Saya ingin menanamkan kepada
perempuan bumi putera,
sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala.
Agar
mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya
dan tidak melulu
bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain.
- Dewi Sartika, pendiri sekolah perempuan pertama di Bandung-
Tahun
1906 Dewi mendirikan sekolah. Atas bantuan Bupati Bandung dan
pemerintah kolonial yang berhati baik, Dewi membangun sekolah pertamanya bernama Sakola Istri.
Seorang Inspektur Hindia Belanda, C.Den Hammer bertanya pada Dewi Sartika. Kenapa kau mau mendirikan sekolah?
Seorang Inspektur Hindia Belanda, C.Den Hammer bertanya pada Dewi Sartika. Kenapa kau mau mendirikan sekolah?
Dewi Sartika menjawabnya dengan kalimat yang saya cantumkan bagian paling atas dari tulisan ini. Ayo dibaca lagi :D
Bayangin. Satu abad lalu ada perempuan yang terbatas banyak hal mengatakan tentang
pentingnya pendidikan untuk perempuan. Memalukan kalau sekarang banyak anak-anak muda
memilih untuk berhenti sekolah karena alasan yang tidak prinsipil, misalnya karena gak dibelikan motor atau malas. Ada kok yang kayak gitu.
Hammer si kompeni, bersimpati pada pejuangan Ibu Dewi dan mempertemukannya dengan Bupati Bandung, Martanegara. FYI, Bupati Bandung inilah yang dulu membuang ayahnya ke pengasingan. Buat jelasin kenapa ayahnya Dewi Sartika dianggap pemberontak ya panjang lagi sih.
Balik ke Dewi Sartika. Akhirnya sekolah pertama di Indonesia (Hindia Belanda)
khusus untuk kalangan perempuan pribumi resmi berdiri. Pengajarnya hanya ada 3 orang,
termasuk ibu Dewi sendiri.
Keberadaan
sekolah ini menarik minat banyak orang tua. Mereka
menyekolahkan anak perempuannya disini. Tercatat ada 60 orang yang daftar!
Animo negatif justru datang dari sebagian besar perempuan kalangan menak.
Keluarga dan lingkungan sekitar Dewi Sartika. Menurut mereka, tidak seharusnyalah pelajaran-pelajaran tata krama dan baca tulis yang sebelumnya hanya untuk kalangan priyayi kini diajarkan pada rakyat biasa. Lalu apa bedanya kami dengan mereka, begitu protes perempuan-perempuan menak ini. Tapi Ibu Dewi tak mau dengar. Maju terus pantang mundur. Baginya, pendidikan tak kenal kelas. Perempuan harus mandiri. Pendidikan adalah kuncinya.
Sekolah
Ibu Dewi Sartika makin populer. Banyak surat kabar memberitakan Sakola Istri. Makin eksis aja ini sekolah.
Tahun 1910, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Sekolah yang punya moto Cageur Bageur ini punya program menarik. Yakni membuat pameran yang memajang karya murid-muridnya di sekolah mereka sendiri.
Tahun 1910, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Sekolah yang punya moto Cageur Bageur ini punya program menarik. Yakni membuat pameran yang memajang karya murid-muridnya di sekolah mereka sendiri.
Murid-muridnya senang karena
karyanya diapresiasi. Perempuan kini punya taji menunjukkan diri bahwa mereka
sama cerdasnya dengan lelaki.
Dewi Sartika menikah pada
umur 23 tahun dengan lelaki bersahaja dan baik hati. Suaminya mampu mengimbangi
cara berpikir Dewi Sartika. Keduanya cocok, seperti buku tulis dan pinsilnya,
saling melengkapi. Saling menguatkan, saling memberi kesempatan*.
Ibu
Dewi mulai banyak kesibukan. Selain mengajar, beliau juga sering menulis di surat kabar dan memberikan ceramah di luar kota.
Tak hanya membicarakan sekolah dan pendidikan perempuan, Ibu Dewi
juga kerap kali membahas perihal pertentangnnya akan poligami, perjodohan,
prostitusi, dan semacamnya.
Bu Dewi juga pernah berguru membuat Batik pada kakaknya Kartini, Raden Ajeng Kardinah, di Kendal. Ilmu membatik ini kemudian diajarkannya pada murid-muridnya di Bandung.
Kebayang gak kalo saat itu Kartini masih hidup dan ketemu Dewi Sartika. Mungkin Kartini bakal bikin tulisan tentang Dewi Sartika. Dijadikan buku dan laku terjual di Belanda, sama kayak buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu. Atau mungkin kalau Kartini curhat ke Dewi Sartika, jadi terinspirasi dan jadi berani, lebih frontal dalam menunjukkan bahwa dia gak mau dipoligami dan pede mendirikan sekolah secara terang-terangan. Seperti Dewi Sartika. Tapi perannya memang beda-beda ya mereka berdua teh.
Bu Dewi juga pernah berguru membuat Batik pada kakaknya Kartini, Raden Ajeng Kardinah, di Kendal. Ilmu membatik ini kemudian diajarkannya pada murid-muridnya di Bandung.
Kebayang gak kalo saat itu Kartini masih hidup dan ketemu Dewi Sartika. Mungkin Kartini bakal bikin tulisan tentang Dewi Sartika. Dijadikan buku dan laku terjual di Belanda, sama kayak buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu. Atau mungkin kalau Kartini curhat ke Dewi Sartika, jadi terinspirasi dan jadi berani, lebih frontal dalam menunjukkan bahwa dia gak mau dipoligami dan pede mendirikan sekolah secara terang-terangan. Seperti Dewi Sartika. Tapi perannya memang beda-beda ya mereka berdua teh.
Masa kejayaan sekolah untuk kaum perempuan ini mulai luntur. Semua dimulai setelah wafatnya Sang Suami. Dewi Sartika terpukul.
Kehilangan orang yang ia rasa paling mendukungnya. Tak mau lama berlarut dalam
duka, ia menyibukkan diri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk sekolahnya.
Lalu Jepang datang. Sekali tepuk, mereka memporak-porandakan Bandung dan seisinya. Termasuk sekolah Kautamaan Istri. Nama sekolah diubah, kurikulum dirombak, dan jumlah murid berkurang banyak.
Masa sulit ini berlanjut dengan agresi militer Belanda. Bandung
Lautan Api adalah klimaks dari berakhirnya sekolah yang didirikan ibu Dewi
tersebut.
Dewi Sartika dan banyak penduduk lainnya berjalan kaki mengungsi ke arah selatan pada waktu Bandung dibakar. Di Ciamis lah Ibu Dewi menetap dan mulai sakit-sakitan. Saya bisa membayangkan (tapi tidak bisa merasakan) bagaimana rasa sedih mendalam yang dialami Dewi Sartika. Sekolah dan cita-cita yang dirintisnya rubuh karena politik. Perang mematikan banyak hal. Korbannya tak hanya kerusakan fisik, tapi juga cita-cita, perjalanan hidup manusia.
11 September 1947, Ibu Dewi wafat. Ruhnya pergi mengembara
ke alam baka dengan membawa segala kenangan tentang sekolah yang teramat ia cinta.
Dewi Sartika tak tahu kalau jasanya jadi inspirasi banyak orang. Termasuk saya. Sekolahnya bangkit lagi, walau tidak tersohor namanya seperti dulu kala. Kalau ada mesin waktu, saya mau kembali sebentar ke Bandung tahun 1910an, melongok kejayaan sekolah ini dan bersalaman dengan beliau.
Baca juga bagian pertamanya, Ini Dewi Sartika, Perintis Sekolah Khusus Perempuan di Bandung
Baca juga bagian pertamanya, Ini Dewi Sartika, Perintis Sekolah Khusus Perempuan di Bandung
Last but not least:
1. Foto-foto ini dijepret dalam acara jalan-jalan komunitas sejarah bernama Aleut. Tema jalan-jalannya Ngaleut (menyusuri) jejak Dewi Sartika di Bandung, Mei 2011. Fotografer: Yandhi Depol
2. Tulisan ini dibuat berdasarkan buku biografi Raden Dewi Sartika Sang Perintis karya Yan Daryono
3. Saling menguatkan, saling memberi kesempatan. Kalimat ini berasal dari Geograf bernama T. Bachtiar. Waktu berkunjung ke Belitung, beliau moto pemandangan dan caption fotonya menurut saya lebih memikat dari fotonya :D Saya kutip disini karena cocok sekali menggambarkan hubungan Dewi Sartika dengan suaminya, Raden Agah Kanduruan Suriawinata.
saya syka tulisannya :D
ReplyDeleteWah Linda, hatur nuhuuun :)
DeleteSaya tidak terlalu suka sejarah karena selama sekolah hanya ada tulisan saja di buku sejarah, tapi kalau belajar sejarahnya kayak begini siapa takut :D
ReplyDeleteTerima kasih untuk ulasannya Mbak :D
iya sama saya juga, mba :)
Deletesaya alumni smp dewi sartika hehahahaha
ReplyDeletewah bisa bagi2 cerita nih tentang Bu Dewi barangkali? :D
DeleteSuka tulisannya
ReplyDeleteasyik ada komunitas bersejarah gitu... dijakarta ada ga ya mak
ReplyDeleteWaah...jadi tahu cerita Dewi SArtika baca tulisan ini. Biasanya cuma tahu kalau beliau pahlawan nasional.
ReplyDeletesaya br ngeuh cerita lengkap tentang dewi sartika setelah baca ini...
ReplyDeletemenginspirasi sekali yah...
Keren ceritanya. Belajar sejarah mmg perlu buat yg muda2. Blogwalking salam kenal.
ReplyDelete