4 Juli 2015. Pertama kalinya menghadiri acara kuliner yang unik. Kalau biasanya saya datang untuk kenyang, pengalaman baru-baru ini di Tribal Cuisine yang berlangsung di Salian Art Space, saya makan untuk mengapresiasi sebuah budaya. Tiba-tiba makanan buat saya terlihat lebih menyerupai artefak daripada sepotong daging berbumbu Andaliman.
Berlokasi di Salian Art Space di jalan Sersan Bajuri Bandung, Rahung Nasution mempresentasikan enam jenis masakan khas dari Batak dan Toraja. Self-chef tersebut tidak hanya menyajikan enam makanan secara bersambung satu persatu-satu, tapi juga menceritakan kisah dibalik makanannya. Lengkap kisah dari Mandailing dan Tanah Karo, hingga ke raja-raja Toraja.
Batak buat saya terasa masih jauuuuuh sekali. Beberapa teman saya orang Batak, tapi sudah terlalu Sunda untuk disebut Batak. Budaya Batak yang saya kenal ya dari novelnya Dewi Lestari, Gelombang. Beberapa bab awal di novel tersebut menceritakan kisah kecil Alfa Sagala di kaki Pusuk Buhit. Gara-gara baca Gelombang, saya kepengen banget bisa ke Sianjur Mula-Mula yang konon katanya awal dari suku Batak berada.
Perasaan yang sama dengan membaca Gelombang saya alami saat menghabiskan masakan Rahung. Menyantap masakan buatan Rahung, ada perasaan sentimentil yang membuat saya langsung kepengen terbang ke Batak dan Toraja!
Anyhow, siapa Rahung Nasution?
Anyhow, siapa Rahung Nasution?
Photo Courtesy : Salian Art |
Dia adalah seorang traveler yang menyukai kuliner. Menyukai di sini maksudnya bukan cuma suka-makan seperti orang kebanyakan (termasuk saya sih :D). Jauh lebih dari itu, Rahung mampu memasak masakan tradisional dan mempelajari budaya apa yang ada di balik makanan tersebut.
Lahir di Sayurmatinggi, Bangka Angkola, Tapanuli Selatan, Rahung Nasution sudah berkeliling negeri ini. Dalam perjalanannya, ia menghabiskan waktu di daerah-daerah terpencil dan senang bergabung dengan kaum ibu-ibu untuk ikut memasak.
Pada acara Tribal Cuisine Art, Rahung menyajikan enam masakan yang berasal dari Batak dan Toraja. Acara yang berkonsep fine dining ini diselingi dengan talkshow dan presentasi mengenai bumbu rempah-rempah dan kisahnya. Mulai dari asal-usul Kluwek dan menghubungkannya dengan frase Mabuk-Kepayang, kebiasaan masyarakat Batak yang gak menggunakan santan dalam masakannya, makanan raja-raja, ikan air tawar, sejarah dan kekecewaannya pada ekonomi pemerintah yang tidak berpihak pada petani Pala, dan masih banyak lagi. "Makanan terbentuk dari budaya. Cara terbaik memahami Indonesia adalah dari citarasa makanannya", ujar Rahung.
Ini susunan enam menu yang saya makan di Tribal Art Cuisine.
Photo Courtesy : Salian Art |
Menu 1: Ikan Lais Garing dengan Salsa Andaliman.
Rasanya pedas dan menghentak. Pedasnya memberi rasa hangat yang saya butuhkan karena malam itu di Salian Art Space udaranya dingiiiiin sekali. Cocok disebut sebagai menu pemanasan.
Menu 2: Mie Gomak.
Berupa Mie Lidi, daging ayam suwir, honje, dan santan. Setelah disentak dengan rasa pedas, Mie Gomak bagaikan bantal bulu angsa. Lembut dan memberi kenyamanan. Bumbunya cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, sereh, daun jeruk, daun salam, dan garam.
Menu 3 : Lawa Pakis Lindung.
Terdiri dari suwiran daging belut yang dipanggang. Toppingnya kelapa parut sangrai. Ada kenari dan pakis juga. Rasanya aneh buat lidah saya yang terlalu sunda-jawa. Aneh tapi enak. Terutama rasa renyah dari pakis dan kelapa sangrainya.
Searah jarum jam : Udang Pammarasan - Ikan Tombur - Ayam Saksang - Lawa Pakis Lindung |
Menu 4 : Udang Pammarasan.
Udang galah dengan saos Kluwek. Pengalaman unik memakan udang dengan saos kluwek, rasanya itu loh. Kluwek dalam kamus saya biasanya menjadi bumbu Rawon dan rasanya gurih. Kayaknya menu-menu Batak dan Toraja ini memang gak dibuat untuk gurih ya. Rasanya alami banget, makan saos kluwek berasa kayak nelen kluweknya.
Menu 5 : Ayam Saksang.
Suwiran daging ayam, hati ayam, Ombu-ombu, dan Andaliman. Kalau di tempat aslinya, menu ini menggunakan daging babi.
Menu 6 : Ikan Tombur
Sepotong daging ikan Gurame. Berbumbu bawang merah, kunyit, batang kecombrang muda, dan kemiri.
Tribal Cuisine Art adalah acara kuliner yang berisi banget. Harus lebih banyak diadakan acara kayak gini, supaya jadi ajang edukasi bahwa tujuan makan bukan untuk perut kenyang saja. Tapi juga mengenal produk makanan lokal dan kepentingannya di masa sekarang. Seharusnya lebih banyak koki macam Rahung yang muncul di televisi nih.
Makanan lokal berujung pada produk budaya leluhur. Makanan apa sih yang nenek moyang kita makan dulu? sudah sejauh apa sih produk pangan kita melenceng dari titik mula buyut-canggah-wareng kita makan dulu? Kalau mereka bisa bertahan dengan makan singkong dan sagu yang terkenal mampu tumbuh sepanjang tahun, lalu kenapa kita sangat tergantung dengan beras yang tumbuhnya musiman?
"Makanan seharusnya dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Bukan sekedar pekerjaan ibu-ibu di rumah" - Rahung Nasution.
Photo Courtesy : Salian Art |
Photo Courtesy : Salian Art |
Photo Courtesy : Salian Art |
Teks : Ulu
Foto : Salian Art, Ulu
Paroek, susah moto bagus makananya. Pake flash malah beuki goreng :(
ReplyDeleteHehehe iya, Kang. Tapi mungkin ada tekniknya motret di tempat yg gelap tanpa pake flash.
DeleteKhawatir jadi lapar kalau buka blog ini, nyatanya malah terpesona, kayak masuk galeri seni gitu
ReplyDeleteMaksudnya postingan yang ini? Salian Art emang galeri seni. Saya gak bawa pasangan saya yg biasanya tukang motret, Ko :D jadi ya moto pake kamera HP. Itu juga udah perjuangan banget karena moto dibawah sinar rembulan pake kamera HP susah gilaaaa hahaha :D
DeleteBumbunya unik-unik, ya, Lu. Meski ga familiar tapi sukses bikin penasaran. Kekurangannya satu aja, sizenya kecil-kecil hahahaha *kecil-kecil maruk, nih*
ReplyDeletehahaha dasar. kan fine dining konsepnya. dan itu 6 menu loh, teh. 6 piring. dengan menu yang baru buat lidah jawa sunda, porsinya kemarin udah cukup banget. hehehe
Deletesaya belum pernah makan masakan batak. Tapi umumnya masakan sumatra itu kaya bumbu, ya :)
ReplyDeleteIya karena ada pengaruh daru budaya India dan China, kalau kaat Rahung begitu.
DeleteMasih pengen lagiiii ^^ masakan Indonesia ternyata ga kalah sama masakan Barat ya dalam hal citarasa :)
ReplyDeletejauuuuh :D barat terlalu hambar hehehe
DeleteHiks tadinya mau datang ke acar itu tapi nggak jadi. Mupeng deh sama menunya T.T
ReplyDeleteyaaah sayang gak dateng, eviiii. bagus bgt acaranya
Deleteporsinya kecil-kecil ya mba tapi banyak macamnya :)
ReplyDeletenamanya kan fine dining. bukan makan kayak biasanya :D
DeleteSaya setuju dengan kalimat terakhir.. Contohnya dari jenis bumbu yang digunakan saja, yang saya yakin bdrbeda-beda di tiap negara. Itu ternyata bisa berhubungan dengan kelembaban, dan banyaknya kuman di daerah tersebut. Semakin lembab dan banyak kuman, maka semakin kaya bumbu dan rempah. Dan masih banyak yang lainnya..
ReplyDeleteSalut untuk Rahung.. ! ^_^
wah saya baru tau! makin banyak kuman, makin kaya bumbu :D
Deletewuahahaha...aku yg org batak asli aja, tp kelamaan merantau, cm prnh nyicipin mie gomak ;p.. menu2 lain di atas baru dgr pas baca ini malah ;p Tapi kalo rasanya pedes, sudahlah, aku pasti suka :D
ReplyDelete