“Ngopi yuk”
“Euu anu, saya gak minum kopi
euy”
“Ih bukan. Maksud saya nongkrong,
gak mesti minum kopi”
“Oh! Tapi tadi katanya ngopi?”
“Iya gak mesti minum kopi atuh,
Lu”
“Oh gitu, terus ngopi di mana
kita?”
“Berhubung akhir bulan & duit
saya tinggal selembar 20 ribu ini saja, saya traktir kamu ngopi di Warung Mang
Eboy saja, ya. Makan gorengan atau minum air putih juga itu namanya Ngopi, Lu”.
“Ohhhh jadi yang penting ngemil
ya?”
“Ngopi itu artinya ngemil sambil
ngobrol alias nongkrong!”
Ngopi merupakan satu dari sekian
banyak istilah dan kebiasaan di Bandung yang saya pelajari dari teman kuliah.
17 tahun saya tinggal di
Indramayu dan Cirebon, tak satu pun kerabat dan teman yang ngajak nongkrong
dengan istilah Ngopi. Kalau di sana namanya Midang dan Jabur. Midang artinya nongkrong di teras depan rumah, Jabur artinya ngemil makan kue. Semua istilah tersebut artinya sesuai.
Sementara itu di Bandung, Ngopi artinya nongkrong di mana saja sambil ngemil dan minum kopi, teh, atau air putih. Tidak hanya nenek saya, teman kuliah pun sering mengajak saya nongkrong dengan kata kunci : Ngopi. Di teras rumah, di meja makan setelah bangun tidur, sampai di depan pintu kelas di kampus.
Sementara itu di Bandung, Ngopi artinya nongkrong di mana saja sambil ngemil dan minum kopi, teh, atau air putih. Tidak hanya nenek saya, teman kuliah pun sering mengajak saya nongkrong dengan kata kunci : Ngopi. Di teras rumah, di meja makan setelah bangun tidur, sampai di depan pintu kelas di kampus.
Budaya Ngopi yang belakangan baru
saya ketahui ini mempertegas budaya kuliner di Bandung yang kuat sekali. Orang
Bandung senang berkumpul, kapan pun ketika senggang. Di warung, di kafe, di
restoran, bahkan di lantai teras perpustakaan. Budaya berkumpul ini melahirkan
budaya makan cemilan. Namanya orang ngobrol kan lebih seru kalau ada sesuatu
yang bisa dicemil. Garing amat kalau ngobrol melulu. Lapar euy :D
Saya sih yakin budaya Ngopi ini
lahir karena cuaca Bandung yang adem dan sejuk. Karena jarang keluar keringat
saking ademnya, orang Bandung lebih cenderung tenang dan kalem. Berbeda dengan
orang-orang yang pernah mengisi hidup saya di zaman SD sampai SMA di pesisir jawa bagian utara. Saya dan
mereka saat itu keluar keringat lebih banyak karena cuaca yang panas. Tidak
heran orang yang tinggal di dataran rendah tropis lebih terlihat gelisah dan
bergerak lebih cepat.
Orang Bandung di mata saya yang
baru mahasiswi waktu itu adalah orang-orang yang lamban. Lebih banyak tertawa
dan lebih banyak bermain kata jika ingin mengungkapkan sesuatu, entah itu
marah, kecewa, atau senang. Rasanya sampai saat ini pun, setelah menjadi
penduduk Bandung selama 12 tahun, saya masih selugas orang Pantura dan membuat
beberapa orang tersinggung karena sikap saya yang terlalu berterus terang. Padahal sesungguhnya saya hanya sedang secara refleks menampilkan budaya ekspresif dan terbuka ala orang pantai.
Kalau ada yang berhutang, saya
pasti tagih langsung di muka orangnya.
Kalau ada yang sikap yang saya
tak suka, saya pasti tegur orang yang bersangkutan.
Kalau saya tak puas, saya protes
langsung di hadapan orang itu.
Kalau saya marah, tampak muka
saya manyun menahan geram dan memperlihatkannya langsung ke subjek yang membuat
saya marah.
Sikap yang ekspresif ini saya
peroleh dari hasil tumbuh kembang di Indramayu dan Cirebon. Di dua kota
tersebut, saya belajar untuk menyampaikan maksud langsung ke tujuan, langsung
kemukakan maunya apa disertai intonasi suara yang tinggi, tentu saja. Bukan
karena marah, hanya saja memang seperti itu kalau di Pantura. Orang berbicara
seperti sedang berteriak. Berbeda ketika saya di Bandung.
Segala sesuatunya berjalan perlahan dan berputar-putar. Orang-orangnya
berbicara seperti sedang bernyanyi. Merdu dan lembut.
Di penghujung umur 20, saya
adalah setengah Laut dan setengah Gunung. Dahulu saya lugas dan tegas, sekarang
saya sudah (sedikit) lebih lembut. Sekarang sudah mulai bisa mengatur volume suara paling enggak lah, tergantung siapa yang saya ajak bicara.
Kontur dataran yang berbeda dan cuaca yang kontradiktif berpengaruh
besar dalam budaya. Lucu juga saya sanggup bertahan di dua kutub yang berbeda,
bahkan menikahi salah satunya.
Dalam bahasa Sunda, kesimpulan
dari yang saya alami ini namanya Jawadah tutung biritna, sacarana-sacarana. Artinya adat istiadat
dan kebiasaan di tiap daerah berbeda-beda, masing-masing punya kebiasaan sendiri. Namun saya yakin tidak ada diantara keduanya yang lebih baik. Semua adat dan kebiasaan di tiap daerah sama baiknya.
Sudah diatur oleh Tuhan sesuai dengan cuaca dan kontur datarannya, bukan?
Shock-culture alias gegar budaya karena perbedaan itu hal yang wajar, yang penting pegang kata kunci ini baik-baik kalau sedang berada di daerah lain, supaya kita bisa membawa diri bukannya tidak tahu diri: jawadah tutung biritna, sacarana sacarana. Beda tempat, beda adat. Sesuaikan perilakumu dengan tempat kamu berada.
Hidup Gunung!
Hidup Laut!
wah pecinta gunung dan laut ya. nice !
ReplyDelete