Social Media

Image Slider

Obrolan Makan Siang Bersama Tante Wiwin di Gang Kimto

18 October 2024

Pengalaman paling berkesan di Tegal adalah makan siang di kantin Lima Sari yang berlokasi di Gang Kimto. Kami berkenalan dengan pemilik sekaligus koki yang memasakkan kami nasi goreng yancho dan mie ayam: Tante Wiwin. Ia juga menaruh kipas angin tambahan supaya kami tidak kepanasan. 



 

kantin lima sari tegal

 

Mulanya saya dan Retna hendak menuju Nasi Lengko Lumayan di Gang Kimto. Dari stasiun kereta googlemap menuntun kami ke sana. Namun yang tidak kami ketahui, kami berjalan memutar masuk ke belakang jalan utama dan membelah pasar. 


Saat mulai mempertanyakan apakah kami ini kesasar, ketemulah gang yang dimaksud dan saya langsung kalap bersukacita.



 

Karena sepanjang gang tersebut ada banyak rumah tua. Kira-kira mirip di Kauman Jogjakarta. Rupanya kami masuk ke Gang Kimto dari arah belakang. Bukan mulut gang bagian depan.

 

Saya foto jendela tua. Retna memotret pintunya. Kami berusaha tidak berisik dan tidak mengganggu. Gangnya sempit. Sesekali motor dan pejalan kaki lewat. 

 

kantin lima sari tegal


Kami bertemu sebuah rumah tua yang juga kantin bernama Lima Sari. Saya putuskan makan siang di situ saja. Retna setuju. Suasana yang hening dan dikelilingi rumah tua menambah kesan makan siang yang istimewa.


Tante Wiwin menyambut ramah turis-turis basah kuyup ini, maksudnya saya dan Retna yang berkeringat banyak. "Darimana?" tanyanya. Kami menyebut nama Bandung dan ia menyambar "ohhh Bandung! Bandung tuh enak tapi sayang jalannya sempit! macet!" kami tertawa. Tanda perkenalan yang baik. 


Saat menyantap mie ayam, suara ‘dug—dug-dug’ dari tembok sebelah terdengar keras, rapi, bertempo, dan gagah. Suaranya berlangsung agak lama, bertalu-talu sepanjang kami berada di sana 1,5 jam. Suara apakah itu, tanya saya pada Tante Wiwin. 

 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Ibu-ibu bersuara lembut ini cerita bahwa ibunya pedagang bakso sejak tahun 1969. Produksi baksonya rumahan dan ia lakukan sendiri. Tante Wiwin dan ibunya masih tinggal serumah. Kantin dan produksi baksonya bersebelahan. Suara yang kami dengar adalah suara pisau golok mencincang daging sapi dan ikan dari balik dinding. 



 

“Maksudnya ibunya Tante Wiwin yang cincang daging? sendiri?” tanya saya memastikan. 



 

"Iya, ibu saya masih cincang daging sapinya sendiri," katanya lagi. "Umurnya 84 tahun, tangannya kuat wong kalau nonton tv sambil olahraga barbel,” Tante Wiwin cerita sambil memperagakan adegan angkat barbel ke atas kepala dan bawah. 



 

kantin lima sari tegal

 

“Gak pake mesin aja, Tante? kayak blender kan ada yang khusus buat daging," tanya saya sambil elus-elus lengan saya yang berlemak itu. 

 

Ibunya Tante Wiwin tidak mau mencincang dengan blender/chopper karena dagingnya nanti akan berair. “Gak bagus buat adonan bakso,” ucapnya. 



 

Saya bertanya lagi. Kalau boleh tahu berapa berat barbel yang digunakan ibunya Tante Wiwin. “Ah paling sekiloan aja,” jawabnya. Ia menambahkan “jualan baksonya juga sehari sekarang paling banyak lima kilo.” 


 

Saya dan Retna berpandangan. Sepertinya di Bandung nanti kita harus rajin olahraga barbel, Na. Retna setuju. Mungkin angkat barbelnya sambil nonton drakor atau skroling reels. 



 

kantin lima sari tegal
kantin lima sari tegal


Berarti sudah 55 tahun mereka berdagang bakso. Sudah puluhan tahun juga ibunya Tante Wiwin olahraga angkat beban -sambil nonton tv- agar kekuatan otot tangannya terbangun dan sanggup mencincang daging sapi sendiri. Walah betapa ini fakta yang menakjubkan. 



 

Saat pamit pada Tante Wiwin, kami mengintip-ngintip ke jendela sebelah. Di sanalah ada sosok perempuan sedang berjalan perlahan, agak bungkuk, tersenyum pada kami, dan sedang siap-siap mau mencincang daging sapi entah batch cincangan yang ke berapa. 



Tiba-tiba saya berpikir ulang tentang konsep pensiun dini.

Kereta Tiba Pukul Lima di Stasiun Tegal

16 October 2024

Dari Cirebon kami menumpang kereta api pagi ke Stasiun Tegal. Pukul 10.41 kami tiba di tujuan dan wow terbengong-bengong memandang interior arsitektur bangunan stasiunnya, cantik sekali! 

 

 


Berjodoh juga saya dengan kota ini. Seperti Cirebon, ketinggian Tegal dari permukaan air laut hanya 4 m. Dengan begitu saya pun sudah siap menghadapi hawa panasnya, dengan payung!

Namun sebelum menginjakkan kaki keluar stasiun, saya dan Retna melihat-lihat bangunan utama stasiunnya. Walah indah sekali. Bangunan utama berbentuk kubus. 

 

Di dinding timur dan barat ada dekorasi kaca patri. Pada dinding bagian barat ada satu kaca patri besar melengkung. Semua orang diarahkan langsung masuk ke gate tiket atau duduk di ruang sebelah. Kami memandang interior Stasiun Tegal itu dengan berdiri. 

Mungkin hanya petugas tiket dan punggung kitalah yang akan menyaksikan betapa menawannya dinding barat tersebut. Sebab gate keberangkatan membuat penumpang berdiri membelakangi dinding tersebut.

 

Orang-orang pun hanya mondar-mandir dari sayap kiri gedung ke kanan dan sebaliknya. Jadi teman-teman, bila nanti ada kesempatan mengunjungi Tegal melalui jalur kereta api, tengoklah sebentar keindahan interior arsitekturnya itu. Luar biasa cakepnya.

Karena dinding berkaca patri di pintu masuk itu mengarah ke barat, kalau cahaya senja meluap-luap tentu terbayang bagaimana bayangan dan berkasnya jatuh ke dalam gedung stasiun. Sewaktu saya di sana matahari sorenya tidak terlalu berkilau, sore yang kelabu. Padahal siang harinya panas mentrang. 

 


atap stasiun tegal

Walau demikian saya kebagian sedikit berkas cahaya suci itu dan kamera hp android megap-megap memotretnya. Sedangkan mata saya  menangkap keindahan senja di Stasiun Tegal itu dengan manis.


Bagian atap stasiun tidak kalah manisnya. Atapnya menjulang tinggi dan terbuat dari susunan balok kayu. Mirip tumpangsari. Jujur saja itulah langit-langit bangunan stasiun tercantik yang pernah saya lihat. Saya beruntung bisa menyaksikan itu semua.  

Stasiun Tegal dibangun tahun 1885. Beda setahun dengan umurnya Stasiun Bandung. Tapi umur kota beda jauh. Umur kota tegal 444 tahun sedangkan kota bandung masih anak-anak yakni 214 tahun. Info lain-lainnya tentang stasiun ini bisa teman-teman baca di wikipedia. Namun ada satu fakta menarik yang saya temukan waktu googling arsitek bangunan Stasiun Tegal: Henri Maclaine Pont.

Maclaine Pont adalah juga arsiteknya bangunan ikonik nan cantik di Bandung bernama Aula Barat dan Aula Timur ITB. Menarik sekali sebagai orang bandung saya bisa terhubung dengan kota tegal karena ada jejak arsitek kolonial yang sama, selain warteg dan teh pocinya itu. Hehe. 

 

stasiun tegal


Retna dan saya memotret habis-habisan bangunan Stasiun Tegal. Namun saat berfoto di luar saya tidak bisa berkutik. Mataharinya serasa di atas kepala. Payung masih saya simpan dalam tas. Temperatur saat itu 34 derajat celsius. Pukul 11 siang. Panas ngabetrak!

Dari Bandung ke Tegal pergi - pulang satu hari:
1. Naik shuttle Bhinneka jurusan kota Cirebon pukul 6.15
2. Di Cirebon, naik gojek ke Stasiun Prujakan
3. Beli tiket goshow ke Tegal, Rp35.000
4. Menumpang KA Kaligung pukul 9.10
5. Sampai di Tegal pukul 10.41
6. Kembali ke Stasiun Tegal naik KA Airlangga tujuan Cirebon pukul lima sore
7. Turun di Stasiun Prujakan pukul 18.45
8. Naik gojek ke pool travel/shuttle
9. Otw ke Bandung naik shuttle Bhinneka pukul 19.30
10. Sampai di Bandung 21.30

 

stasiun tegal sore hari
stasiun tegal kala senja


Jam keberangkatan dan kepulangan bisa berubah tergantung jadwal kereta api yang sewaktu-waktu bisa berubah juga. Namun bila teman-teman ada rencana trip ke Tegal sebagaimana saya, maka bisa contek jadwal di atas. Kalau ketemu shortcut Bandung-Tegal yang lebih cepat juga boleh dibagikan infonya di komen.

Pergi pulang satu hari memang melelahkan. Idealnya menginap dan menikmati Tegal seluas-luasnya. Namun tidak semua orang memiliki keistimewaan yang ideal itu. Waktu tidak banyak, budget tidak berlebih. Adanya segitu ya dinikmati dan dijalani saja yang ada. Tujuh jam di Tegal bagi saya sendiri sangat terasa nikmatnya.

Jadi jalan-jalan ke Tegal kan? Jadilah hayuk!

Tujuh Jam Melancong di Sekitar Alun-Alun Tegal

15 October 2024

Hanya tujuh jam saja kami mubeng-mubeng 13.000 langkah sekitar stasiun kereta api dan alun-alun. Menu utama plesiran yang saya dan Retna lakukan adalah melihat rumah-rumah kuno kota Tegal.

jalan-jalan di alun-alun tegal
photo courtesy: Retna


Jalanan Tegal lengang.  Meski hawa terik matahari langsung membantai kami sejak keluar dari pintu stasiun rasanya hati ikut kebawa lega karena kondisi trafik yang tenang. Kira-kira pukul 11 siang waktu kami menapaki trotoar jalan.
 

Enak ya gak macet, pikir kami. Lalu kesadaran itu datang, bahwa sepertinya kami saja yang jalan-jalan di siang bolong nan terik. Bahkan di Bandung pun saya akan berpikir hal yang sama sebagaimana warga Tegal: ngapain siang-siang panas-panas keliaran di jalan.

Namun semangat turis beda. Kami rela berjalan kaki jauh dan panas-panasan. Bagaimana lagi. Kalau sudah cinta pasti senang hati melakukannya. Kata Alberto Camus "cinta adalah keinginan yang menyengsarakan tapi jangan berpikir kalau cinta tidak berguna". 

Dan tentang panasnya Tegal saya tidak bisa bercerita banyak. Luar biasa. Orang Bandung darah murni seperti Indra, suami saya, pasti akan kalang kabut dibuatnya. Kalau darah campuran ala saya dan Retna masih sanggup menghadapinya tanpa lolongan keluh kesah.

Retna merupakan teman yang saya kenal di tur jalan kaki kota parakan tahun 2023. Ia juga menginisiasi grup jalan-jalan santai di Bandung bernama Mapah Sareng. Hamdalah dalam trip tegal ini saya berjodoh dengannya dan dia banyak memotret saya (dari belakang). Mungkin retna bisa nyambi dari profesi apotekernya dengan merintis usaha fotografi traveling. Ada bakat motret soalnya. Semua foto yang ada dalam artikel ini dijepret olehnya. Makasih banyak, Retna!

 

 

Berkat bantuan teman lainnya pula tujuan perjalanan ke tegal ini jadi konkrit. Saya mencontek hampir semua lokasi tujuan berdasarkan foto-foto di instagram Aditya Indi. Makasih ya, Kang Adit! Postingan tentang rumah tua dan kota-kota kecil yang paling banyak saya save post di media sosial pasti dari feednya beliau. Bantuannya sangat detail sampai-sampai mengirim link googlemap. Dengan mudah saya membuat perkiraan waktu dan jarak antar lokasi.

Pada prakteknya ada beberapa tujuan yang kami lewat. Seperti nasi lengko gang kimto dan kue tempel yang berada di Jl. HOS Cokroaminoto. Semua lokasi tujuan ini kami sambangi berjalan kaki, sesuai urutan.

  1. Stasiun Tegal
  2. Gedung SCS yang antik, berada di seberang stasiun kereta api
  3. Gedung menara air
  4. Makan siang di Kantin Lima Sari di gang kimto
  5. Toko kue Pia Ny. Liao
  6. Kelenteng Tek Hay Kiong
  7. Kedai teh Baharia
  8. Jajan kue tempel seketemunya di pinggir jalan
  9. Kembali ke Stasiun Tegal


Wajah kota tegal sepertinya sedang berbenah. Proses revitalisasi stasiun oleh KAI menyambut kedatangan kami di Tegal. Saya lihat di foto stasiun sebelum renovasi, ada pohon besar yang menaungi area depan stasiun. Sepertinya pepohonan tersebut ditebang. Moga-moga nanti ada ditanam pohon lagi ya. 

Trotoar jalan dari stasiun ke arah alun-alun bisa dibilang mewah. Lumayan nyaman dan leluasa bagi pejalan kaki karena lebar, tapi level ketinggian trotoar dari permukaan jalan terlalu tinggi. 

 

Terlihat ada ruang terbuka hijau di Taman Pancasila dan lahan alun-alun. Pemerintah Tegal merevitalisasi kawasan tersebut sejak tahun 2019 dan rampung pada 2021.

Saat saya menyusuri gang kimto dan beberapa gang lain terlihat di tengah jalannya ada jalur (selokan) air ditutup batu beton. Batunya dibolongi ventilasi (apa ya istilahnya?).

Di Gang Kimto kami ngobrol dengan Tante Wiwin, pemilik kantin Lima Sari. Saya bertanya padanya tentang jalan gang yang terbilang cukup mewah karena permukaan jalannya dari batu. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya jalan gang berupa tanah. Sekarang di gang-gang kota tegal wajib ada selokan di tengahnya. Namun proyek infrastruktur jalan gang ini membuat level jalan lebih tinggi dan selevel dengan pintu rumah warga. “Sekarang suka kecium bau juga dari selokannya,” kata Tante Wiwin.

pecinan tegal
photo courtesy: Retna

 

Sepertinya ada perbaikan sarana infrastruktur cukup masif di Tegal ya. Saya googling beritanya dan munculah artikel tentang revitalisasi kawasan alun-alun dan sekitarnya. Biaya perbaikan aspal di alun-alun 4 milyar, ongkos perbaikan trotoar di Jl Ahmad Yani yang disebut malioboronya kota tegal habis 9 milyar.

Mungkin saya beruntung kebagian wajah kota yang sudah layak kondisinya bagi pejalan kaki ini. Namun karena keterbatasan waktu (juga karena googlemap mengarahkan kami ke jalan-jalan kecil), kami tidak melihat alun-alun dari dekat.  

Terlepas dari infrastukturnya, berjalan di kota tegal cukup menyenangkan. Meski kepanasan tapi kalau ketemu tempat teduh terasa ademnya. Di ruang tamu toko pia Ny. Liao kami agak lama duduk-duduk di sana. Angin dari luar masuk ke rumah dan semriwing nikmat sekali. Dan pia sari buahnya sangat enak!

Juga di kedai teh artisan Baharia. Saya dan Retna nongkrong dan ngobrol sambil minum teh dingin. Kami duduk di teras. 

 

Langit sore yang biru, angin berhembus, suara daun bergesekan, warga sesekali lewat mengayuh sepeda berlatar tembok gedung tua ala pecinan, ada burung-burung walet terdengar kicaunya. Yang pasti suasana healingnya terasa sekali. Baharia buka pukul 3 sore dan kami satu-satunya pengunjung saat itu.

 

pecinan tegal
photo courtesy: Retna


Namun kami harus beranjak pulang.

Kereta api Airlangga membawa kami kembali ke kota cirebon. Saat kereta berangkat saya menatap jendela dan mengucapkan sampai jumpa lagi pada tegal.

Siapa tahu bisa berjumpa lagi karena saya ingin kembali ke sana, mengajak indra, nabil, dan unis. Tentu saja nanti akan menginap satu malam di Tegal, saya belum mencicipi tradisi minum teh poci ala tegal yang tersohor itu. Hunting buku bekas di pasar alun-alun. Juga belum menyantap nasi lengko, soto tauco, dan sate kambingnya yang aduhai konon lezat.

Tegal, sampai ketemu lagi ya!



*Tulisan tentang makan siang di kantin Lima Sari di Gang Kimto dapat dibaca di sini dan tulisan tentang cakepnya interior arsitektur stasiun tegal dapat dibaca di sini

Bermalam Minggu di Yoghurt Cisangkuy

07 October 2024

Pukul lima sore motor kami meluncur dari rumah ke arah pusat kota Bandung yang macet di hari sabtu. Tujuan saya hanya semangkuk baso malang di Jalan Burangrang. 



Jalan Burangrang padat luar biasa di titik restoran baso yang saya tuju. Keramaian berasal dari Bakso Tjap Haji yang berada persis sebrang-sebrangan dengan resto baso langganan saya, Bakso Malang Enggal. 

Memang yang satu itu situs kuliner fenomenal di Bandung sejak pandemi sampai kini, ya maksud saya Tjap Haji itu. Parkirannya selalu ramai. Luar biasa. 

Saya dan indra menyantap baso langganan saja. Sudah lama tidak makan malam di sini. Pengunjungnya belum ramai. Juga harganya makin mahal. Berdua bayarnya sekitar tujuh puluh ribuan. 

Syukurlah rasanya masih enak. Kami makan tanpa bicara. Mungkin sedang lapar-laparnya. 

Setelah kenyang barulah saling ngobrol. Tentang video-video tiktok yang saya bookmark, juga lucunya video dari facebook yang indra save. Zaman apa ini, tema obrolannya video viral kok bisa. Bisa ternyata. Haha. 

Beranjak ke Jalan Sancang kami salat magrib. Wangi semerbak bunga di halaman parkirnya nikmat sekali. "Bunga apa sih?" tanyaku pada Indra. Dia menunjuk pohonnya tapi tidak tahu namanya. 

Malam masih pagi. "Muter-muter aja dulu yuk ke mana gitu," kata Indra. 

Menuju utara kami terhimpit macet di Dago dan Dipati Ukur. Gila macetnya bikin mual. 

Ke Yoghurt Cisangkuy kami putuskan bersarang sebentar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Emang masih buka restonya?" kutanya lagi. Masih ternyata, tutupnya pukul 21.00

Jalan Cisangkuy juga padat orang-orang. Bila dahulu hanya ada resto Yoghurt Cisangkuy, sekarang berderet-deret tempat kuliner di sana, yang bintang empat sampai kaki lima. Metet! 

Bangku-bangku di Yoghurt Cisangkuy tidak terlalu penuh. Saya pesan yoghurt dan sedikit camilan. "Sudah berapa abad kita gak makan di sini ya?" kami berdua tertawa getir, waktu cepat terbangnya dan kita makin tua. 

Juga agak syok saat bayar di kasir. Rp113.000 untuk dua gelas yoghurt, sepotong cheesecake jadul, sepotong bolu tape, dan empat potong kue kastangel. 

Namun suasana restonya menyenangkan. Kami duduk di bangku kayu dan ngobrol sampai restonya tutup. 


Ritual pulang ke rumah selalu sama: cek googlemap mencari rute jalan yang lengang. Malam minggu pukul sembilan macet Bandung sedang menyala. Dibutuhkan bantuan peta digital agar tidak terjebak dalam pusaran silau macetnya


Dari Stasiun Cipatat Menumpang Kereta Api Bandung ke Sukabumi

24 September 2024

Stasiun Cipatat terasa asing dan jauh sekali, seperti di kota berbeda. Padahal masih di Bandung. Stasiun kecil inilah titik keberangkatan kereta api jurusan Bandung - Sukabumi. Menumpang kereta di jalur rel ini berarti merasakan rute kuno yang pertama kali menghubungkan Bandung dengan Batavia bermoda kereta api. 

 

stasiun cipatat


33 km dari Stasiun Bandung dan berjarak 16 km dari stasiun terdekatnya di Padalarang. Terasa betul terpencilnya Stasiun Cipatat dan makin besar keinginan saya mendatanginya. 


Sejak melihat postingan perjalanan Bandung-Sukabumi via kereta api Siliwangi pada stories instagramnya Matheus dan Yanti, saya langsung tulis di buku jurnal: PENGEN KE SUKABUMI NAIK KERETA API!

Tiga tahun berlalu keinginan itu terwujud pertengahan tahun 2024. Saya mengajak indra dan nabil. Berhubung kami ada keperluan ke Sukabumi juga. Mereka setuju. Namun indra mengajukan syarat, “jalannya santai ya jangan rusuh.”

Siap, jawab saya mantap. Mulailah saya riset menggunakan aplikasi KAI dan googlemap, mencatat waktu keberangkatan kereta api, dan sebagainya.

Begini konteks ‘betapa jauhnya’ stasiun cipatat: untuk menjangkaunya harus menumpang angkot dari Padalarang atau bis antar kota dari Terminal Leuwipanjang. Sebut nama Padalarang saja sudah terasa jauhnya, tambahkan Cipatat.

Setelah diskusi dengan indra, kami pilih jadwal kereta api siang. Pukul 14.00 dari Stasiun Cipatat. Sebab kalau pagi harus berantem dengan trafik jalanan, bila malam ya poek. Ada 3x jam keberangkatan KA Siliwangi dari Stasiun Cipatat.

Dari Bandung ke Sukabumi menumpang kereta api ongkos tenaganya banyak. Sedangkan ongkos uangnya murah. Itinerary perjalanannya dari rumah saya di kabupaten bandung (selatan):

  1. Pagi pukul 8.00 naik bis Teman Bus, menuju Stasiun Bandung
  2. Berhenti di halte rajawali dan berjalan ke stasiun selatan (kereta lokal)
  3. Menumpang kereta api lokal pukul 10.15
  4. Turun di Stasiun Padalarang, sekitar pukul 11.00
  5. Makan siang di foodcourt Stasiun Whoosh
  6. Naik angkot kuning jurusan Padalarang - Rajamandala
  7. Beritahu sopirnya kita mau turun di Stasiun Cipatat
  8. Angkot berangkat setelah ngetem lama, sekitar pukul 12.10
  9. Sampai di stasiun cipatat pukul 13 lebih sedikit
  10. Makan siang di warung sekitar stasiun
  11. KA Siliwangi datang, pintu tiket dibuka
  12. Pukul 14.00 kereta berangkat menuju Sukabumi
  13. Sampai di Stasiun Sukabumi pukul 4 sore

Total ongkos transport per orang dari rumah sampai Sukabumi: Rp26.900. Murah sekali. Lebih mahal ongkos makan. 

 

beli tiket di stasiun cipatat


Transportasi ini sangat membantu warga dan turis seperti saya. Bila saja Stasiun Cipatat bisa terhubung dengan Stasiun Padalarang via jalur rel lagi, pasti sangat amat membantu mobilitas masyarakat. Mangkas banyak waktu dan mempermudah akses.

Ada dua stasiun nonaktif yang menghubungkan padalarang dan cipatat. Relnya pun mati suri.

 
Penyebabnya (kata KAI) sih kontur yang terlalu terjal dan berkelok. Namun selama di dunia ini masih ada insinyur, bukan hal mustahil mewujudkan kembali jalur kereta padalarang - cipatat itu. Zaman dulu bisa, mengapa sekarang tidak. Masalahnya pemerintahnya saja sih mau gak nih.  

Sebelum tahun 2013, pusat kota bandung terhubung langsung dengan kereta api jurusan cianjur. Saya pernah menjajal jalur kereta bandung - cianjur. Saat itu rel kereta cianjur - sukabumi masih nonaktif. 

Tahun 2010 saya menumpang KA Argo Peuyeum dengan ongkos Rp2.000 menuju Cianjur. Kereta ini terdiri dari dua gerbong. Di Bandung saya naik dari Stasiun Ciroyom. Saat itu saya dan teman-teman hendak pergi ke Gunung Padang. Beruntung saya bisa mencipip jalur kuno kereta api ini sebelum ditutup. 

 

bandung ke sukabumi naik kereta


Pengalaman menumpang KA Argo Peuyeum sangat menyenangkan. Saya menulis sedikit tentangnya, bisa baca di sini.

Sedangkan pengalaman baru saya dengan KA Siliwangi juga tidak kalah mengasyikkan. Sebab saya berkesempatan mencicip jalur rel Cianjur-Sukabumi yang sebelumnya saya baca di buku.

Dalam perjalanan Bandung - Sukabumi pemandangan berupa pesawahan, hutan, balong, dan seisi alam semesta. Highlightnya ada di trek selepas dari kota cianjur ke arah sukabumi, yakni antara Stasiun Cibeber, Stasiun Lampegan, dan Stasiun Cireungas.

Dari stasiun cibeber ke stasiun lampegan kereta melaju hanya 5 km/jam. Suara antar gerbong berderit-derit. Jalan menanjak. Membuat ngeri sekaligus seru berdebar-debar karena kereta seolah-olah miring dan oleng ke kanan dan kiri. Sepertinya di jalur ini laju kereta paling pelan yang pernah saya naiki, selain kereta api mainan di taman lalu lintas kota bandung.
 
Di stasiun lampegan kereta berhenti sebentar. Saya duduk di gerbong 5 dan harus berjalan agak jauh sampai dekat gerbong depan agar bisa memandang bangunan stasiun lampegan (439 mdpl). 

 

bandung ke sukabumi naik kereta
stasiun lampegan


Saya keluarkan kepala dari pintu gerbong. Celingak-celinguk ke luar dan melihat panorama manis di stasiun mungil ini. Hawanya sejuk.

Sayang kereta cepat berangkat. Ya sudah saya berdiri di bordes menanti terowongan lampegan yang tersohor itu. Terowongan kereta api pertama di Indonesia yang panjangnya 686 m atau sekitar 2,5 menit durasi waktu menempuhnya.

Selepas stasiun lampegan saya dan indra mencari-cari letak posisi gunung padang. Apakah yang itu? tanya saya menunjuk bukit. Bukan, tapi yang itu, kata indra menunjuk bukit yang lain. Kami cocokan dengan posisinya di googlemap, yang mana sih gunung padangnya. “Itu, di balik bukit yang itu!” kata indra lagi.

Kami tiba tepat waktu di stasiun sukabumi pukul 4 sore. Stasiunnya sibuk sekali. Penumpang duduk di hampir semua sudut. Saya ingin memperhatikan detail-detail stasiunnya tapi sulit karena ada indra dan nabil. Mereka bergegas pergi ke luar stasiun sementara saya masih berfoto.

Sepertinya saya akan kembali menyusuri jalur KA Siliwangi ini, sendiri atau bersama teman-teman seagama #ytta. 

 

suasana stasiun sukabumi

bandung ke sukabumi naik kereta 

 

Bila saya teruskan perjalanan keretanya dari Sukabumi akan ketemu kota bogor. Kemudian dari Bogor masuk ke Jakarta. Maka artinya saya menempuh jalur kuno kereta api zaman hindia belanda jurusan Bandung - Batavia.

Saking lamanya perjalanan kereta api itulah pemerintah Belanda membuka jalur kereta baru, yaitu jalur Cikampek Purwakarta. Jalur ini yang sekarang jadi perlintasan kereta api pada umumnya. Sedangkan jalur antiknya, Bandung - Cianjur - Sukabumi, kini seperempat relnya mati dan sisanya dilintasi hanya KA Siliwangi. 

Berjalan Kaki Satu Hari di Tasikmalaya: Bonteng, Batik, dan Burujul

26 July 2024
Kira-kira 1,5 jam durasi saya berjuang melawan rasa mual di trek Bandung-Tasikmalaya. Dalam perjalanan ada banyak kelokan tajam sekaligus memaparkan panorama pegunungan. Satu hari saja di kota santri saya terpukau pada payung geulis, berkenalan dengan keluarga pedagang batik tulis, dan terkesima akan lezatnya bonteng-bonteng di sana. 


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

Saya mengikuti acara jalan-jalan di Tasikmalaya (21/7/2024). Penyelenggaranya Mlampah Sareng (based di Purwokerto) yang diwakilkan Fachrul dan Mapah Sareng (Bandung) ada Retna. Plesirannya mereka beri judul Piknik Seek Tasik.

Memang aneh sekali berjejaring di tahun 2024 yang melibatkan Instagram dan lain-lainnya. Untuk trip ini saja kolaborasinya antar dua kota terpisah provinsi, dengan tujuan kota lainnya.

Ada tujuh tujuan yang kami kunjungi di Tasik. Pertama-tama kami bertandang ke pengrajin Payung Geulis A. Sahrod  yang ada sejak tahun 1971. Lokasinya di Kecamatan Indihiang, agak jauh dari pusat kota. 

 

plesir ke tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Ini kali pertama saya melihat dan menyentuh langsung payung-payung cantik khas Tasik. Memang betul rupawan sekali payungnya. Warna-warni mencolok dan bunga-bunga mekar sebagai motifnya. Kerangka dan tangkai payung terlihat rumit, berasal dari tangan-tangan apik para pengrajin.

Sandy Mulyana -generasi ketiga dari Payung Geulis A. Sahrod- bercerita sedikit seluk beluk industri payung geulis yang problematikanya berputar antara sumber daya manusia dan permodalan. 

 

Produk khas Indonesia memang bagus-bagus sekali! Sayangnya tidak ada showcase di lokasi pengrajin berada sehingga saya tidak bisa membeli payung geulisnya.

Beranjak ke arah pusat kota, kami semua mulai lapar.

Perut krucukan sebab belum sarapan, di pusat kota Tasikmalaya kami menghanca di Rumah Makan Bahagia.

Betulan bahagia, makanannya enak-enak semua dan halal! Bravo! Semua menu yang kami santap bergaya oriental. Aroma bawang putih yang sedap nan lekoh. Perpaduan kecap asin, saos tiram, dan minyak wijen. Potongan daun bawang ada di mana-mana. Daging yang empuk dan bonteng yang amboi nikmat betul.

Awalnya saya kepingin sarapan khasnya warga tasik, tapi saat menyantap makanan RM. Bahagia saya bersyukur sekali ketemu makanan ini.

Fakta menarik yang kami temukan dalam obrolan saat sarapan: orang tasik suka makan bonteng (timun). Karenanya lazim bila hampir semua makanan di sana side dishnya bonteng.

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
photo courtesy: Retna/Mapah Sareng

Fakta mengejutkan lainnya yang saya rasakan secara pribadi: BONTENG TASIKMALAYA ENAK BANGET! Kok bisa sih bontengnya manis dan sangat renyah? Dari manakah bonteng-bonteng ini berasal? Apakah ditanam di tanah Gunung Galunggung atau bagaimana?

Sarapan kesiangan itu jadi baterai kami mengarungi jalanan kota tasik yang langsung terasa panasnya. Namun berangin. Kalau pernah menumpang kereta api akan terlihat kalau kota tasik berada di ketinggian 340 mdpl. Sedangkan Bandung sekitar 700 mdpl.

Meski mencoba bertahan dari sengatan matahari, saya menyerah dan buka payung. Wah lebih nyaman jalan kakinya kalau kepala kita terasa teduh. Syukurlah lewat duhur langit berawan dan tidak lagi panas menyengat. Cuaca Tasik bersahabat.

Dalam kira-kira 14.000 langkah yang kami susuri, di antara rumah-rumah warga dan trafik Tasik yang lengang ada vihara, masjid, toko babadan, lapak makaroni, rumah makan baso, dan dua kedai kopi yang menempati rumah klasik khas tempo dulu.

Di toko babadan saya dan Tita membawa pulang sapu ijuk. Tita dititipi papanya sapu khas Tasik merek SPA. Retna -sebagai operator perjalanan- sangat mengaping pencarian sapu ijuk ini. Sambil berjalan sesuai arah tujuan, kami juga menelusuri sapu di beberapa toko.

Tita memutuskan beli sapu di Toko Putra Karuhun, Jalan Tarumanagara. Saya ikut membelinya. Namun yang kami beli merek yang berbeda. “Gak apa-apa bukan sapu SPA?” tanya saya padanya. Tita jawab mantap “Aman!”

Saya bersyukur lagi ketemu fakta lainnya tentang Tasik. Bahwa sapu ijuknya sakti mandraguna. Pedagangnya saja memberi garansi satu minggu (wkwk) dan mengatakan pada kami sapu yang ia pakai usianya lebih dari satu dekade. “Tuh tingali ieu oge 13 taun kiat keneh!” katanya persuasif sambil menunjukkan sapu miliknya yang terlihat letih dan gigih.

Sakti yang dimaksud: tahan lama dan ijuknya dibuat dari bahan berkualitas. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca. Jujur saja saya langsung browsing tentang sapu khas tasik saat Tita memberitahu kami bahwa papanya minta oleh-oleh sapu ijuk. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sarengwalking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
Tita dan sapu ijuk untuk papanya - photo courtesy Retna/Mapah Sareng


Buah tangan makanan sudah biasa. Tapi bila ada orangtua yang minta dibelikan benda-benda domestik dari kota tertentu, kita usahakan nurut saja sebab biasanya kualitas bendanya memang tangguh dan pasti terpakai di rumah. Dan bila kamu melakukan hampir semua pekerjaan domestik di rumah pasti tahu mengapa butuh sapu yang berkualitas. 

Makasih Papanya Tita. Berkatnya saya menambah khazanah oleh-oleh Tasikmalaya berupa sapu ijuk, (dengan tambahan catatan, diutamakan mereknya SPA).

Sampai di mana tadi? Toko babadan ya.

Menggelinding ke kedai kopi bernama Tjinere di dekat Prapatan Lima, saya memesan teh tubruk melati. Sajian minuman ini datang ke meja dalam komposisi teko air teh, dua gelas kecil, dan dua potong kue bangket. Saya habiskan sendirian sebab peserta tur lainnya sudah memesan menu pilihan masing-masing. Totalnya saya minum lima gelas teh tubruk. Efek kafeinnya langsung menendang, tidak lagi ngantuk.  


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Rina yang punya Tjinere - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Tjinere berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kembang hijau. Cantik sekali penempatan daun-daun di pintu masuknya. Terdiri dari dua ruangan untuk pengunjung, kami duduk di ruang kedua, pinggir jendela. Seperti kembangnya, warna cat kusen pintu dan jendela dominan hijau.


Saya berkenalan dengan pemilik Tjinere, Rina Amalia. Saat ngobrol saya bertanya padanya, apakah profesi neneknya (sebab memiliki rumah besar di pinggir jalan utama dekat rel kereta api). “Nenek teh dagang kain batik tulis,” jawabnya.

Walah! pengusaha kain batik. Rasa penasaran kian dalam tapi tidak ada sesi wawancara dalam obrolan santai ini. Suasana kedai ramai, suara pengunjung sahut-sahutan, suara musik mengalun, dan kami sudah terlampau kelamaan nongkrong. Sejujurnya saya mengharapkan ada obrolan lebih lanjut (dan resmi) antara peserta tur dengan pemilik Tjinere.

Sepertinya menarik cerita tentang Tasik lebih dalam dan dunia perbatikannya. Meski tetehnya mengaku tidak tahu seluk beluk detail sejarah keluarganya tapi cerita tentang keluarganya saja buat saya jadi cerita pengantar yang manis.

 

difotokan oleh Retna (makasih, Retna!)

Dari Tjinere kami beranjak ke kedai kopi bernama Praya Coffee. Lokasinya di Jalan Burujul dan bangunan kedainya sangat klasik.

Praya Coffee menempati sebuah rumah tua. Khas bangunan kolonial. Sementara kedai kopinya ada di ruang depan bangunan, di ruang berikutnya adalah tempat tinggal Innes Dewi Santika, pemilik rumah tua tersebut. 


Innes cerita sedikit tentang rumahnya. Didirikan oleh kakek buyutnya di tahun 1928, oleh Innes rumah tersebut dinamakan Rumah Burujul Heritage (RBH).

Kembali saya tanyakan padanya, apakah profesi pendiri rumah dahulu kala, mengingat ukuran rumahnya yang tidak lazim dimiliki warga biasa-biasa saja.

“Usaha kain mori dan pewarna batik,” jawabnya. Kain mori adalah material dasar pembuatan kain batik. Saya memberitahunya tentang kedai kopi Tjinere dan keluarganya dulu punya bisnis batik tulis. “Loh iya kami memang masih saudara,” katanya lagi semangat. Walah!

“Kakek buyut saya asal Tegal, merantau ke Tasik, namanya H. Manshur. Di Tasik menikah dengan warga lokal asal Panglayungan, yaitu Hj. Eteh, nenek buyut saya,” tuturnya lagi.

Menurut Innes, Rumah Burujul Heritage dirancang oleh nenek buyutnya. Meski tidak mengecap pendidikan formal, Hj. Eteh juga berperan besar mendukung suaminya yang berkarir sebagai saudagar, termasuk turut serta dalam memperluas aset bisnis H. Manshur. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Sempat kosong selama beberapa tahun lamanya usai nenek dan kakek Innes wafat, RBH sempat berfungsi jadi gudang. Sesekali keluarga besar menginap bila sedang berlibur ke Tasikmalaya.

Tahun 2021 Innes memutuskan kembali ke Rumah Burujul Heritage. Saat itu ibu dari tiga anak ini masih bolak-balik Jakarta-Tasik karena Innes sekeluarga bermukim di Ibukota.

Kini di tahun 2024 Innes resmi menjadi warga Tasikmalaya sebab telah berdomisili sepenuhnya. “Rasanya seneng banget! dream comes true banget bisa tinggal di sini!” ungkapnya. Sejak kecil Innes sekeluarga selalu berlebaran di RBH. Dalam kenangannya berkunjung ke rumah antik berhalaman luas itu sangat membekas.

RBH menjadi lokasi beberapa aktivitas seperti pameran dan workshop. Secara khusus Innes juga menyediakan ruang inklusif dan mencantumkannya dalam bio profil Rumah Burujul Heritage: rumah yang nyaman untuk bertemu, berkreasi, dan belajar bagi teman difabel dan non difabel.

Di sini kami tidak hanya nongkrong tapi juga berprakarya Cut and Paste dibimbing Soetedja Makerfest. Berbekal gunting, lem, dan kertas koran berbahasa sunda kami gunting menggunting dan menempel. Pengalaman baru buat saya ikutan tur jalan kaki dan diakhiri workshop. Menyenangkan juga, agak menyegarkan setelah seharian berjalan terus. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Innes pemiliknya RBH - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Saya catat di notes hp tentang hal-hal yang saya lihat di Tasik dan berjanji pada diri sendiri akan mencari informasinya lebih lanjut: sapu ijuk SPA, batik tulis tasikmalaya, kain mori, payung geulis, rumah burujul heritage, dan tentu saja bonteng.


Foto-foto dokumen pribadi, kecuali yang telah dicantumkan photo courtesynya

Di Alun-Alun Banyumas dan Masjid Kunonya

09 June 2024

Bila ada satu bangunan yang paling berkesan di sekitar kota tua Banyumas, itu adalah Masjid Agung Nur Sulaiman. Lokasinya di jantung alun-alunnya. Usia masjid ini lebih tua dari kota Bandung: 400 tahun! 



19 km dari Purwokerto kami bertiga menumpang motor usai jajan di toko Brassil. 


Sekitar pukul setengah lima sore kami tiba di masjid Agung Nur Sulaiman. Letaknya persis di samping alun-alun Banyumas yang sedang ramai orang karena ada karnaval. 


Jarak yang demikian waktu tempuhnya hanya 20 menit saja. Tidak ada macet sebagaimana di Bandung. 


Sampai di masjid kami langsung salat asar. Kewajiban tunai barulah kami bisa bersantai menikmati arsitektur masjidnya yang indah. 


Jendela besar-besar dengan bukaan lebar. Tidak ada kacanya, tidak berteralis. Tempat berwudhu ada di sisi kiri dan kanan, dipisah tembok putih dengan ornamen kerawang berbentuk bintang. 



Banyak tiang kayu dalam masjid, ada empat saka guru dan 12 saka pengarak. Di pucuk langit-langit masjid ada tumpangsari dengan dekorasi kupu-kupu di puncaknya. 


Tegelnya adem dan resik luar biasa. Corak artdeco ada banyak. Corak yang sama menempel di dinding bagian bawah. Cantik sekali. 


Karpet masjidnya luar biasa bersih. Area khusus wanitanya lapang membuat kami leluasa beribadah, merapikan kerudung yang miring, merapikan daleman yang nyengsol, dan berdandan. 


Serambi masjidnya sangat nyaman buat diduduki dan membuat saya bengong sebentar. Angin sore datang menyentuh ujung kerudung di kening yang basah sisa raupan tadi. 


Ada larangan merokok di area masjid. Jadi kami bisa duduk santai dan ngobrol di serambi tanpa kebul asap. 


Rasanya ingin berlama-lama di sini. 





Berkesempatan salat di masjid agung di alun-alun Banyumas untuk orang Bandung seperti saya adalah pengalaman berharga. Sebab tidak ada lagi masjid dengan arsitektur seindah ini di bandung. 


Wajah cantik nan kuno masjidnya membuat pengalaman berkunjung sekaligus beribadah lebih berkesan. Istimewa sekali terasanya. Pengalaman berwudhu, salat, bahkan duduk-duduk di dalem masjid dan serambinya saja nyaman sekali buat tubuh dan mata. 



Data lengkap mengenai sejarah masjidnya dapat dibaca di sini


Makasih terkhusus untuk teman saya, Aditya, yang merekomendasikan masjid Agung Nur Sulaiman. Tanpa dia manalah saya tahu ada masjid secantik ini di Banyumas, membuat perjalanan jalan-jalan di Purwokerto kami rasanya penuh.

Pecel Buatan Salinem dan Rahasia-Rahasianya

24 May 2024

Rahasia Salinem adalah novel fiksi yang bahan baku utama ceritanya bersumber dari makanan bernama pecel. 



Plot ceritanya maju mundur dari masa lampau ke masa kini. Seting waktunya zaman belanda, jepang, revolusi, dan tahun 2013. 


Penulisnya mencampurkan fakta sejarah dengan narasi fiksi. Karena latarnya di kota Solo jadi unsur feodalisme jawa dan priyayinya bisa kita saksikan dari kacamata tokoh bernama Salinem, Kartinah, dan Soekatmo. 


Penulisnya ada dua: Wisnu Suryaning Adji dan Brilliant Yotenega. 


Sudut pandang ceritanya orang ketiga dan novelnya setebal 412 halaman. 


Diceritakan bahwa Salinem piawai membuat pecel tapi ia tidak mewariskan resepnya pada siapapun hingga akhir hayatnya tiba. 


Tyo, sebagai cucunya Salinem, berburu racikan pecel legendaris tersebut.


Pencariannya membuka banyak rahasia Salinem yang lain termasuk status sosial, kesetiaan, dan perjalanan hidup neneknya sekaligus keluarganya. 


Ada banyak sekali nama tokoh dalam novel Rahasia Salinem. Jujur saja saya agak pusing dibuatnya, ditambah nama-namanya mirip. Bahkan ada satu nama yang panggilannya tiga: ning, bulik, ragil. 


Hal yang bikin syok dari novel ini: ada banyak adegan kematian dan penulisnya cakap menggambarkan detik demi detik maut datang. Begitupun dampaknya terhadap orang yang ditinggalkan. Aduh mengambar air mata ini saat bacanya. Bukan bersedih karena semata-mata adegan yang ngenes, tapi karena rangkaian ceritanya dari awal sampai kematian hadir secara rapi, runut, dan detail. Ibaratnya pembaca gak hanya kenal dengan tokohnya tapi juga berteman.


Penulisnya laki-laki sedangkan tokoh utamanya perempuan, yaitu Salinem. Agak lumayan kerasa maskulinnya Salinem, Kartinah, bahkan Ning yang berbeda dengan Dasiyah, Roemaisa, dan Arum dalam novel Gadis Kretek yang mood perempuannya terasa sekali.


Sejauh ini saya gak nemu bocornya novel ini di mana selain bagian awal novel yang bertele-tele. Satu novel ini bisa jadi dua novel sih. Ceritabya 


Pengalaman membaca pertama saya terhadap novel ini agak kurang.  Setengah cerita di awal rasanya membosankan, tapi begitu udah dapat kliknya langsung nyantol, terutama cerita berlatar revolusi. Lumayan saya ulang lagi dari awal agar genap mengertinya. 

Berkunjung ke Pabrik Permen Davos Berusia 93 Tahun Bersama Mlampah Sareng

11 May 2024

Permen Davos merupakan brand yang bukan bicara tentang produk saja. Melihat Davos artinya throwback alias dilempar mundur ke belakang. Yang dilempar adalah ingatan kita karena permen Davos sobat anak-anak di tahun 90an. Nostalgia.  


 berkunjung ke pabrik davos


Saya, Indra, Nabil, dan Unis, rombongan Bandung ini sengaja bertandang ke Purwokerto Banyumas hendak mengikuti turnya Mlampah Sareng ke pabrik permen Davos di Purbalingga pada hari Sabtu 04/05/2024.

Dari Purwokerto ke Purbalingga dekat saja hanya 30 menit. Namun di Bandung setengah jam terasa cepat padahal sedang terjebak macet. Artinya titik pergerakan saya tidak jauh. Akan tetapi dalam perjalanan Purwokerto - Purbalingga 30 menit tanpa hambatan apapun. Tidak ada macet, hanya ada sedikit titik lampu merah. Titik pergerakan saya cepat berubah dan anehnya terasa jauh. Aneh juga ya reaksi tubuh terhadap perbedaan waktu tempuh yang sebetulnya sama itu. 


Berkunjung ke pabrik permen davos mulainya pukul 10 pagi. Sedangkan kami sudah mendarat di Purbalingga 1,5 jam sebelumnya. Mencari-cari rumah makan atau warung terdekat demi sarapan yang baru buka hanya rumah makan Padang. Betulan fast food pemadam kelaparan! Okelah bungkus!

Tidak dibungkus, makan di tempat saja. Rasanya? Waduh lezat sekali. Kami memesan telor dadar, nasi dan kuah rendang. Kami makan dengan lahap. Lapar sebabnya! Ditambah empat es jeruk dan kerupuk satu bungkus total empat porsinya Rp71.000.

Tidak seperti di Bandung dan Yogyakarta, tur di Purbalingga ini cukup tepat waktu meski mulainya tetap molor juga. Sekitar pukul 10.30 kami bersama-sama berangkat ke pabrik Davos. Dari titik kumpul di Usman Janantin Park, menyebrang Jalan Ahmad Yani, masuk ke Jalan Gunung Kelir V. Sampai sudah ke pabriknya! Hanya satu menit waktu tempuhnya! 

 

berkunjung ke pabrik permen davos
courtesy Mlampah Sareng

pabrik davos purbalingga



Permen Davos yang saya kenal ada dua. Warna biru berisi 10 permen berbentuk tablet putih dan warna hijau kotak berisi 20 tablet kecil-kecil. Warna biru namanya Davos Roll, itulah permen pertamanya Davos. Sedangkan yang hijau namanya Davos Lux, favorit saya. Davos Roll rasanya terlalu pedas, tapi seingat saya sering ada dalam saku celana saat perjalanan jauh seperti mudik. Karena rasa pedasnya lumayan meredakan rasa kembung dan mual. 

 

Ternyata bukan barudak 90an saja yang akrab dengan permen Davos. Akan tetapi juga generasi ibu dan nenek saya. Sebab permen Davos adanya sejak tahun 1931! 


Fakta mengagumkan itu yang baru saya ketahui dari turnya. Sudah 93 tahun PT Slamet Langgeng produksi dan berdagang permen. Bayangkan hampir satu abad membuat produk yang sama.

Dari turnya juga saya mendapatkan informasi Davos pernah membuat limun. Namanya limun Slamet. Namun tidak lama hanya beberapa tahun saja.

Memasuki ruang produksi pabriknya kami dibekali head cover, masker, sarung tangan, dan sarung buat alas kaki. Sayangnya kami berjalan berombongan yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Agak sulit mendengar penjelasan pemandu tur jika kita berada di barisan paling belakang.

Namun saya berhasil mencatat beberapa hal menarik dari penjelasannya. Seperti; bahwa permen Davos tidak menggunakan bahan pemanis buatan, gula dijemur menggunakan mesin sedangkan proses di masa lampau gula dijemur di bawah sinar matahari, permen Davos Roll cocok dicampur ke dalam teh tawar panas, dan cerita tentang produk limunnya.  

 

berkunjung ke pabrik davos
Courtesy Mlampah Sareng


Pertunjukan menarik dari pabriknya ada di ruang pengemasan. Karena permennya dikemas manual dan mesin. Pengemasan dengan mesin sudah dapat dibayangkan sendiri mungkin? Sementara cara manual dikerjakan oleh tangan para ibu. Persis seperti di pabrik kretek yang saya lihat di Taru Martani Jogjakarta

Ruang pengemasan adalah ruang terakhir yang kami lihat. Dimensi ruangannya paling besar dengan langit-langit tinggi. Berbeda dengan ruang produksi lainnya yang agak kecil dan tinggi langit-langitnya standar. Ruang kemas terlihat seperti ruangan lama, ruangan paling tua. Seperti hangar pesawat. Di satu sisi ada jendela-jendela besar berteralis. Para ibu duduk di sana fokus membungkus permen.

Tentang mengapa Davos mempertahankan teknik membungkus manual itu, saya bertanya pada Kevin, pemandu tur dari Davos. “Penggunaan mesin pada teknik membungkus ini berdasarkan permintaan industri, Mbak. Karena kalau mesin yang bekerja, pembungkusannya rapat sekali. Beda dengan bungkusan ala tangan yang menggunakan lem,” jawabnya sambil memperlihatkan kemasan Davos Roll warna biru buatan mesin dan tangan.

Semua pemandu tur Davos bekerja dengan semangat. Seolah-olah kami tamu pertama kalinya bagi mereka, padahal tentu bukan. Davos sendiri secara rutin menerima kunjungan dari berbagai sekolah dan lembaga.

Entah seberapa luas pabriknya saya tidak bertanya. Kalau diperhatikan pabriknya tidak terlalu besar. Namun usahanya berjalan terus-menerus. Betul-betul pengalaman yang menggairahkan buat saya karena saya dan Indra juga berdagang di Fish Express. Kami juga mempunyai tempat produksi sendiri. Memelihara bisnis hingga 93 tahun betapa solidnya. Apa rahasianya bisa bertahan selama itu ya?

Indra bertanya pada Kevin, seberapa banyak kapasitas produksi pabrik ini perharinya. Kevin menjawab diplomatis, “Gimana marketingnya saja, Mas. Kami di sini selalu siap produksi sesuai permintaan mereka.”

Marketing dan salesnya Davos kok bisa sih jualan permen senendang itu. Ujung tombak bisnis seperti ini kan ya berdagang! Nawar-nawarin, jual-jualin. Tidak ada sales tidak ada uang. Bagaimana cara marketing dan salesnya bekerja sampai-sampai produk permen mint ini bertahan sepanjang 93 tahun?

 

berkunjung ke pabrik permen davos

Pertanyaan yang tidak terjawab karena sepertinya harus ada sesi ngobrol sendiri agak lama dengan Kevin. Makasih Mas Kevin yang antusias dan ramah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

 

Begitu turnya selesai kami diberi suvenir permen Davos dan segelas teh dingin rasa permen davos. Tehnya segar, manis, dan dingin. Niat hati mau membawa pulang merchandise (apa saja: mug, pin, tshirt, kalender, totebag) tapi sayang belum ada merch resminya Davos. 

 

Saat ngomongin merchandise Davos saya teringat Seni Kanji. Sepertinya akan jadi kolaborasi menarik kalau bisa terwujud poster Davos buatan Seni Kanji. Tiba-tiba terlintas saja sih ide ini.

Sejujurnya saya sudah lupa ada yang namanya perman Davos. Namun sering tidak sengaja saya tonton  kontennya di TikTok. Ya betul Davos aktif menggiatkan konten-konten digitalnya di TikTok dan Reels dengan nama @davos.official. Link ke toko onlinenya juga tersedia pada platform tersebut. Salut sekali pada bisnis lama yang lentur adaptif terhadap teknologi, utamanya dalam hal ini media sosial. 

 

peken banyumasan davos purbalingga


Ditambah lagi kunjungan pabrik ini di bawah komando Mlampah Sareng dan termasuk dalam rangkaian acara bernama Peken Banyumasan. Peken Banyumasan merupakan acara kreatif satu hari yang menampilkan kolaborasi antar jejaring lokal: ada local market, ada tur berjalan kaki, ada screening movie, ada showcase dari kreator-kreator lokal. Kolaborasi yang menarik dan dibutuhkan satu sama lain, saya juga sebagai pesertanya.

Waktu menentukan tujuan ke Purwokerto tiada lain saya hanya mau ikutan tur ke pabrik permen Davos di Purbalingga. Niatnya ke satu kota saja, berujung sedikit singgah ke Purwokerto dan Banyumas juga. Hamdalah jalan-jalan yang menyenangkan, terutama di Purbalingga saat tur ke pabrik Davos. Kami kembali ke Bandung dalam kondisi bahagia rohani dan capek jasmani.