Kududuk di bawah naungan Pohon Trembesi, sarapan saya dalam wadah kotak makanan itu nikmat sekali. Ada Celorot, Bacang, Klepon dan Cikak. Semuanya tandas berturut-turut tanpa ampun di mulut. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali saya menyantap Celorot.
"Dalam keseharian kita gak bisa jauh dari pepohonan. Coba dibuka lagi kotak makanannya."
Kupandang sisa-sisa perjuangan sarapan tadi. Tinggal daun-daun pembungkus makanannya saja. Ini saya aja yang kotak makannya sudah kosong atau peserta lain juga ya? 😹
"Dalam keseharian kita gak bisa jauh dari pepohonan. Coba dibuka lagi kotak makanannya."
Kupandang sisa-sisa perjuangan sarapan tadi. Tinggal daun-daun pembungkus makanannya saja. Ini saya aja yang kotak makannya sudah kosong atau peserta lain juga ya? 😹
"Celorot dibungkus daun kelapa yang masih muda. Bacang dibungkus daun hanjuang hijau. Klepon dan Cikak beralaskan daun pisang."
Itu barusan yang ngomong namanya Arifin Pemandu Bio Tour.
Oh saya belum cerita ya. Hari minggu (19/2/2017) saya dan Indra mengikuti sebuah walking tour bertema pepohonan di kota Bandung.
Tur jalan kaki ini bernama Bio Tour Bandung Botanical Garden. Arifin Surya Dwipa Irsyam nama pemandunya. Indischemooi penyelenggaranya.
Menjadi peserta Bio Tour biayanya Rp135.000. Durasi waktu turnya 3-4 jam. Jarak tempuh berjalan kaki sekitar 5 km. Peserta mendapat fasilitas berupa makanan satu kotak, minum, tote bag, pin, daun salam, dan pengetahuan dari seorang pemandu yang menyenangkan.
Oh saya belum cerita ya. Hari minggu (19/2/2017) saya dan Indra mengikuti sebuah walking tour bertema pepohonan di kota Bandung.
Tur jalan kaki ini bernama Bio Tour Bandung Botanical Garden. Arifin Surya Dwipa Irsyam nama pemandunya. Indischemooi penyelenggaranya.
Menjadi peserta Bio Tour biayanya Rp135.000. Durasi waktu turnya 3-4 jam. Jarak tempuh berjalan kaki sekitar 5 km. Peserta mendapat fasilitas berupa makanan satu kotak, minum, tote bag, pin, daun salam, dan pengetahuan dari seorang pemandu yang menyenangkan.
Bio Tour memulai aktivitasnya di Balaikota yang ceria dan panas. Hari minggu pagi penuh sekali manusia di sana.
Waktu Arifin mulai bercerita, orang-orang yang selintas lewat seperti penasaran. Beberapa pengunjung Balaikota bergabung dan menyimak sebentar, beberapa lainnya melirik dan berjalan lalu saja.
"Kita mulai dari Trembesi," kata Arifin mulai bercerita.
Trembesi adalah pohon terbesar di kompleks Balaikota Bandung ini. Ikonik. Ironisnya bahkan yang terlihat besar dan jelas begini saya tidak tahu apa namanya. Pada mulanya saya pikir itu Pohon Beringin.
"Trembesi disebut juga Ki Hujan. Kalau hujan turun, daun Trembesi akan mengatup sehingga air hujan langsung meluncur ke akar. Pohon ini aslinya berasal dari daerah gurun. Trembesi punya kemampuan menyerap air dalam jumlah banyak. Saking banyaknya, Trembesi meneteskan air melalui daun seolah sedang hujan," cerita Arifin.
Beribu kali saya datang ke Balaikota, baru tahu kalau Trembesi begitu karakternya. Nama 'trembesi' mirip kata 'merembes' (meresap) sih.
"Coba lihat pohonnya," Arifin menunjuk ke arah atas. Kami semua mendongak menatap batang dan daun Trembesi yang tinggi-tinggi sekali.
"Kita mulai dari Trembesi," kata Arifin mulai bercerita.
Trembesi adalah pohon terbesar di kompleks Balaikota Bandung ini. Ikonik. Ironisnya bahkan yang terlihat besar dan jelas begini saya tidak tahu apa namanya. Pada mulanya saya pikir itu Pohon Beringin.
"Trembesi disebut juga Ki Hujan. Kalau hujan turun, daun Trembesi akan mengatup sehingga air hujan langsung meluncur ke akar. Pohon ini aslinya berasal dari daerah gurun. Trembesi punya kemampuan menyerap air dalam jumlah banyak. Saking banyaknya, Trembesi meneteskan air melalui daun seolah sedang hujan," cerita Arifin.
Beribu kali saya datang ke Balaikota, baru tahu kalau Trembesi begitu karakternya. Nama 'trembesi' mirip kata 'merembes' (meresap) sih.
"Coba lihat pohonnya," Arifin menunjuk ke arah atas. Kami semua mendongak menatap batang dan daun Trembesi yang tinggi-tinggi sekali.
"Untuk menopang pohon sebesar ini kan pasti dibutuhkan akar yang juga besar. Oleh karenanya Trembesi jenis pohon peneduh yang harus ditanam di lahan yang luas supaya akarnya leluasa tumbuh dan menopang batang pohonnya. Pohon ini gak cocok kalau ditanam di pinggir jalan," Arifin menjelaskan. Berapi-api dengan suara yang lantang dan cemerlang.
Kami manggut-manggut tanda memahami. Arifin bergegas menuju pohon yang lain, kami mengikutinya. Mirip anak ayam, nempel ke mana pun induknya pergi.
Kali ini kami mengelilingi pohon Kayu Manis. Memang ada pohon Kayu Manis di Bandung, tepatnya di Balaikota? ADA BANGET! Saya baru mengetahuinya.
Arifin memetik satu daun Kayu Manis. Sebelum memetik ia mengucapkan minta maaf dulu karena daunnya dipetik. Entah mohon maafnya kepada pohonnya atau kepada kami.
Kami manggut-manggut tanda memahami. Arifin bergegas menuju pohon yang lain, kami mengikutinya. Mirip anak ayam, nempel ke mana pun induknya pergi.
Kali ini kami mengelilingi pohon Kayu Manis. Memang ada pohon Kayu Manis di Bandung, tepatnya di Balaikota? ADA BANGET! Saya baru mengetahuinya.
Arifin memetik satu daun Kayu Manis. Sebelum memetik ia mengucapkan minta maaf dulu karena daunnya dipetik. Entah mohon maafnya kepada pohonnya atau kepada kami.
Ia meremas daunnya sambil berkata "salah satu ciri Pohon Kayu Manis ada di daunnya. Kalau kita remas akan terasa tekstur daunnya yang mirip perkamen naskah tua". Ia melanjutkan "coba cium wangi daunnya," Arifin menyodorkan daun yang agak remuk itu pada kami.
Bergiliran kami mencium wangi daunnya. Hmmm iya wangi kayu manis. Gak nyangka di Balaikota ada pohon jenis rempah begini. Saya ikut meremas daun Kayu Manis. Arifin benar, efek suara dan sensasinya seperti sedang meremas perkamen naskah tua. Saya belum pernah pegang perkamen naskah tua sih, tapi ya kira-kira daunnya seperti kertas tapi tekskturnya lebih kokoh.
"Kayu Manis adalah jenis pohon peneduh. Selain jadi bumbu dapur, pohon ini berkhasiat sebagai obat mual dan obat perut kembung." Kami manggut-manggut sambil berbisik "oohhhh" pertanda baru tahu. Daun Kayu Manis masih digilir peserta untuk diendus-endusi aromanya.
Cowok yang menenteng-nenteng buku berjudul 1001 Garden Plants in Singapore ini beranjak, mengajak kami ke tempat parkir motor, melihat pohonnya lainnya.
Ki Sabun nama pohon berikutnya. Kiara Payung nama aliasnya. Mengandung senyawa Saponin yang jadi bahan membuat sabun, pohon ini menyebabkan jalan licin bila hujan. Karenanya gak cocok ditanam di pinggir jalan dan tempat parkir.
Bergiliran kami mencium wangi daunnya. Hmmm iya wangi kayu manis. Gak nyangka di Balaikota ada pohon jenis rempah begini. Saya ikut meremas daun Kayu Manis. Arifin benar, efek suara dan sensasinya seperti sedang meremas perkamen naskah tua. Saya belum pernah pegang perkamen naskah tua sih, tapi ya kira-kira daunnya seperti kertas tapi tekskturnya lebih kokoh.
"Kayu Manis adalah jenis pohon peneduh. Selain jadi bumbu dapur, pohon ini berkhasiat sebagai obat mual dan obat perut kembung." Kami manggut-manggut sambil berbisik "oohhhh" pertanda baru tahu. Daun Kayu Manis masih digilir peserta untuk diendus-endusi aromanya.
Cowok yang menenteng-nenteng buku berjudul 1001 Garden Plants in Singapore ini beranjak, mengajak kami ke tempat parkir motor, melihat pohonnya lainnya.
Ki Sabun nama pohon berikutnya. Kiara Payung nama aliasnya. Mengandung senyawa Saponin yang jadi bahan membuat sabun, pohon ini menyebabkan jalan licin bila hujan. Karenanya gak cocok ditanam di pinggir jalan dan tempat parkir.
Bahkan pohon peneduh di tempat parkir saja sebaiknya harus dipikirkan karakter pohonnya ya. Gokil saya baru tahu siah! Arifin harus diangkat jadi kepala divisi pertamanan kota Bandung deh!
Di bawah Pohon Jamblang yang langka (yes! Ada Pohon Jamblang di Balaikota dong!), Arifin cerita kalau buah Jamblang (Anggur Jawa) dahulu banyak dijual di pasar tradisional. "Rasa buahnya lebih enak dari stroberi dan apel. Paling cocok dimakan di siang hari yang terang" katanya lagi.
Indra -suamiku- mengiyakan cerita Arifin, "waktu SD masih suka makan buah jamblang. Ke mana ya buah ini sekarang?" tanyanya padaku. Sepertinya di zamannya saya dulu, udah gak ada kebiasaan makanin buah jamblang deh.
Arifin mengingatkan bahwa langkanya buah jamblang jadi penegas kalau pola makanan orang kota berubah. Saya belum pernah makan buah ini. Lantas kenapa buahnya jadi langka kalau rasanya enak?
Begitulah. Makin siang, makin banyak pepohonan yang dibahas. Saya buat daftarnya, ini pohon ada semua di Balaikota, Gaessss! Here goes:
Pohon Ganitri yang bijinya diolah dan jadi biji tasbih.
Begitulah. Makin siang, makin banyak pepohonan yang dibahas. Saya buat daftarnya, ini pohon ada semua di Balaikota, Gaessss! Here goes:
Pohon Ganitri yang bijinya diolah dan jadi biji tasbih.
Pohon Damar yang berfungsi sebagai pemecah angin, getahnya untuk menambal gigi.
Hanjuang yang jadi pohon pagar pembatas dua dunia: mati (pemakaman) dan hidup.
Trengguli, pohon jamu untuk diet melangsingkan badan.
Pohon Kemiri ada minyak di biji pohonnya, digunakan sebagai bahan bakar lampu penerang.
Pohon Puspa yang khas priangan dan jenis pohon peneduh yang cocok untuk reboisasi.
Pohon Huni memiliki daun yang edible alias dapat dimakan mentah-mentah (lalap).
Pohon Pucuk Merah yang ditanam di pot dan menurut Arifin cara penanamannya salah banget.
Ki Merak alias Patrakomala yang mengandung senyawa sianida.
Pohon Kenari yang jenisnya tanaman peneduh dan akarnya besar-besar, gak cocok ada di tepi jalan.
Saya tulis singkat-singkat aja, kenyataannya saat Bio Tour si pemandu bercerita banyaaaakkkkk sekali. Nyerocos dengan koma dan titik yang teratur.
Sesekali Arifin menyebut nama latin tanamannya, fasih banget. Kamu tahu sedang bersama orang yang mencintai bidangnya saat ia -tanpa kikuk dan tidak planga plongo- sanggup melafalkan nama lokal sebuah tanaman, sekaligus nama ilmiahnya dan ceritanya panjang lebar seolah-olah dia mau bagikan semua dunia perbotanian yang ia cintai pada kami semua.
Menjauh dari Balaikota, tanaman di dalam selokan pun Arifin bahas. Dari tanaman yang tumbuh di parit seperti Kareumbi dan Babadotan, sampai tanaman hias yang kebanyakan bunganya beracun misalnya Patrakomala dan Oliander.
Lalu tibalah waktunya pepohonan favorit saya dibahasnya: Angsana dan Tanjung.
Menjauh dari Balaikota, tanaman di dalam selokan pun Arifin bahas. Dari tanaman yang tumbuh di parit seperti Kareumbi dan Babadotan, sampai tanaman hias yang kebanyakan bunganya beracun misalnya Patrakomala dan Oliander.
Lalu tibalah waktunya pepohonan favorit saya dibahasnya: Angsana dan Tanjung.
Pohon Angsana ada banyak di wilayah Dago: Jalan Raden Patah, Jalan Pager Gunung, dan Jalan Kyai Gede Utama. Perhatikan bila bunganya yang kuning itu berguguran. Aduh cantiknya.
Lalu bunga tanjung dijadikan hiasan pada keranda jenazah. Sebab bunganya menguarkan wangi nan harum. Di rumah ibuku ada satu Pohon Tanjung. Bila malam wanginya sedap nian.
Kata Arifin nih, Pohon Tanjung adalah pohon peneduh yang ideal ditanam di pinggir jalan. Sebab akarnya tidak terlalu besar, daunnya menyerap karbondiosida, dan buahnya mungil.
Aduh bayangin yah jalan kaki di tepi jalan, malam hari gitu, terus ada wangi-wangi dari Pohon Tanjung. Sekarang gak takut lagi ada kuntilanak kali yah karena sudah tahu asal muasal wanginya darimana 😹
Saya termasuk beruntung bisa tinggal di lingkungan yang masih banyak pohonnya. Cuma sayang sekali saya gak tahu nama pohonnya apa aja, fungsinya apa, khasiatnya apa, beracun enggak. Kecuali pohon buah yang saya konsumsi.
Karena Bio Tour sekarang saya jadi tahu. Emang sih gampang tinggal baca di buku atau browsing di Google. Tapi kalau pratik langsung turun ke jalan kayak Bio Tour lebih seru karena ada interaksi dengan pohonnya secara langsung.
Selama turnya saya tuh:
mencium bunga Pohon Tanjung
ngebauin daun Kayu Manis
menghirup aroma getah Pohon Kenari
gesek-gesek daun Pohon Sikat Botol di tangan, wanginya kayak kayu putih
melihat pohon yang bisa jadi 'obat HIV'
mengernyit karena bau jamu dari Buah Trengguli
makan Bunga Begonia
makan Buah Bihbul yang teksturnya kayak mentega, enak amat saya suka!
mengagumi bunga Oliander dan Patrakomala yang cantik-cantik tapi beracun
Dan rumput pipih boleh diinjak!
ngebauin daun Kayu Manis
menghirup aroma getah Pohon Kenari
gesek-gesek daun Pohon Sikat Botol di tangan, wanginya kayak kayu putih
melihat pohon yang bisa jadi 'obat HIV'
mengernyit karena bau jamu dari Buah Trengguli
makan Bunga Begonia
makan Buah Bihbul yang teksturnya kayak mentega, enak amat saya suka!
mengagumi bunga Oliander dan Patrakomala yang cantik-cantik tapi beracun
Dan rumput pipih boleh diinjak!
Seru yah lima indra kepake semua. Mata, telinga, hidung, lidah, tangan. Pantesan selama tur ini hati rasanya senang. Begitu pun turnya meninggalkan kesan yang membekas baik.
Oiya, sekarang kutahu, kalau lapar dan gak punya uang tinggal pergi ke Balaikota dan Taman Lalu Lintas, berburu buah di sana. Hehe. Tinggal cari tahu mana yang beracun, mana yang aman untuk perut manusia.
Bahkan saya sekarang tahu kalau tumbuhan raksasa kayak Pohon Trembesi itu ternyata bersaudara dengan tanaman kacang hias merambat. Jauh amat ya, yang satu menjulang ke angkasa, satunya lagi membumi di tanah.
Bahkan saya sekarang tahu kalau tumbuhan raksasa kayak Pohon Trembesi itu ternyata bersaudara dengan tanaman kacang hias merambat. Jauh amat ya, yang satu menjulang ke angkasa, satunya lagi membumi di tanah.
Menurut panitianya, Bio Tour akan dilakukan secara rutin. Kapan waktunya, langsung tanya ke penyelenggaranya aja. Cek akun di Instagram @indischemooi. Jangankan saya yang mewajibkan diri mengikuti tur pepohonan ini, walikota Bandung juga harus. Orang-orang di Dinas Pertamanan juga wajib nih melek pepohonan di Bandung.
Bagian paling menohok dari tur ini adalah muncul kesadaran kalau usaha walikota Bandung dan Pemkot dalam mempercantik kota belum selaras dengan keberadaan makhluk lainnya. Kitanya senang, estetik sih emang. Namun salah sebab kita gak kenal karakteristik tanamannya.
Arifin menunjuk pohon Pucuk Merah yang ditanam dalam pot di Balaikota. Tanaman bernama Kastuba.
"Cara menanam kayak gini salah. Pucuk Merah butuh lahan luas untuk tumbuh," kami mengamati pohonnya yang mulai layu dan mengering. Pantas atuh mati ya. Akarnya gak leluasa bergerak ketahan pot. Pohonnya gimana mau tumbuh.
Arifin juga menyinggung bunga-bunga warna merah yang digantung di tiang-tiang lampu jalan. Ternyata salah menempatkan bunga Pohon Kastuba kayak gitu. Kodratnya pohon Kastuba tumbuh 1,5 m - 4 m dan gak boleh kena sinar matahari langsung.
Kastuba di Jalan Riau dan Purnawarman rada mending sih karena digantung di bawah pepohonan besar. Pot Kastuba yang di jalan Dago salah naro karena ngegantungnya di tengah jalan dan kena sinar matahari langsung.
"Jadi cocoknya tanaman yang digantung di pinggir jalan kayak gitu apa dong, Pin?" tanya saya.
"Bunga Senecio Macroglossus, tapi gak tahu nama dagangnya," kata Arifin yang sekolahnya jurusan Biologi di Unpad dan magister di IPB ini.
Hmm coba deh nanti saya google kayak gimana itu Senecio Macroglossus.
Begitulah Bio Tour. Radius yang kami kitari gak nyampe 5 km aja, tapi pepohonannya beragam banget. Saya paling suka bagian mencium-mencium wangi bunga dan daun, rasanya damai banget. Hehehe. Kayaknya Bio Tour ini mesti diulang-ulang deh acaranya. Biar makin banyak yang ikutan.
Mudah-mudahan pepohonan di Bandung lestari. Pohon yang renta diganti yang muda. Pohon yang muda tumbuh aman gak ditebang-tebang dan gak jadi korban pembangunan.
Mudah-mudahan pepohonan di Bandung lestari. Pohon yang renta diganti yang muda. Pohon yang muda tumbuh aman gak ditebang-tebang dan gak jadi korban pembangunan.
Dan semoga kita kenal sama tanaman dan pepohonan di sekitar kita yah!
Teks : Ulu
Foto : Ulu, difoto dengan Lenovo A6000
Bacang, Cikak, Klepon, Celorot |
Di bawah Pohon Puspa |
Pohon Kayu Manis |
Bunga Puspa yang wangi dan rumput Gajah Kecil yang aman banget diinjek-injek tapi seringnya dilarang diinjek |
The Giant Pohon Karet Munding |
Karet Munding masih bayi |
Membahas Pohon Kenari |
Buah Pohon Kenari kalau dibelah kayak gini penampakannya |
Baby Kareumbi |
Pohon gak boleh dililit kain kayak gitu, mengganggu metabolisme pohon, kata Arifin |
Dua Pohon Tanjung di Jalan Aceh, jenis pohon peneduh yang ideal karena: buahnya kecil, akarnya gak gede-gede amat, menyerap karbondiosida |
Teks : Ulu
Foto : Ulu, difoto dengan Lenovo A6000