Sudah lama tidak jalan-jalan bertema, lagipula sedang butuh udara segar. Lihat di Facebook, ada poster Jelajah Lembang. Gak pikir lama saya daftar sebagai pesertanya. Ohiya, acara ini gratis. Peserta bawa makanan dan minuman sendiri.
Komunitas Lembang Heritage merupakan penyelenggara Jelajah Lembang. Jalan-jalan dengan bobot sejarah ini berlangsung pada hari Minggu 1 Mei 2016. Dimulai pada pukul 8 pagi dan berakhir pada siang hari jam 1.
Kami berkumpul di Alun-alun Lembang. Tak terhitung frekuensi saya melewati Alun-alun tersebut, tapi tak pernah tahu kalau di Lembang ada Pendopo-nya.
Lembang adalah kota kecil yang dipimpin oleh Camat. Dahulu Pendopo adalah kantor camatnya. Pendopo di Lembang bukan lagi kantor Camat, bangunannya berfungsi kalau kantor kecamatan ada seminar atau kegiatan sejenisnya itu.
Sama dengan wilayah administratif di Priangan bekas kekuasaan Mataram lainnya, ruang pemerintahan Alun-alun masih dipengaruhi Mataram. Masjid di barat, Pendopo di arah selatan, bagian timur pusat aktivitas komersil seperti pasar, dan bagian utara ada sekolah.
Pendopo di Lembang gedungnya bergaya tempo dulu. Malia Albinia, pemandu dari Lembang Heritage bercerita bahwa gedung Pendopo dibangun dari abu gosok. Bagaimana caranya membangun sebuah gedung dari benda bernama abu gosok? Wah saya juga penasaran dan belum ketemu caranya :D
Kami mengamati Pendopo dari luar bangunan, tidak masuk ke bagian dalamnya. Mengagumi bangunannya dari luar, memotret pintu dan jendelanya yang kuno.
Menurut salah seorang pemandu, Muhammad Sopian Ansori, Lembang sudah ada sebelum kota Bandung muncul. Dahulu kala Ujung Berung pada masa kejayaannya memiliki beberapa distrik. Lembang salah satunya. Daerah pegunungan memang diminati pemerintah kolonial karena wilayahnya yang potensial untuk menanam kopi dan teh, komoditi utama VOC dari Priangan.
Selain teh dan kopi, tanaman Kina juga tumbuh subur di sini. Seperti yang kita tahu, Malaria pernah mewabah di negeri ini. Kina obat mujarab untuk melenyapkan Malaria. Pernah membaca seseorang bernama Fransz Wilhelm Junghuhn? Beliau ini tokoh dibalik tumbuhan bernama Kina tersebut.
Panjang lagi sih kalau harus bahas Junghuhn. Google sendiri saja ya :D
Jalan menuju Jayagiri merupakan destinasi jelajah kami berikutnya. Lembang dan mataharinya hari itu terasa panas namun segar. Seperti sedang makan Rujak jam 12 siang. Ditambah jalan yang menanjak.
Karena dekat dengan pusat penelitian Kina, di Lembang ada klinik Malaria. Dibangunnya tahun 1920an. Untuk menjalani rawat inap di sini, pasien berbaring di bivak. Bivak ini peralatan darurat pengganti ranjang. Semacam hammock, namun dalam bentuknya yang paling sederhana. Lidah warga logal tak bisa menyebut Bivak dan istilah tersebut berevolusi menjadi Bewak. Kini kampung sekitar klinik tersebut berada bernama Kampung Bewak.
Tak jauh dari klinik yang sekarang bukan lagi klinik malaria tersebut ada Makam Junghuhn. Kami berkunjung ke makam dan membahas tentang Kina, Junghuhn, dan Lembang pada umumnya.
Dari jalan beraspal dan jalanan tanah, perumahan hingga berujung pada jalan setapak, di sana lah makam itu berada. Di antara rimbunnya pepohonan, dalam lingkaran kecil terdapat monumen berupa tugu. Pak Asep, pengelola makam Junghuhn berdiri di hadapan kami dan bercerita tentang Junghuhn dan Kina.
Saya bisa membayangkan suasana Lembang dari titik makam tersebut berada. Pasti lebih 'hutan' dibanding sekarang. Jika hari ini Lembang dipuja-puja karena wisata alamnya, maka dahulu Junghuhn jatuh cinta pada Lembang karena lebatnya hutan dan rindangnya pepohonan. Lembang pada masa terbaiknya: berkabut, gelap dan sunyi. Tidak ada Floating Market, De Ranch, dan ratusan hotel.
Beranjak dari makam Junghun, kami diajak menghampiri beberapa rumah kuno. Tepatnya tiga rumah pertama di Lembang, yaitu Bumi Lebak, Bumi Tengah, dan Bumi Tonggoh. Juga satu rumah milik keluarga keturunan tuan tanah Jayagiri, Tuan Walter nama tuan tanah tersebut.
Terkepung rumah-rumah modern, rumah tua ini sekarang didiami keturunan keluarga Walter. Masuk ke rumahnya, saya minta izin untuk memotret. Tapi susah juga sih, di dalam rumahnya minim cahaya. Satu dinding di ruang tamu terpajang beberapa pigura foto. Ada foto tuan tanah Jayagiri, Walter. Juga foto-foto nyonya Belanda. Entah siapa namanya. Bersanding dengan foto-foto berwajah Belanda itu ada foto-foto berwajah lokal. Pemandangan yang unik.
Beranjak ke rumah tua yang lainnya, kami melewati pematang perkebunan, ada Gunung Tangkubanparahu dalam jarak dekat, seperti dalam genggaman. Langit Lembang mulai terang kelabu. Awan mendung menggantung bergantian dengan matahari. Kami masih berada di wilayah Lembang bagian Jalan Jayagiri.
Kali ini hadir pemandu Jelajah Lembang berbeda dengan biasanya. Ia keturunan langsung dari pemilik perkebunan kina sebesar 600 Ha yang membentang dari Sukawana, Parongpong, sampai Jayagiri: Antony Van Der Vliet. Kami bahkan diajaknya mengunjungi makam buyutnya. Makam yang unik tapi agak memprihatinkan karena berada di bawah jemuran dan dikelilingi rumah-rumah penduduk.
Oiya, rumah-rumah tua yang saya kunjungi bentuknya indah sekali. Dua di antaranya : hendak dijual dan tinggal pondasinya saja. Kami tak dapat masuk ke dalam rumah yang katanya akan dijual itu, maka saya berfoto di depannya saja. Moto orang maksudnya hohoho :D
Bangunan terakhir yang kami kunjungi adalah rumah Anton di ujung Jalan Jayagiri, kira-kira 300 meter sebelum masuk ke pintu masuk Hutan Jayagiri. Rumah yang manis, ada banyak tumbuhan dan bunga-bunga. Teras samping rumah menghadap ke arah lembah. Hujan turun, suasana makin dramatis. Namun banyak orang di situ, agak sulit merasa intim dengan hujan dan suasana siang itu yang sesungguhnya romantis saking penuhnya itu tempat oleh kami semua yang kira-kira jumlahnya 20 orang :D
Barang-barang di teras rumah Anton dapat dibeli. Deni, Robi, dan Andre dari Lembang Heritage sibuk memilah buku-buku tua mana yang ingin mereka beli.
Jika cita-cita memiliki rumah itu boleh saya sebutkan di sini, rumah milik keluarga Anton merupakan rumah impian. Jauh dari kebisingan jalan raya dan berada di kaki gunung. Hening dan segar. "Lihat sunrise dari rumah juga bisa, pemandangannya bagus banget kalau sore atau pagi," cerita Anton. Ugh…dalam derai hujan saya berbisik pada Maha Pencipta, mohon kirimkan saya rumah seperti yang Anton punya, Ya Tuhan!
Ujung perjalanan Jelajah Lembang berada di sebuah warung makan di Jayagiri, di tepi hutan kaki gunung Tangkubanparahu. Kedua kaki yang pegal dan perut yang keroncongan beristirahat di bawah pepohonan. Ah sejuk sekali, udaranya pun segar.
Di warung itu saya dan peserta lainnya makan. 2 buah Leupeut, 2 potong gorengan, semangkuk mi rebus dan segelas teh manis hangat mendarat di perut saya dengan sempurna. Kenyang dan senang! Makan siang hari itu termasuk dalam makan siang dengan pemandangan terbaik yang pernah saya lakukan.
Pulang terpisah, kami kembali ke ujung jalan Jayagiri - Jalan Raya Lembang. Kali ini jalannya menurun. Hamdalah. Total jalan kakinya mencapai 5 km. Asoy ya :D
Saya berpisah dengan tepi hutan Jayagiri, angin bersahut-sahutan. Berhembus kadang pelan, kadang sedikit kencang. Mendengar gemerisik daun diterpa angin, rasanya menentramkan. Melihat bunga-warna-warni terasa membahagiakan. Mungkin begini yang dialami para tuan tanah itu dulu ya. Juga kebanyakan orang sekarang kalau berkunjung ke Lembang (kalau tidak macet). Teduh dan tentram.
Jayagiri membuat hati saya bermekaran, suasananya menghangatkan. Meminjam kalimatnya Simon & Garfunkel: i'd rather be a forest than a street.
Kembali ke jalanan Bandung yang ramai, tak habis pikir mengapa saya dan kebanyakan orang bisa menjalani hidup sebising itu. Menukar pohon dengan tempat parkir. Membangun ruang-ruang privasi yang buruk semacam pagar tinggi berkawat. Mencari kenyamanan dari sekotak mesin beroda empat dan mesin pendingin udara.
Kembali ke jalanan Bandung yang ramai, tak habis pikir mengapa saya dan kebanyakan orang bisa menjalani hidup sebising itu. Menukar pohon dengan tempat parkir. Membangun ruang-ruang privasi yang buruk semacam pagar tinggi berkawat. Mencari kenyamanan dari sekotak mesin beroda empat dan mesin pendingin udara.
Boleh gak Lembang dikembalikan ke masa-masa dulu waktu masih berkabut dan cerobong-cerobong dari rumah yang masih mengepulkan asap? Tapi nanti orang mau kerja apa ya. Kita kan lebih banyak mengembangbiakan spesies sendiri dibanding menumbuhkan pepohonan.
Cerita detail sejarah Lembang dan kawasan terdekatnya dapat teman-teman baca di blog Lembangheritage.wordpress.com. Join grup Lembang Heritage kalau ingin tahu kabar acara jelajah mereka berikutnya.
Pendopo Lembang |
Combro, camilan untuk peserta Jelajah Lembang |
Klinik Malaria |
Pak Asep dan bibit Kina |
Makam sekaligus monumen Junghuhn |
Dia (dan adiknya) peserta termuda Jelajah Lembang |
Makam pemilik perkebunan Kina |
Antony Van Der Vliet |
Di depan Bumi Tengah |
Foto : Nurul Ulu, dipotret dengan Canon & Lenovo.
sama,aku juga punya impian punya rumah di daerah pegunungan,rumah kuno dengan udara segar...
ReplyDeletebagi combronya^^
Kalo ke bandung saya kirim combro :D hehehehe. Amin, Mba. Semoga cita-cita kita terwujud yak :)
Deletehaturnuhun 4sharing.aosanna sae pisan,puitis dan inspiratif.jika pernah merasakan tinggal di jayagiri/lembang memang nyaman(kecuali macetnya kalo long weekend :)..dan damai itu tidak jauh ternyata,ada dalam hati..
ReplyDeleteBetul sekali, kalau kata Kungfu Panda mah: Inner Peace :D hatur nuhun pisan.
DeleteTeh uluuuu aku belum pernah kesini malah baru tau.
ReplyDeleteKalau ada gini gini lagi jelajah2 yang seputar bandung dan hari biasa atau boleh bawa anak mau dooong ikutan hehhe
Hawa sejuk dan suasana pegunungan di Lembang emang ngangenin :)
ReplyDeleteMembayangkan Lembang tempo doeloe pasti adem dan syahdu yaa..apik banget rumahnya ya Ulu..
ReplyDeleteAndai Lembang kembali seperti jamanya Jughun, berarti Lembang masih penuh dengan hutan, kalau pagi pagi berkabut begitu pula sore hari. Pasti indah sekali. Ohya bangunan dari abu gosok, menarik sangat Mbak Ulu
ReplyDeleteJadi hoyong ngiring jelajah yang model2 begini.
ReplyDelete