Diary ini tentang Malam minggu di Surabi Imut yang sudah tidak lagi imut tapi obesitas alias gendut, namun sehat secara keuangan bagi pemiliknya :D
Semalam saya keluar rumah, bersama suami dan anak juga adik saya. Kalau gak salah seusai adzan Isya. Berarti saat itu pukul setengah delapan malam.
Jarak dari rumah saya ke pusat kota hanya beberapa menit saja. Karena dekat, kami putuskan jalan kaki. Dengan berjalan kaki jarak tempuhnya menjadi hampir 30 menit. Kami bukan berjalan kaki di pinggir jalan raya Setiabudi ya, melainkan masuk ke jalan-jalan kecil dan kampus UPI.
Tujuan kami adalah Surabi Setiabudi.
Kata adik saya, surabinya punya rasa yang lezat dan ukurannya lebih besar daripada Surabi Imut yang ada di sebrangnya itu.
Tidak ada gejala yang menunjukkan hiruk pikuk pada saat kami berjalan kaki. Ada banyak pohon besar di kampus UPI, hanya segelintir orang saja yang berpapasan dengan kami. Beberapa ruas jalan di kampus malah gulita.
Dari area kampus UPI, kami menembus kawasan Gerlong. Suasana mulai ramai. Saya sudah tahu bahwa kami sedang menjelang keramaian. Malam minggu gitu loh.
Namun saya tidak menyangka bakal seramai itu. Hingar bingar. Pusing kepala saya. Asap rokok bertebaran mengotori udara Bandung. Musik bertalu. Kendaran dimana-mana baik yang parkir maupun yang terkena macet. Ugh pengap sekali rasanya Bandungku ini.
Kami berempat berunding. Surabi Setiabudi terlalu penuh orang dan asap rokok. Saya menolak masuk kesitu, juga suami saya. Ada sedikit keluarga yang juga sedang makan-makan disitu. Tidak enak dilihat. Maksud saya, ada percampuran area antara keluarga (ada anak kecil) dengan muda-mudi yang sedang senang-senang. Saya rasa mereka sedang berada di tempat yang benar tapi waktu yang salah.
Seperti kami.
Malam minggu di Bandung sebaiknya di rumah saja.
Alhasil kami memasuki Surabi Imut. Suasananya tidak kalah ramai namun lebih beradab. Kami naik ke lantai dua dan secara kebetulan ada satu 'hot spot' yang kosong. Kami pesan makanan dan meminta pelayan membersihkan meja yang amburadul karena baru saja beberapa orang makan disitu. Pelayannya cantik berambut panjang dan sama sekali tidak mengucapkan kata 'maaf' dan 'terima kasih' pada kami. Hanya 'Oh' saja. Tuh, Surabi Imut, benerin pelayanannya.
Saya pesan pisang bakar keju susu.
Suami saya milih Pempek.
Adik saya pesan dua surabi 'modern' sekaligus.
Sejujurnya harga makanan di Surabi Imut terlampau mahal untuk kami yang orang lokal ini. Pisang bakarnya 6ribu. Nampak murah, ya? Sejujurnya dengan porsi yang dihidangkan, harganya jadi terlampau mahal buat saya. Tapi nama (merek) Surabi Imut tidak lantas membuatnya bersalah karena memasang harga tersebut. Walau begitu, saya masih merasa itu diatas harga rata-rata.
Beberapa harga makanan 'kampung' dengan rasa modern harganya sudah harga turis. Suasananya juga seperti 'terpaksa menikmati daripada gak ada'. Tidak ada kenyamanan dan kehangatan yang Bandung banget. Semua serba komersil saya rasa.
Tidak menyalahkan Surabi Imut.
Saya menyayangkan Bandung yang kewalahan menghadapi ini.
Atau mungkin... saya, orang lokal, yang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan ini ya...
Semalam saya keluar rumah, bersama suami dan anak juga adik saya. Kalau gak salah seusai adzan Isya. Berarti saat itu pukul setengah delapan malam.
Jarak dari rumah saya ke pusat kota hanya beberapa menit saja. Karena dekat, kami putuskan jalan kaki. Dengan berjalan kaki jarak tempuhnya menjadi hampir 30 menit. Kami bukan berjalan kaki di pinggir jalan raya Setiabudi ya, melainkan masuk ke jalan-jalan kecil dan kampus UPI.
Tujuan kami adalah Surabi Setiabudi.
Kata adik saya, surabinya punya rasa yang lezat dan ukurannya lebih besar daripada Surabi Imut yang ada di sebrangnya itu.
Tidak ada gejala yang menunjukkan hiruk pikuk pada saat kami berjalan kaki. Ada banyak pohon besar di kampus UPI, hanya segelintir orang saja yang berpapasan dengan kami. Beberapa ruas jalan di kampus malah gulita.
Dari area kampus UPI, kami menembus kawasan Gerlong. Suasana mulai ramai. Saya sudah tahu bahwa kami sedang menjelang keramaian. Malam minggu gitu loh.
Namun saya tidak menyangka bakal seramai itu. Hingar bingar. Pusing kepala saya. Asap rokok bertebaran mengotori udara Bandung. Musik bertalu. Kendaran dimana-mana baik yang parkir maupun yang terkena macet. Ugh pengap sekali rasanya Bandungku ini.
Kami berempat berunding. Surabi Setiabudi terlalu penuh orang dan asap rokok. Saya menolak masuk kesitu, juga suami saya. Ada sedikit keluarga yang juga sedang makan-makan disitu. Tidak enak dilihat. Maksud saya, ada percampuran area antara keluarga (ada anak kecil) dengan muda-mudi yang sedang senang-senang. Saya rasa mereka sedang berada di tempat yang benar tapi waktu yang salah.
Seperti kami.
Malam minggu di Bandung sebaiknya di rumah saja.
Alhasil kami memasuki Surabi Imut. Suasananya tidak kalah ramai namun lebih beradab. Kami naik ke lantai dua dan secara kebetulan ada satu 'hot spot' yang kosong. Kami pesan makanan dan meminta pelayan membersihkan meja yang amburadul karena baru saja beberapa orang makan disitu. Pelayannya cantik berambut panjang dan sama sekali tidak mengucapkan kata 'maaf' dan 'terima kasih' pada kami. Hanya 'Oh' saja. Tuh, Surabi Imut, benerin pelayanannya.
Saya pesan pisang bakar keju susu.
Suami saya milih Pempek.
Adik saya pesan dua surabi 'modern' sekaligus.
Sejujurnya harga makanan di Surabi Imut terlampau mahal untuk kami yang orang lokal ini. Pisang bakarnya 6ribu. Nampak murah, ya? Sejujurnya dengan porsi yang dihidangkan, harganya jadi terlampau mahal buat saya. Tapi nama (merek) Surabi Imut tidak lantas membuatnya bersalah karena memasang harga tersebut. Walau begitu, saya masih merasa itu diatas harga rata-rata.
Beberapa harga makanan 'kampung' dengan rasa modern harganya sudah harga turis. Suasananya juga seperti 'terpaksa menikmati daripada gak ada'. Tidak ada kenyamanan dan kehangatan yang Bandung banget. Semua serba komersil saya rasa.
Tidak menyalahkan Surabi Imut.
Saya menyayangkan Bandung yang kewalahan menghadapi ini.
Atau mungkin... saya, orang lokal, yang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan ini ya...