Beberapa
bulan lalu saya membeli sebuah buku. Judulnya: 51. Pilihan judul buku yang gak
biasa. Buku ini memuat 51 foto lengkap dengan teks cerita fotonya. Darmastyo
adalah penulis, fotografer, dan traveler yang menerbitkan buku 51.
Saya
follow Icak -nama panggilan Darmastyo- di Instagram. Saya tahu dia traveling
sendirian ke beberapa negara. Begitu tahu kalau Icak juga mengeluarkan buku 51,
saya langsung memesannya.
Sebagai
orang yang belum diberi kesempatan untuk keliling dunia, saya lampiaskan dengan
banyak membaca buku dan melihat foto-foto. Terutama foto-foto cerita seperti
yang ada di buku 51 karya Icak.
Jenis
foto yang saya suka adalah foto cerita. Bukan foto selfie dan bukan foto OOTD
(outfit of the day, itu lhooo :D). Karena foto cerita selalu menggambarkan
rekaman peristiwa sehari-hari atau kejadian yang monumental. Kita kan jadi tahu
kejadian apa yang ada di belahan bumi lain berkat foto-foto cerita kayak yang
Icak terbitin di bukunya.
Kalau
ada teman atau kerabat yang berencana traveling, saya suka minta oleh-oleh
berupa foto cerita. Ya syukur-syukur ditambah dengan t-shirt, gantungan kunci,
sticker, atau postcard. Hahaha!
Bohong
kok :D Saya cuma minta diperlihatkan foto-foto selama mereka traveling saja.
Terkadang kalau mereka tidak keberatan, saya suka minta ketemu. Ngapain? denger
langsung cerita travelingnya dong. Melihat saja belum cukup, mendengar langsung
cerita dari orangnya kan beda sensasi lagi.
Karena
alasan itulah saya menghadiri acara #NgobrolSore Pustrop Wanadri edisi Sumpah
Pemuda 'Buku, Dedikasi, dan Inspirasi', untuk mendengar langsung cerita perjalanannya Icak.
Ini
pertama kalinya saya berkunjung ke Pustrop. Kalau tidak melihat poster acara
yang dishare teman saya di Facebook, mungkin saya di rumah saja dan menonton
televisi.
Sumber foto: Instagramnya Pustrop Wanadri |
Pustrop
Wanadri berada di jalan Batik Jonas no. 11 Sukaluyu Bandung. Kira-kira ada di
belakang kampus ITENAS.
Pustrop
sendiri merupakan singkatan dari Perpustakaan Tropis. Bagian dari Wanadri
khusus untuk kegiatan literasi, riset, diskusi, dan ngopi-ngopi. Pustrop
Wanadri buka untuk umum setiap hari pukul 09.00 – 17.00.
#NgobrolSore
merupakan acara berkala yang diselenggarakan di hari tertentu pada jam
tertentu. Temanya beragam, tapi garis merah tema obrolannya kira-kira
traveling, kegiatan sosial, dan lingkungan.
Pada
tema 'Buku, Dedikasi, dan Inspirasi' , Jumat 30 Oktober 2015, ada tiga orang
yang jadi pembicara. Duh kata 'pembicara' ini memberi kesan acaranya serius.
Padahal acara #NgobrolSore santai banget! Ada sajian kopi, teh, dan gorengan.
Pembawa acaranya juga becanda melulu :D
Acara
#NgobrolSore dimulai pukul 18.30. Sementara saya datang pada pukul 20.00. Belum
terlambat amat sih, karena baru satu dari tiga orang yang presentasi baru saja
saja menutup obrolannya ketika saya tiba.
Feri
Latief, fotografer majalah National Geographic Indonesia, menjadi pembicara
yang kedua. Beliau berbagi tentang perjalanannya merekam ekspedisi pencarian
Gua-gua dan lukisan purbakala.
Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, dan daerah NTB-NTT menjadi kawasan yang dijelajahi tim
arkelog termasuk Feri Latief. Perjalanan menyusuri Gua-gua tersebut memakan
waktu satu-dua hari perjalanan jalan kaki diseling berperahu sampan. "Tiap
daerah beda-beda tantangannya," cerita Feri. "Buat saya yang paling
berat medannya di Kalimantan."
Tim arkelog yang diceritakan Feri Latief berhasil melacak gua-gua yang terdapat lukisan purbakala. Kebanyakan lukisan yang saya lihat dari foto jepretan wartawan foto ini adalah lukisan tangan.
Photo Courtesy : Feri Latief. Follow Instagramnya @feri_latief |
Tim arkelog yang diceritakan Feri Latief berhasil melacak gua-gua yang terdapat lukisan purbakala. Kebanyakan lukisan yang saya lihat dari foto jepretan wartawan foto ini adalah lukisan tangan.
Dan
ya namanya juga wartawan fotonya National Geographic Indonesia ya, fotonya…mmmhhh….BUAGUS-BAGUS!
Entahlah bagaimana cara Feri Latief memotret di dalam gua. Katanya sih
merunduk, jongkok, berbaring, daaan aneka macam posisi lainnya.
Sesuai
tugasnya, sepanjang perjalanan Feri Latief tidak berhenti memotret. Indah
sekali panorama alam yang saya lihat di foto-fotonya. Membayangkan bahwa nenek
moyang saya pernah menghuni daerah-daerah terpencil seperti dalam fotonya Feri
Latief, saya tidak bisa berhenti terpesona.
Melalui
foto-fotonya, Feri Latief ini semacam perpanjangan tangan yang menceritakan
kisah tim ekspedisi dan hasil penemuan lukisan purbakala. Kalau gak difoto,
mana tahu kalau manusia purbakala pernah tinggal di tempat-tempat terpencil
itu. Mana tahu kalau lukisan itu ada di sana kan.
Ilmu
itu memang datangnya dari mana saja, bukan melulu guru atau profesor. Tapi juga
fotografer dan traveler. Modalnya apa? Nyatet dan motret.
Anyway,
pembicara terakhir setelah presentasi Feri Latief adalah Darmastyo (Icak). Ya, Icak
nih gilirannya berbagi cerita perjalanan. Memulai perjalanan dari Sumatera,
Icak berkelana 181 hari ke berbagai negara hingga ke negeri China.
Icak
memulai presentasinya dengan menceritakan satu per satu foto yang ia muat dalam
buku 51. Foto pertama tentang Gajah di Waykambas dan Icak yang kemalaman di
taman nasional tersebut lalu menginap di pos penjaga. Foto berikutnya tentang
pemakaman di Tibet.
Saya
baru tahu kalau jenazah di Tibet didiamkan selama tiga hari, lalu diletakkan di
alam terbuka. Tubuh jenazah tersebut disayat terlebih dahulu. Buat apa? Supaya memudahkan Burung Bangkai memakan jenazahnya. Iyaaa, jenazahnya sengaja dikasih ke para burung bangkai. 'Sky Dancer' sebutan buat burung bangkai di Tibet, kalau
kata Icak. Namanya cantik banget untuk hewan pemakan bangkai, apalagi ini memakan jenazah manusia.
Ternyata
memang seperti itu kebiasaan di Tibet. Mereka percaya kalau para Sky Dancer ini
yang akan membawa para jenazah ke surga. "Orang Tibet percaya hidup itu
siklus dan kematian bukanlah sesuatu yang harus disedihkan," cerita Icak
lagi.
Dalam
narasinya, Icak berulangkali bilang kalau selama dia traveling dia selalu
mencatat. Iya saya setuju banget! Catatan dan foto perjalanan bukan untuk
dipamerkan terus sombong-sombongan. Tapi sebagai pengingat sejarah, penanda
kalau kita pernah ke sana dan apa yang kita alami selama mengarungi perjalanan
tersebut.
Lagipula
jalan-jalan gak melulu tentang bersenang-senang toh. Dari traveling kita bisa
ketemu orang lain yang budayanya berbeda, pola pikirnya berbeda, cara hidupnya
pun berbeda. Dan perbedaan ini bukan untuk diributkan. Seperti kata Icak
"Perbedaan itu ada untuk dihargai. Pergi seluas-luasnya supaya tahu
kebudayaan orang lain seperti apa."
Mudik
ke Indonesia setelah merantau keliling dunia, Icak mengaku sudah tidak lagi
punya banyak uang. Tabungannya ludesdes!
"Pulang
ke Indonesia saya gak punya uang. Saya jual motor dan bikin buku. Saya bangga banget! Jangankan
yang jual motor, yang punya motor saja belum tentu bisa nerbitin buku kan?"
Kalimat dari Icak yang bikin geeeer peserta #NgobrolSore.
Cuplikan dari Photobooknya Darmastyo. Follow Icak di @Darmastyo |
Perjalanan
Icak keliling dunia makan waktu 181 hari. Kalau melihat foto-foto dan mendengar
ceritanya, tipe travelingnya Icak bukanlah tipikal perjalanan fancy. Gak mewah
sama sekali. Icak cocok disebut sebagai backpacker. Menginap di hostel murah,
numpang kendaraan orang lain, makan pun seadanya gak niat banget nyari makanan yang ada
nasinya.
Pasti
deh malam itu peserta #NgobrolSore banyak yang terinspirasi. Mungkin sesampainya pulang nanti ke
rumah atau kos-kosan, mulai pada nabung untuk bekal keliling Indonesia dan
dunia.
Anyway,
karena saya gak melihat pembicara yang pertama, saya browsing aja tentang orang
yang namanya Irfan Ramdhani ini. Beliau adalah penulis buku Tabah Sampai Akhir.
Bukunya memuat kisah nyata Irfan dalam berjuang menghadapi perubahan dalam hidup dan inspirasinya untuk menjalani hidup meski dengan dua kaki yang lumpuh.
Foto saya pinjam dari Instagramnya Irfan, follow @ramdhani_irfann |
Bukunya memuat kisah nyata Irfan dalam berjuang menghadapi perubahan dalam hidup dan inspirasinya untuk menjalani hidup meski dengan dua kaki yang lumpuh.
Kecelakaan
yang dialami Irfan menyebabkan kakinya lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Tapi Irfan gak patah arang. Usai pengobatan dan berbagai
terapi yang dijalani Irfan, dia kembali melanjutkan hobi travelingnya tidak
hanya ke pegunungan tapi juga menyelami lautan! Menjadi penyandang disabilitas
gak berarti gak bisa jalan-jalan dan menikmati hidup, Irfan berhasil
membuktikannya. Salut!
Ki-ka : Heri Latief, Irfan, Icak, dan host acara Sumber foto : Instagram Pustrop Wanadri |
Pulang
dari acara #NgobrolSore Pustrop Wanadri, saya ngerasa otak saya menggendut,
semangat saya menggebu dan mata saya ngantuk! Hahaha. Acara yang katanya
selesai pada pukul 21.00 itu molor hingga pukul sebelas malam. Saya sendiri
tidak menyadari malam sudah selarut itu :D tahu-tahu di jalan pulang ngantuk
aja.
Terima
kasih, Irfan, Feri, dan Icak. Juga Terima kasih, Pustrop.
tuh, kaaan! Saya juga setuju banget foto yang banyak bertebaran di internet adalah sebuah karya. Suka sebel aja kalau digeneralisir foto-foto itu pamer. Upload makananm, perjalanan, dll selalu dianggap pamer. Padahal foto bisa menjadi cerita. Bisa juga kita terinspirasi. Atau minimal sekadar kagum, lah. *Duh, pagi-pagi saya jadi curcol di sini :D*
ReplyDeletewkwkwkwk :D sering disebut pamer ya, mba chi? hahaha aduh sabar ya, maju terus pantang mundur! tetep foto-foto dan nulis-nulis!
DeleteKeren banget mas Ical, menginspirasi. Saya juga suka foto-foto yang berisi cerita , Lu.
ReplyDeleteIcak, teh uwien :D Beli bukunya, teh. Hehehe
DeleteAaaak suka banget sama foto-fotonya, bahkan semua mengandung arti disetiap jepretannya.
ReplyDeleteSeneng ya dapat pengalaman dari temen-temen sampai gak kerasa waktunya molor hehe
iya betul, seneng banget euy!
DeleteCeritanya Menarik banget Mak. Inspiratif.
ReplyDeleteSalam kenal Mak ;)
Aku malah suka lihat-lihat foto orang traveling. Ga pernah berprasangka buruk kalo mereka sedang pamer. Di IG aku follow akun-akun traveller. Btw, nice post, Ulu. Baru tahu juga tentang Sky Dancer itu. :)
ReplyDelete