. Jarak bolak-balik Jalan Merdeka - Jalan Braga kira-kira 1,5 km. 

Abis jalan-jalan, saya kembali ke kamar dan....kepala pusing dan perut mual! Alamak dua kali! Ada apa ini. Dalam hati berdebar-debar mengucap doa: jangan sakit...jangan sakit...

Terus saya sakit. Hahahaha.

Minum air putih yang banyak, saya paksakan mengikuti jadwal acara sampai pukul 11 malam. Dari wawancara hingga makan malam bersama yang acaranya heboh banget alias pesta till you drop, saya masih memotret. Badan gak jelas rasanya, berulang kali saya mengucapkan kalimat ini pada diri sendiri: ngapain saya teh ada di sini, pengen tidur! pengen pulang! 

Tapi...ah yasudahlah...


Malamnya tak bisa tidur. Demam tinggi, saya terus-menerus menghajar demam dengan minum air putih. Ada kali tuh buang air kecil lebih dari 10x. Sampai subuh menjelang, demam mereda. Saya tidur seperti kerbau kekenyangan. 

Keesokan harinya saya bangun dengan kondisi badan lelah. Makan pagi saja berjalan dengan langkah gontai seperti dua kaki terantai di ranjang. Tapi gak tega rasanya memperlihatkan raut wajah orang sakit di hadapan mba-mba markom baik hati itu. Adrenaline rush memang ajaib, saat harus berhadapan dengan klien mah saya berasa sehat hihihi. 

Dari sarapan hingga makan siang, saya masih memotret. Baru setelah jam 12 siang saya pulang usai mengetik resensi hotel dan mengunggahnya ke blog. Ah walau sakit kepala saya sudah reda, tapi harus mengetik dan edit foto sekaligus itu kayak mules sakit perut berulang-ulang tapi air keran di kamar mandi mati. Eugh hahaha.

Sebelum pulang, mbak markom memberi saya kompensasi resensi dengan sejumah rupiah. 

Drama banget. Senangnya karena berakhir dengan bayaran yang menyenangkan. Ditambah beberapa hari sesudahnya mba markom mengirim saya pesan di aplikasi chat. Bosnya menyukai hasil foto saya. Wah nikmat mana lagi yang harus saya syukuri: sedang sakit, pekerjaan diapresasi, dibayar sepadan. Uhuhuhuhu saya terharu.

Saya gak mau ini terulang lagi. Mesti sakit saat harus bekerja, meninggalkan orang kesayangan di rumah dalam kondisi sakit juga.

Tapi dipikir-pikir sih, gak rame kali kalau pekerjaan kita semulus jalan tol di Jerman. Kalau ada cerita kayak gini kan jadi seru ya ingatnya. Lebih berkesan. Waktu mengalami sendiri sih rasanya tertekan. Begitu badai sudah berlalu, rasanya bangga pada diri sendiri dan supporting system saya.

Sebagai bonus saya juga berasa kayak dikasih pelajaran oleh Tuhan, tentang tidak menilai-nilai yang kelihatan enaknya saja. Blogging adalah dunia yang mengasyikkan selama empat tahun belakangan ini. Tapi setiap hal yang enak-enak, ada kompensasinya. Hal yang terlihat mudah pun ada perjuangannya. 

Ada yang punya cerita seru juga seputar dunia bloggingnya? Cerita terbaiknya apa aja ayo diceritain dan diikutsertakan dalam lomba Best Blogger Moments dari Warung Blogger!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke-6 tahun Warung Blogger. 


Cerita Dari Sebuah Rumah Tua di Jalan Hata

14 May 2017
Pada sebuah rumah tua di Jalan Hata yang senyap, yang entah berapa tahun umur rumahnya. Jendelanya besar-besar. Lantainya seperti marble berwarna hitam putih keabu-abuan. Kursi dan meja yang jompo, membisu di sudut-sudut ruang. Kalau bisa bicara, mereka punya segudang cerita yang datangnya sejak zaman kolonial.
 
 
 

Cerita tentang tiga pemuda asal Italia, yang menambatkan hatinya di Hindia Belanda. Tiga Ursone bersaudara datang ke Bandung. Gemar bermain musik, mereka kerap menerima panggilan di hotel-hotel dan restoran tempat orang-orang Belanda berpesta. Tiga Ursone kerasan tinggal di tanah priangan.

Lantas mereka berpikir untuk menetap di Bandung lebih serius. Bermain musik adalah hobi, Ursone butuh pendapatan yang kekal untuk menyambung nyawa di tanah Jawa.

Selanjutnya yang terjadi, mereka membeli sapi. Memilih Lembang sebagai tempat peternakan, beternak sapi perah adalah bisnis yang mereka tekuni. Bisnis melejit, pesaing sedikit.

Tiga Ursone jadi juragan. Membeli tanah, membeli rumah. Berpesta pora sekaligus berderma.

Dua Ursone tidak menikah hingga akhir hayat. Satu Ursone jatuh cinta pada wanita lokal dari sebuah kampung di belakang Jalan Braga, Nyi Oekri namanya. Tak punya anak, mereka mengadopsi anak perempuan.

Sebuah pabrik cokelat didirikan Ursone. Mafalda nama pabriknya. Iya, serupa nama anak perempuannya.  

Ursone wafat, makamnya yang indah seperti istana ada di Taman Pemakaman Pandu.

Perkenalan saya dengan sejarah Ursone hanya selintas saja. Pengetahuan saya terhadap mereka hanya sepotong-sepotong. Tenggelam di antara ketenaran juragan teh di Malabar, yakni Bosscha. Buku yang saya baca hanya itu-itu saja nampaknya :D

Sampai saya mengikuti acara bertajuk Jelajah Cipaganti buatan komunitas Heritage Lover dan Lembang Heritage. Bersama mereka, saya dan teman-teman lainnya diajak bertemu muka dengan keluarga yang istimewa. Keluarga Ursone. Tepatnya keluarga Pietro Antonio Ursone.

Sampai di mana tadi saya cerita tentang Ursone? Oh, Mafalda ya.

Mafalda menikah. Mafalda punya anak. Anaknya Mafalda menikah dan punya anak juga.

Nah, dengan anak dari anaknya Mafalda ini kami berbincang. Ronnie Nouma namanya, cicit Ursone. Melihat paras wajahnya Om Ronnie, ada gurat garis yang tak biasa. Bukan lazimnya wajah orang Indonesia. Perawakannya tinggi, di atas 1,75 m.

Aom Ronnie tak banyak bercerita. Beliau senangnya bercanda gurau. Sang Menantu , Muhammad Taufik, yang berdiri di samping Ursone menggantikan beliau bicara, mewakili kisah Ursone.

“Dulu rumah kami di sini ada 11, semua susu yang datang dari Lembang ditampung dulu di sini di Jalan Hata.”

Edan 11 rumaaaaahhhhhh? Jerit saya dalam hati hahahahahaha.

“Sekarang rumahnya tinggal 1 yang ini,” maksudnya rumah yang kami masuki.

“Bapak trauma. Pernah ngurusin tanah Ursone di Dago, gak taunya malah beliau yang dipenjara. Abis itu bapak gak mau ngurus tanah ursone lagi,” ungkap menantunya Aom Ronnie.  


Kang Taufik menggiring kami ke sebuah kamar. Di sana ia membuka koper. Foto-foto lama berhamburan dari dalam kopernya, kebanyakan hitam putih warnanya.

Saya melihat sebuah foto hitam putih. Tiga orang duduk dalam foto tersebut: P. A Ursone, Nyi Oekri, dan Mafalda. Duduk di kursi (sepertinya) tamu. Foto diambil di ruangan tempat saya berdiri. Saya pegang fotonya dan membayangkan pindah ke masa itu.

Diceritakan oleh anak (menantu) Om Ronnie tentang kehidupan mereka kini. Apa yang mereka alami, ketidakadilan macam apa yang harus mereka hadapi sejak pemerintah menasionalisasikan semua asetnya. Perusahaan yang Ursone dirikan menjadi satu dari banyak perusahaan milik orang nonindonesia yang dinasionalisasikan. Asetnya diambil pemerintah. Puncak kejayaan memang selalu ada masanya ya, yang keluarga Ursone alami memang pahit sekali.

Ironisnya, Ursone menikah dengan orang Indonesia. Perusahaan, rumah, dan tanahnya banyak yang diatasnamakan Nyi Oerki, saking sayangnya sama sang Istri. Tapi tetep aja ya walau atas nama orang Indonesia, tetap aja dinasionalisasikan. 

Menurut saya mah Ursone adalah orang-orang yang jadi korban sistem. Saat Pemerintah Kolonial menduduki Hindia Belanda, orang-orang kayak Ursone (menurut saya) mempunyai kemudahan untuk memiliki usaha. Minimal izin usaha dan urusan jual beli tanah. Begitu Indonesia merdeka, mereka jadi korban amukan. Dianggap sebagai bagian dari kolonialisme, asetnya diambil 'paksa', pabrik  cokelatnya dibakar.

Serba salah ya.

Saya gak tahu kalau ada di posisi mereka mesti gimana. Keturunan pertamanya yang tinggal di Indonesia mengalami masa kejayaan, namun setiap hujan pun ada redanya. Keturunan berikutnya harus mengurai benang kusut akibat sistem yang berganti-ganti dan berantakan. 

Beranjak pulang dari rumah tua di Jalan Hata, saya termasuk yang paling akhir keluar. Dari jalan saya memandangi lagi rumahnya. Di dalam Jalan Hata, tak sangka ada legenda.

Panjang sejarah keluarga Ursone, saya melongok keluarga saya sendiri, apa kabar sejarahnya? Siapa leluhur saya? Apa pekerjaannya? Di mana tinggalnya? Dari mana asalnya?

Terkadang saya iri pada mereka yang punya kesempatan untuk mencatat silsilah keluarga dan mampu cerita riwayat keluarga. Apalagi melengkapi sejarah dengan koleksi foto-foto. Akan tetapi saya dan keluarga memang rakyat biasa, kaya raya banget enggak, miskin juga saya gak tahu. Nasib rakyat biasa pada dahulu memang berada pada level yang kira-kira begini: kerja-aja-yang-penting-bisa-makan-tidak- kelaparan.


Yha. Mungkin sih.









Jelajah Masjid Antik di Bandung: Masjid Cipaganti

12 May 2017
Di tepi jalan yang langganan macetnya itu ada masjid antik. Di Jalan Cipaganti, nama masjidnya Masjid Cipaganti. Gampang ya namanya. Nyantol ke nama daerah, jadi nama masjid adalah identitas masjidnya itu sendiri. 


Turnya diadakan oleh Heritage Lover. Malia pemandunya. Kata Malia, pejabat lokal yang (berinisiatif) membangun Masjid Cipaganti adalah menak sekaligus bupati Bandung bernama Raden Tg Hassan Soemadipraja. Arsitek masjidnya Wolff Schoemaker. Arsitek yang popular di Bandung saat itu, gurunya Soekarno di THS (sekarang ITB).

Jadi apa istimewanya rancangan Wolff Schoemaker di Masjid Cipaganti ini? 


Biasanya rancangan dia ada ukiran bergaya artdeco, di sini kayaknya gak ada. Terus gak mungkin kan dia pasang ornamen Kala seperti ciri khasnya sebab yang dia rancang ini kan tempat ibadah umat islam. 

Satu-satunya yang khas Eropa dari bangunan ini adalah lokasinya yang tusuk sate bila dilihat dari Jalan Sastra (perpotongan Jalan Cihampelas-Jalan Cipaganti).

Orang timur menganggap posisi tusuk sate gak terlalu bagus. Tapi buat orang Eropa justru estetik. Melihat Masjid Cipaganti dari Jalan Sastra terlihat indahnya. Jalan Sastra dan Cipaganti tepi jalannya pepohonan. Bila kamu berdiri di ujung Jalan Sastra - Cihampelas, terlihat pohon-pohon ini membingkai masjid. Tapi itu dulu sih waktu Jalan Sastra belum jadi parkiran motor kayak sekarang...

Coba aja datang pagi-pagi ke Jalan Sastra yang masih sepi dan berdiri di dekat jalan Cihampelas. Lihat ke arah masjid. Framing masjidnya bagus sekali.

FYI, tanah untuk masjid merupakan wakaf dari Bupati Hassan dan sebagian lagi wakaf dari keluarga Ursone. Hah kok bisa Ursone yang katolik itu nyumbangin tanah untuk masjid?

Pertama, karena di belakang masjid ada pabrik cokelat milik Mafalda, anaknya P. A Ursone dan Nyi Oekri.

Kedua, Nyi Oekri istrinya P. A Ursone kan muslim. Ada andil dari beliau agar Ursone mau menyumbangkan tanah untuk pembangunan masjid.

Ketiga, Ursone emang filantropis sih. Mereka juga nyumbangin tanah untuk pembangunan peneropongan bintang Bosscha.

Keempat, tanahnya Ursone ada buanyak sekaleeeee. Nyumbangin tanah untuk masjid cipaganti buat mereka kayak buang garam di laut.

Luas masjid di tahun 1934 hanya 19X15 m. Masih ada tuh ruangannya. 

Masjid Cipaganti terdiri dari satu lantai saja dengan ruang utama di bagian tengah. Bagian utara dan selatan dari ruang tengah ini adalah ruang tambahan yang dibangun tahun 65.

Ruang utama di bagian tengah adalah ruang aslinya. Ruang berumur 83 tahun.

Pintu masuk masjid yang asli ada di bagian tengah. Pintunya mah udah modern sih. Pintu masuk masjidnya pun sekarang dari sisi selatan dan utara. Pintu di bagian tengah ini gak tahu kapan dibukanya. Mungkin pas sholat Id atau sejenisnya ya. 

Pintu masuk dahulu dari bagian depan. Pas masuk masjid, ada dinding setinggi 1,70 meter yang membuat kita harus berbelok dikit agak ke kanan atau ke kiri baru deh masuk ruang utama.

Gaya pintu berlapis kayak gitu mirip-mirip yang saya lihat di pintu masuk keraton dan masjid mataram kuno di Kotagede. Ada pintu di dalam pintu. Kenapa ya, kenapa gak bisa jalan lurus aja masuk terus nyampe gitu. Kenapa harus dibelok-belokin dulu. Itu bagian dari keindahan atau mencerminkan pola pikir kita yang bertele-tele, senang bicara berputar-putar dulu baru nyatain maksudnya?

Dindingnya berpola. Polanya unik dan tercantum tulisan arabnya. Bukan bahasa sunda dalam bahasa arab, tapi emang bahasa arab. Mungkin salah satu penggalan dari ayat suci Alquran atau doa.

Masuk ke masjid ada tiang utama berjumlah empat. Sakaguru tersebut berbentuk segi empat dan memiliki ukiran di bagian atas dan bawah tiang. Ukirannya gak jelas gambar apa, mungkin bunga ya. Bentuknya kayak sulur-sulur gitu sih.

Semua tiang dicat warna abu-abu. Ada ukiran di tiangnya, ukirannya juga di cat warna emas dan hijau.

Saya raba ukirannya, buah craftmanship tempo dulu. Ukiran tiang ada di bagian atas dan bawah.

Saya ajak Indra ikutan jelajah masjid, lumayan dia dan ilmu arsiteknya bisa nerangin walo gak menyeluruh. Menurut Indra, langit-langit masjidnya bisa jadi dipasang tahun 60an. Masjid yang dulu atapnya mengecurut tinggi. Di bagian atas ada bukaan sebagai jalan masuknya cahaya matahari sebagai penerang (karena dulu belum ada listrik dan lampu kayak sekarang) dan sirkulasi udara.

Tempat imam dan mimbarnya juga baru, gak tahu mimbar yang dahulu bagaimana bentuknya. 

Lokasi wudhu tidak diceritakan ada di mana. Dahulu bisa jadi airnya dari sumur sumur yang berada di dekat dinding utara dan selatan masjid.

Bila melihat masjid dari luar, bisa pandangi atapnya yang masih bersirap. Pucuk masjid bukan kubah tapi bentuknya bulan sabit warna kuning. Saya gak tahu apa bentuknya yang dulu begitu.

Di dalam Masjid Cipaganti sekitar 30 menit saja.  Lihat-lihat, foto-foto. Abis itu kami ke Jalan Hata, saya ceritain di tulisan berikutnya ya perihal rumah kuno di Jalan Hata. 

Mampir-mampir ke masjid ini lah kalo lewat Cipaganti. Menyenangkan masjidnya. Berlantai satu saja. Lumayan bersih walo tempat wudhu dan kamar mandi perempuannya kekecilan. Juga menurut saya mah area tersebut masih harus disikat dan dikasi pewangi ameh teu hangseur. 

plakat bangunan
pola dindingnya bagus
bagus ya dekorasinya, unik



plakat bangunan




Teks: Ulu
Foto : Ulu

24 Jam di Garut: Berendam Air Hangat dan Bandung – Garut via Kamojang

09 May 2017
Gak sengaja kami menginap di Garut. Ini kayak rezeki nomplok banget lah! Jalanan yang lengang dari Bandung ke Garut, cuaca yang sendu akibat gerimis dan kabut, dan seporsi sop iga yang lezat. Garut dalam semalam itu meninggalkan kesan yang mendalam.

Dua minggu yang penuh stres di Bandung berguguran sudah! Berkat Garut tentu saja. Kami berendam di air hangat alami, air hangat dari Gunung Guntur. Tidur malam itu rasanya lebih nyenyak dari biasanya.

Kami menginap di danau Dariza Resort. Ditraktir kakaknya Indra nih (makasih banget, Teh :D). Hotel kecil di Cipanas yang gak kecil-kecil amat ketang. Ada kolam renang segala mah atuh tidak kecil kan. Kamarnya berbentuk cottage. Ada bathtubnya jadi bisa berendam sepuasnya buligir tanpa risih hahaha.

Cabut dari hotel setelah makan-berenang-makan, kami pulang ke Bandung via Kamojang. Terus ya pemandangannya dari Samarang sampai Kamojang itu CANTIK SEKALIIIIII!

Pengen saya sih parkir buat nonton pemandangan, tapi gak ada ruang buat mobil menepi. Keren pisan lah Kamojang, bisa lihat Garut dan Bandung sekaligus dari situ.

Wangi hutannya juga amboi sejuknya. Di Kamojang kami berhenti sebentar dan jajan mie rebus di warung-warung nonpermanen. Pemandangan yang terlihat hutan aja kalo dari tempat kami makan. 
 
Makan mie rebus sambil lihat hutan di seberangnya, waduh senangnya hati ini rasanya tentram.

Terus kami lewatin situsnya Indonesia Power. Banyak pipa-pipa gede, pabrik geothermal, dan perkantoran Indonesia Power. Lalu kami ngelewatin Jembatan Kuning yang epik banget karena pemandangan dari jembatan ini ke arah Bandung luar biasa megah. Jembatan ini jalur baru menggantikan tanjakan curam terjal bernama Tanjakan Monteng.

So yeah di Garut itu ya kami makan enak, tidur enak, berkendaraan enak, semua-muanya enak. Namanya juga liburan heuheu.

Garut is definetely an awesome short getaway from Bandung! Fotonya dikit ajah, diambil dengan kamera smartphone. 













Menginap di The Green Forest Resort Ternyata Rasanya…

08 May 2017
Menyenangkan tapi ya biasa-biasa aja. Saya book kamar termurahnya, Superior.  Jujur aja berasa kamar kos. Aheuheuheuheu. Ya kamar kos mewah lah. 

Berhubung saya dan Indra pengen ngerasain suasana pegunungan (padahal kami udah tinggal di gunung) yang rada sunyi gituh, kami pilih The Green Forest Resort. 

Check in cepat, deposit 200K, kamar Superior sekitar 400ribuan sudah termasuk sarapan.


Terus kami masuk kamar dan…


ROOM 

Kamar saya bukan di highfloor. Kalau gedung bertingkat mah kamar saya teh di lantai 2 lah :D

Jadi di sini kan tipe kamarnya keblok-blok gitu. Satu bangunan khusus superior, satu bangunan khusus deluxe, terus ada yang executive dan cottage gitu. Dalam bayangan saya menginap di Geen Forest itu ya kayak kamar-kamar yang tipe Cottagenya. Hahaha harusnya saya book yang tipe Cottage.

So, dari teras yang kira-kira 2 meter panjangnya itu langsung pintu kamar. Kamarnya gak ada jendela, pintunya yang jadi jendelanya. Terus saya yang, lho deket amat ya jarak kamar ke koridor. Ya mirip kamar kos kan kata saya juga. Saya tiduran di kasur dan pintunya kebuka, orang lewat bisa leluasa lihat saya.

Terasnya manis sih. So ya masih menarik lah hehehehe. 


Tapi ya kalo buat selera saya mah kamar superiornya Green Forest ini enggak terlalu menyenangkan karena posisinya. Namun di sisi lain, kamarnya gede juga. Ada sofanya pula. Sofanya ada di depan ranjang itu tuh, di bawah televisi. 

TV channel semuanya gak kepake sama saya. Mending internetan aja :D gak ada yang rame. Pilihannya pun dikit banget, banyakan tivi lokalnya. Tapi channel anak-anaknya kepake buat bikin anak saya mingkem dan fokus nonton. Aheuheuheuheu :D

Bednya ukuran queen, ada bantal gulingnya, dan lampu penerangan oke lah gak bikin mata nyureng.

Amenities lengkap, disediain hair dryer. Handuk badan dan handuk muka disediakan.

Kamar mandinya cukup luas. Air hangat oke. No complaint. 


FOOD

Sarapannya biasa aja. Menu standar, rasa gak ada yang istimewa. Yang menyenangkan adalah pemandangan selama sarapan. Restorannya menghadap ke taman. 

Jagoannya resort ini emang  tamannya, area bermainnya, tempat jalan-jalannya. Dan ya tentu saja kapelnya yang tersohor itu, yang instagramable itu.

Menu makanan ada prasmanan, aneka bubur, buah-buahan, dan roti. Minumannya standar dan jus dua rasa.


SERVICE

Biasa aja gak ada kesan berlebih. Waktu check in ke kamar, gelas hanya ada satu, biasanya kan dua gelas ya. Khawatir ditagih karena dianggap memecahkan gelas, saya konfirmasi via telpon ke resepsionis dan ngasitau kalau gelas hanya ada satu, tapi tatakannya ada dua.

Resepsionisnya cuma merespon ‘oiya, bu. Betul hanya satu, bu’. Udah aja, gak ada inisiatif nanyain saya pengen nambah gelas atau gimana gitu :D

Gak apa-apa sih, cuma apa ya, buat saya mah kayak kurang perhatian aja gitu. Heuheuheu…. Perhatian pada detail dari staf hotel kayaknya penting deh buat konsumen.


LEISURE SPOT

Selain kamar dan sarapannya, spot jalan-jalan di sini juara lah. Ada jembatan goyang segala, bisa duduk di bawah pohon yang hawanya sejuk, main ayunan, bersantai lah menikmati suasana pegunungan gitu. Abis makan kan kami bertiga jalan-jalan, seru juga. Terus duduk di bawah pohon nangka. Aduh sejuknya hehehehe. 

Ada kolam renang juga, tipenya infinity pool. Tapi gak terlalu luas kolamnya, Ya kalau ada 6-7 orang di situ udah penuh pastinya.


Kapelnya juara juga, jadi latar foto lucu banget deh. Saya sempet foto-foto di sini. Hehehehe. Karena instagram banget, banyak yang bikin akad dan resepsi di sini. Emang lucu banget sih tempatnya. Buat garden party cocok banget deh. Mana udaranya sejuk pula kan.

So buat orang tua dengan anak-anak, penginapan ini cocok pisan. Buat yang bawa sepuh juga menarik, yang penting mah sepuhnya masih kuat jalan kaki. 

LOCATION

Dekat dengan Lembang. Tepatnya berlokasi di Jalan Sersan Bajuri. Cocok buat yang mau seliweran ke Dusun Bambu karena jalannya searah.

Keluar hotelnya ada minimarket dan rumah makan. Tapi harus jalan dulu sih sekitar 200 m. Nanjak hehehehe. Sebenernya ada tempat makan enak gak jauh dari Green Forest. Namanya Kafe Kupu-kupu di Parongpong. Porsi banyak, rasa oke lah, tempatnya juga lucu banget.


RATE 

Paling murah kamar superior. Kalao low season bisa 300ribuan, kalau lagi rame ya 400ribuan.

Abis itu ada kamar deluxe, eksekutif, dan cottage. Nah yang cottage ini lebih dari sejuta. Tapi (saya nebak doang :D) kalau lihat cottagenya sepertinya menarik juga nih.

Book The Green Forest Resort ini bisa teman-teman lakukan via situs booking online.

NOTE

1.    Cocok buat keluarga dengan anak. Lahan bermainnya itu lho, luaaasss dan ada children playgroundnya, dan kolam renang juga dong :D
2.     Buat yang bulan madu juga cocok, tapi ambil kamar yang cottage aja ya biar pol. Hahahaha.
3.     Dekat dengan Dusun Bambu, kalau mau ke sana nginepnya di Green Forest aja.
4.     Kamar tidak ber-AC. Kalau siang gak dingin, baru terasa dinginnya sore ke malam.
5.     WIFI biasa, beberapa situs gak bisa dibaca karena digembok apa gimana gitu.



kamar tipe cottage

kamar tipe superior


di lantai atas kamar deluxe, executive, dan satu kamar lagi lupa nama tipenya :D








Teks: Ulu
Foto : Indra Yudha, Nurul Ulu