Perahu kembali membawa kami ke Ciletuh bagian-ada-peradaban. Saya masih jadi roti bakar hangus di sini. Tapi anehnya, sedang panas-panasnya, sedang haus-hausnya, sedang lapar-laparnya, saya tertidur perahu. Terbangun pun karena dipanggil teman. Lu, udah nyampe. Bangun, Lu.
Perahu merapat. Gak bisa dijelaskan betapa senangnya saya melihat warung dan segera membeli satu botol air garam yang kemasannya biru itu lho. Habis tiga kali teguk. Bisa nih balik lagi ke Pantai Cikepek :D hahahaha belagu.
Sesi yang ditunggu-tunggu tiba: makan. Sholat sudah, istirahat sudah, tiga botol minuman habis sudah. Saya dan teman-teman sudah cukup segar dan berenergi untuk menuju situs wisata berikutnya: Air Terjun Cimarinjung!
Air terjunnya tinggi dan gak jauh dari areal parkir. Curug Cimarinjung saya nobatkan sebagai tempat wisata yang paling gampang dijangkau di Ciletuh. Gak ada halangan berarti lah pokoknya, enteng banget jalan kakinya.
Bebatuan di sini besar-besar. Raksasa gitu ukurannya. Guedeee banget! Eksotis lah batunya. Gurat di tebing sekitar air terjunnya juga seksi banget. Rasanya seperti ada di teras sebuah Gua. Emang dulunya Ciletuh ini gimana bentuknya ya, banyak bebatuan yang unik deh. Dari yang kecil sampai yang raksasa.
Di air terjun ini ada pintu airnya. Mungkin airnya dibelokin untuk mengairi lahan pesawahan ya soalnya di sekitar curug banyak sawah. Sepatu saya kembali basah di sini. Masa bodo lah hahaha yang penting bisa kecipratan air terjunnya dan motret dalam jarak dekat tapi aman.
Kalau berkunjung ke air terjun saya selalu celupin entah tangan atau kaki ke dalam air terjunnya. Semacam perkenalan dengan mereka. Saya gak datang untuk motret saja. Saya juga pengen kenalan dengan air dari curug-curug itu. Agak lebay sih tapi ya ibaratnya kamu kenalan sama orang kan pasti bersalaman, nah cara saya bersalaman dengan benda kayak air terjun itu adalah mencelupkan tangan saya ke dalam airnya. Gak lebay ah. Cuma sedikit sentimentil gitu :D
Satu lagi kunjungan berikutnya sebelum menutup hari. Land Rover mengangkut kami ke Puncak Darma. "Cuma 30 menit aja, Teh," kata Akang-akang PAPSI. Dan saya cuma yang ah gampang 30 menit doang mah, deket dong.
30 menit terlama dalam hidup saya hahahahaa :D
Jalan ke Puncak Darma offroad abis! Mending tanah datar doang gitu, ini mah berlubang lah, berbatu lah, sampai yang jembatan kayu doang ya ampun! Jalannya cuma muat satu mobil, jadi supir berkali-kali memencet klakson, siapa tahu ada kendaraan dari arah berlawanan. Saya gak bisa bayangin sih ada kendaraan lain di situ selain Landy yang kami naiki. Jalannya kayak gitu, mobil jenis apa lagi yang sanggup melintasinya selain Land Rover! Ada sih motor-motor, tapi motornya juga udah dimodifikasi.
Tangguh banget emang Land Rover. Saya duduk di paling belakang dan masih menahan badan takut jatuh. Tiap nanjak kan gak ada ampun ya, gravitasi tetap aja menarik badan saya. Tapi saya udah capek jadi gak teriak-teriak ketakutan, malah ketawa. Teman-teman yang lain juga pada tertawa. Seru banget!
Pemandangan laut terlihat dari kejauhan, menyembul di tengah dua bukit atau batang pohon bambu. Badan kami semua terguncang-guncang di dalam Landy, seperti sarden dalam kemasan yang dibawa lari anjing. Jalan seperti tak berujung. Lutut gemetar dan jantung saya pindah lokasinya entah di mana.
Sepanjang perjalanan berulang kali lihat pohon bambu dan tanah-tanah kosong, siapa yang menanam kebon di tempat seperti ini?
Satu tanjakan terakhir dan hup! Sampai. Tiba-tiba tidak ada tanah yang lebih tinggi dari tanah yang kami pijak. Udara terasa lebih sejuk. Pemandangan menakjubkan. Rasanya seperti di puncak dunia. Langit berawan dengan sedikit biru di atas sana. Kami berada di Puncak Darma.
Terima kasih namanya Puncak Darma. Bukan bukit teletubbies atau nama norak lainnya. Puncak Darma adalah nama yang indah.
Pengalaman terpanggang matahari di perjalanan pertama membuat saya sangat bahagia bisa ada di Puncak Darma. Seperti klimaksnya. Mungkin harus jadi roti bakar dulu sebelum merasakan momen rileks yang membahagiakan di ujung daratan ini. Hehe :D
Ciletuh terlihat megah dari Puncak Darma. Lautan yang menjorok ke daratan. Dan daratan yang luas terbentang dengan perbukitan di tiap sisinya. Rumah-rumah bergerombol menandakan satu desa. Bagaikan Drone, saya bisa melepas pandangan dari satu desa ke desa yang lainnya dengan pandangan mata burung.
Saya harus kembali ke Ciletuh tahun depan ketika musim hujan sedang sibuk-sibuknya. Pasti daratan Ciletuh lebih hijau dan lebat dari yang saya lihat sekarang. Pertunjukkan alamnya akan lebih dramatis! Kayaknya Maret dan April bisa dibilang best time buat berkunjung ke Ciletuh ya.
Walaupun jejak kemarau masih dominan pada pemandangan yang saya lihat, saya gak bisa berhenti memotret. Tetap saja indah. Tapi saya harus berhenti moto euy. Saya harus menikmati panorama tersebut tanpa kamera. Duduk dan diam saja, melihat ujung cakrawala,dan berusaha merekam kuat-kuat momen perasaan berada Puncak Darma. Foto gak bisa merekam perasaan.
Motret sudah, melamun sudah. Waktunya….makan! Ada dua warung bercokol (((bercokol)))) di Puncak Darma. Saya makan mie rebus di sini. Teman-teman juga menyantap sajian sederhana yang super gurih dan enak ini. Senangnya bisa makan mie rebus di tempat seindah Puncak Darma. Terima kasih, Tuhan!
Gak tahu kebaikan macam apa yang sudah kami (kloter dua) lakukan sampai muncul satu bonus lainnya: SUNSET! Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari. Terbenam. Matahari terbenam di Puncak Darma.
Hanya tinggal kami berenam yang ada di Puncak Darma. Tiba-tiba suasana terasa lebih hening. Kecuali bahwa Irfan menyetel Payung Teduh, ya untunglah bukan Koil :D
Saking indahnya sinar matahari sore yang menyorot ke laut, saya kira bakal ada sesuatu yang turun dengan anggun di sepanjang arah cahaya tersebut. Bidadari mungkin :D Tapi gak ada, sinar matahari yang nampak lembut dan magis itu secara perlahan redup, menarik dirinya dari batas garis pantai hingga terus ke arah laut di tengah lalu menghilang. Tinggal semburatnya yang masih menggantung. Berwarna jingga.
Dan saya rasa saya melihat ayah saya di sana. Di ujung cakrawala. Kami saling memandang tapi gak bicara apa-apa.
Saya perkirakan durasi matahari itu terbenam sebelum benar-benar tenggelam ke bumi bagian lain tidak lebih dari 10 menit. 10 menit yang melarutkan. 10 menit yang...magis.
Pertunjukan alam selesai. Waktunya pulang dan kembali mengarungi setengah jam dengan Landy ke titik pertama kami berangkat di Curug Cimarinjung.
Sepanjang perjalanan turun dari Puncak Darma saya gak bisa gak sentimentil (lagi). Kenapa ya setiap habis menginjakan kaki di tempat yang jauh dari rumah dan ketika saya harus pergi dari tempat itu, rasanya kayak ada yang tertinggal. Saya cuma mampir gak lebih dari dua jam, bukan seumur hidup saya tinggal di situ, tapi perasaan sentimentilnya masih terkenang sampai detik saya menulis ini.