Oke. Ullen Sentalu. Perjalanan ke Yogyakarta sudah lewat dua bulan lalu, saya baru sempat menuliskan salah satu tempat yang saya kunjungi di sana sekarang. Begini ceritanya.
Sebagai warga Jawa Barat yang berasal dari Suku Sunda coret (karena darah saya setengahnya milik Indramayu-Cirebon), kami tumbuh secara egaliter. Tidak ada kerajaan untuk kami agungkan setelah Kesultanan Banten meruntuhkan Pajajaran. Dari kecil sampai dewasa, saya mengenal sosok Raja dalam bentuk cerita dan lukisan saja.
Lalu saya ke Jawa Tengah, menyambangi daerah istimewa di sana. Yogyakarta dan hal-hal berbeda dengan yang saya alami di Bandung. Di sini raja masih ada. Meski pemerintahan berada di tampuk kepresidenan di Jakarta sana, tapi masyarakat Yogyakarta nampaknya masih mengagungkan Sultannya. Rajanya. Hal yang tidak saya lihat di Cirebon, meski kesultanannya masih ada tapi kok saya perhatikan masyarakat Cirebon biasa saja terhadap Keraton ya :D Kenapa ya...
Ngomong-ngomong, di Yogyakarta saya sempatkan mampir ke Kaliurang. Ke mana lagi kalau bukan: Ullen Sentalu.
|
Pintu masuk Ullen Sentalu |
Menemukan museum Ullen Sentalu tidak sesulit yang saya bayangkan. Kembali ke Ullen Sentalu untuk saya adalah napak tilas. 9 tahun lalu saya masih mahasiswi dan sendirian naik angkutan umum mengunjungi Ullen Sentalu. Kembali museum ini dari dalam kendaraan pribadi saya berujar dalam hati: the power of youth memang benar adanya. Gak kebayang dulu naik elf Jogja sendirian, tidak tahu arah, berjalan kaki menanjak jauh pula. Hahaha.
Ullen Sentalu kini ramai pengunjung dan terlihat kerumunan orang antri untuk masuk. Tahun 2007 saya ke Ullen Sentalu di hari kerja jam 12 siang, saya satu-satunya pengunjung di situ. Tahun 2016 dan saya kembali datang pada hari kerja jam makan siang bukan di musim liburan. Tiket masuk kini harganya Rp 30.000/orang. Saya tebus untuk berempat: saya, Indra, Ibu, dan adik saya.
Wajah Ullen Sentalu yang saya ingat 9 tahun lalu lebih rimbun dari yang saya saksikan kemarin itu. Dahulu fasad museum ini sama sekali tidak seperti menunjukkan tempat terbuka untuk umum. Malah seperti rumah nenek sihir yang saya baca di novel-novel masa kecil. Sekarang teras Ullen Sentalu lebih terang ya. Pepohonan lebat merambat di bagian sisi kanan itu kayaknya sudah dipangkas. Atau saya yang lupa lupa ingat wujudnya dahulu…ah entahlah.
Tidak menunggu waktu lama, kami dipanggil pemandu. Tergabung dalam grup terdiri dari kurang dari 15 orang, Ullen Sentalu siap kami jelajahi.
|
Ruangan Minum Teh, di sini boleh motret |
Koleksi museum ini memperlihatkan barang pribadi keluarga Keraton. Alat musik, lukisan, foto-foto, kain batik, hingga surat-surat dari kerabat dan teman yang isinya menghibur Puteri Keraton, Tinneke, yang sedang patah hati.
Selama tur saya melihat pegawai museum yang mengelap barang-barang dan mengecek temperatur udara ruangan. Tiap ruangan dijaga suhunya agar barangnya tak lapuk. Membayangkan kesigapan museum ini menjaga koleksinya, saya penasaran berapa biaya yang habis perbulan untu perawatan, dari mana sumber biayanya selain tiket masuk yang saya beli.
Orang yang memandu kami sangat fasih bercerita. Macam orang yang beribu-ribu kali mengucap kata yang sama. Lancar tiada jeda, tiada keselepet lidah menyebut nama-nama yang njelimet dan pancakaki yang panjang ala kerajaan. Meski ceritanya terdengar sangat text-book dan terburu-buru, tapi kalau saya dan peserta lain bertanya ia lancar menjawab dan cukup memuaskan kok jawabannya. Dan ehm, anu, pemandunya cantik sekali :D
|
Ujung museum, menuju pintu keluar.
Bangunan menara itu restoran. |
Di dalam museum ini dilarang berfoto. Saya senang juga ada aturan tersebut. Karena saya jadi fokus mendengar cerita pemandunya. Sejujurnya bagi saya memotret sekaligus menyimak adalah dua kegiatan yang sulit dilakukan bersamaan.
Ternyata larangan tersebut juga membuat kami, para pengunjung, jadi lebih santai dan tenang ya hihihi. Karena kalau diperbolehkan foto-foto, kebayang gak sih beringasnya kami dengan kamera. Salah satu dari peserta membawa kamera go pro dan di pintu masuk sudah heboh bervideo ria namun tetap santun dan patuh dengan larangan menggunakan kamera dan video di dalam Ullen Sentalu.
Saya memotret area yang diperbolehkan saja, itu juga dengan kamera ponsel. Ruang yang kami boleh foto adalah tempat kami minum teh. Minuman teh di Ullen Sentalu adalah ramuan tradisional untuk puteri keraton. Katanya bikin awet muda. Terdiri dari tujuh bahan rahasia campuran jahe, kayu manis, gula jawa, garam, dan daun pandan. Rasanya saya tidak ingat, enak sih tapi biasa saja :D
Masuk keluar ruang-ruang dan koridor di Ullen Sentalu ini sungguh pengalaman yang menyenangkan. Ruangannya lembab dan dingin. Di sekitarnya banyak pohon. Adem suasananya.
Baru saya lihat museum -bagian dari sebuah kerajaan (dalam hal ini keraton)- memajang benda-benda yang terbilang amat sangat pribadi. Iya emang saya belum melihat banyak isi dunia sih heuheuheueu.
Ruangan yang memperlihatkan surat-surat untuk puteri keraton (Tineke) yang patah hati itu favorit saya. Ada 29 surat. I was like ya ampun patah hatinya seorang puteri keraton ini diketahui semua orang...bagaimana rasanya semua orang tahu kamu patah hati...
Kembali ke surat saja. Tulisan dalam surat-surat dari teman dan kerabatnya Puteri Tinneke sangat halus, sopan, santun, dan puitis.
Saya ingin menyalin isi surat-surat itu, tapi pemandu mengajak kami keluar ruangan setelah ia selesai bicara. Cepat sekali padahal saya sedang mencatat isi suratnya di smartphone (yang lalu terhapus. Aaargh!). Ah saya browsing saja dan di blog milik Mbak Yusmei
usemayjourney.wordpress ini saya menemukan dua surat dari Ruang Tinneke tersebut. Saya baca lagi isi suratnya, saya salin di sini.
Kota Kasunanan
Gusti sayang
kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
jarang ada atau boleh dikata tak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan
Adalah suatau bualan terbesar di dunia ini
Ullen Sentalu saya masukkan ke daftar a must visit place di Yogyakarta, di Indonesia kalau perlu. Berasal dari sebuah kalimat berbunyi Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, Ullen Sentalu artinya Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan.
Entah apa makna dari Ullen Sentalu-nya, seingat saya pemandunya menjelaskan tapi ingatan saya berhenti di situ. Kalau ada yang tahu, boleh komen ya kasihtahu saya juga.
Melongok kehidupan kerajaan memang selalu menarik (untuk saya pribadi). Mungkin karena auranya yang misterius, kaku, sekaligus unik. Ullen Sentalu adalah hal-hal yang tidak terjadi dalam hidup banyak orang sih. Dan saya suka penasaran kehidupan di masa lampau teh gimana sih.
Tur jalan kaki yang menghabiskan waktu hampir 60 menit itu baru saya sadari memperlihatkan banyak koleksi perempuan ningrat keraton. Mulai dari Gusti Nurul, Gusti Menuk, Ibu Ageng, dan Tinneke. Uniknya lagi, perempuan-perempuan itu tidak seperti perempuan keraton yang saya bayangkan deh. Gusti Nurul anti poligami dan kelihatannya tomboy, dan beliau kelihatannya bebas-bebas saja melakukan hal yang ia suka. Gusti Menuk fashionable abis, Ibu Ageng nampaknya macam istri-istri yang dominan pada suaminya :D Tangguh macam wanita bertangan besi.
Habis ini saya mau lihat Museum Kartini deh. Semoga kesampaian tahun ini ke Jepara dan Lasem.