Pengabaian tampaknya semakin
menjadi sebuah kelaziman. Tak peduli bahwa hal itu akan mengarahkan pada
ketidakpahaman-ketidakpahaman, manusia melaju hidup tanpa mau memikirkan bahwa
segala sesuatu yang ada di Semesta ini saling berkaitan. Masa datang bahkan menjadi
terlalu transparan hanya akan dipenuhi penyesalan yang disandingkan dengan
kesedihan karena yang singgah dan berkehidupan terus semakin tak acuh pada keadaan.
Bandung dalam
perkembangannya adalah contoh nyata dari pengabaian berkepanjangan. Sangat
terlihat bagaimana kebutuhan mewajahkan modernitas telah mematikan kepedulian
bahkan untuk sekadar mengenali sosok sebenarnya dari kawasan tersebut.
Ketidakpahaman mengakibatkan Bandung diperlakukan tidak tepat sehingga
mengancamnya untuk terus tersudut semakin jauh dari kondisi nyaman.
Lihat saja: tata kota yang berantakan, saluran air yang tak begitu mampu meminimalisir dampak banjir cileuncang, masalah tak berkesudahan tak jauh dari sisian Ci Tarum di Bandung Selatan, semakin jelasnya warna polusi yang melingkupi hingga langit pun semakin buram, hujan es bukan lagi suatu keanehan, persediaan air tanah yang mencemaskan karena akan segera punahnya gunung-gunung kapur berharga akibat penambangan juga ketiadaan hutan-hutan.
Meski
begitu, terberkatilah kawasan cekungan yang selalu membuat siapa pun yang
singgah dan tinggal didalamnya jatuh hati lalu tergerak untuk menjaga dengan
rupa-rupa cara. Pasangan T. Bachtiar dan Dewi Syafriani contohnya.
Bandung Purba lah salah satu wujud dari
kecintaan mereka. Kumpulan tiga puluh enam catatan perjalanan pasangan
suami-istri tersebut hadir sebagai sebentuk upaya untuk mengenalkan tentang apa-&-siapa Bandung sesungguhnya.
Penyajian
dalam bahasa yang ‘renyah’, multi aspek, serta mampu memancing
visualisasi dalam kepala, membuat catatan-catatan
yang mengupas tentang keindahan sekaligus kekayaan (secara keilmuan) yang dimiliki Cekungan Bandung
menjadi begitu istimewa. Dalam
kedua ratus enam puluh delapan halaman hitam putih Bandung Purba yang juga
dilengkapi gambar-gambar pendukung, secara tak langsung, keduanya
pun mengenalkan bagaimana cara lain menikmati Dokumentasi Bumi tanpa harus
memiliki latar belakang pengetahuan spesifik kebumian.
Belum
terbayang? Mari coba simak potongan catatan yang berada di halaman 83. “Gunungapi Purba Manglayang” judulnya.
Dari arah Cibiru, Cileunyi, dan Jatinangor, Gunung Manglayang
(+1817 meter) tampak seperti berada di awang-awang, melayang bersayapkan
mega-mega. Toponimi gunung ini berasal dari kata layang yang ditambah awalan ma
yang kini sudah tidak produktif lagi, menjadi ma+layang, yang kemudian
berubah menjadi ma(ng)layang. Pada
awal perkembangan bahasa Sunda, awalan ma
sangat produktif dipakai masyarakat, seperti terdapat dalam kata ma+riuk, ma+rieus, ma+leber, ma+labar,
dan lain-lain, yang menunjukkan maksud seperti atau menyerupai. Jadi, Bukit
Manglayang itu seperti bukit yang melayang, bukit yang seperti terbang.
...
Kronologi pembentukan Gunung Manglayang terbentuk dalam
rentang waktu antara 2,5 – 1,8 juta tahun yang lalu. Pertama adanya gunungapi
yang kemudian meletus dahsyat merubuhkan dinding gunung sisi tenggaranya.
Setengah lingkaran pertama merupakan Manglayang purba 1, merupakan lengkungan
terluar, yang sumbing dan terbuka ke arah tenggara selebar 5 km. Di bagian ini
ada tempat yang lebih menonjol, disebut Pasir Patokbeusi (1557 meter). Di dasar
gawirnya terdapat sungai yang mengarah ke selatan, seperti: Ci Seupan, Ci
Palintang, Ci Nambo. ...
Seusai
membaca catatan tersebut, maka pembaca tak hanya akan mengetahui sejarah
terbentuknya Manglayang beserta muatan informasi geografis yang terkait
dengannya saja, namun bisa pula mendapat pengetahuan tentang mengapa gunung
yang berada di timur Bandung itu diberi nama Manglayang. Bahkan lebih jauh
dimungkinkan bagi orang-orang dengan minat visual khusus akan berburu lokasi
dan saat yang tepat agar bisa mendapati Manglayang terlihat bagaikan gunung melayang
terbang di atas awan.
Dalam ketiga puluh lima catatan lain, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani
mengajak para pembaca untuk ikut berkelana di sepanjang kawasan Karst
Rajamandala yang merupakan bukti bahwa dulunya tepian utara Laut Jawa
menghampiri Parahiyangan, merasakan kenikmatan menghabiskan waktu di teras
Sanghyang Poek yang dilalui alir Ci Tarum bersih (7 kilometer yang masih
terjaga dan memiliki kondisi berbanding terbalik dengan sekitar 290 kilometer
lainnya), mengenalkan bahwa ibu dan nenek dari gunung Tangkubanparahu adalah
gunung Sunda dan gunung Jayagiri yang termahsyur lewat lagu, memberitahukan
sebuah rahasia kecil tentang karembong
(selendang) Dayang Sumbi yang tersangkut jatuh
di Lembah Ci Kapundung, berbagi tentang apa
saja yang termuat dalam sebuah Laboratorium Akbar berdinding angin beratap langit di kawasan
cekungan yang telah meninggalkan kesan begitu kuat pada berbagai kalangan
(seniman, sastrawan, ilmuwan, olahragawan).
Maka,
demi sebaik-baiknya berkehidupan yang tak hanya memikirkan diri sendiri
melainkan juga masa depan, mewariskan kelayakan bagi generasi mendatang,
mewajahkan sebuah kata ‘sayang’ agar tak cuma ada di mulut lalu terbuang;
adakah terlalu berat untuk mulai mengenali tempatmu singgah bahkan tinggal? Mulai
mencari tahu bagaimana caranya agar dapat ikut menjaga ‘rumah’-mu biar tetap nyaman
dan berumur panjang?
Untuk
Bandung yang semakin didekatkan pada “kehilangan harapan” oleh sejumlah
pembangunan tanpa pemahaman, paling baik jika itu semua dilakukan: sekarang – mengisi
amunisi kepedulian dengan pengetahuan.
Judul
|
Bandung Purba – Panduan
Wisata Bumi
|
Penulis
|
T. Bachtiar dan Dewi
Syafriani
|
Penerbit
|
Dunia Pustaka Jaya
|
Edisi
|
2
|
Cetakan
|
1
|
Tahun Terbit
|
November 2012
|
ISBN
|
978-979-419-379-2
|
- - - - - -
Buku ini dapat diperoleh di toko Lawang Buku. Di toko buku biasa kayaknya sudah pada habis deh. Coba aja browsing yah kalau mau beli bukunya.
Buku ini dapat diperoleh di toko Lawang Buku. Di toko buku biasa kayaknya sudah pada habis deh. Coba aja browsing yah kalau mau beli bukunya.
Resensi ini ditulis oleh penulis dan fotografer :Ayu Wulandari (Kuke)
Bagus banget deh artikelnya, saya baca dari awal hingga akhir
ReplyDeletesepertinya buku Bandung Purba menarik untuk dibaca ya. Bisa cari dimana?
ReplyDeleteWaaah seru ya sejarahnya. Bagusnya para ilmuwan menulis buku semua ttg hasil penelitiannya dengan bahasa yang mudah dimengerti publik.
ReplyDelete