Kira-kira 1,5 jam durasi saya berjuang melawan rasa mual di trek Bandung-Tasikmalaya. Dalam perjalanan ada banyak kelokan tajam sekaligus memaparkan panorama pegunungan. Satu hari saja di kota santri saya terpukau pada payung geulis, berkenalan dengan keluarga pedagang batik tulis, dan terkesima akan lezatnya bonteng-bonteng di sana.
Saya mengikuti acara jalan-jalan di Tasikmalaya (21/7/2024). Penyelenggaranya Mlampah Sareng (based di Purwokerto) yang diwakilkan Fachrul dan Mapah Sareng (Bandung) ada Retna. Plesirannya mereka beri judul Piknik Seek Tasik.
Memang aneh sekali berjejaring di tahun 2024 yang melibatkan Instagram dan lain-lainnya. Untuk trip ini saja kolaborasinya antar dua kota terpisah provinsi, dengan tujuan kota lainnya.
Ada tujuh tujuan yang kami kunjungi di Tasik. Pertama-tama kami bertandang ke pengrajin Payung Geulis A. Sahrod yang ada sejak tahun 1971. Lokasinya di Kecamatan Indihiang, agak jauh dari pusat kota.
Ini kali pertama saya melihat dan menyentuh langsung payung-payung cantik khas Tasik. Memang betul rupawan sekali payungnya. Warna-warni mencolok dan bunga-bunga mekar sebagai motifnya. Kerangka dan tangkai payung terlihat rumit, berasal dari tangan-tangan apik para pengrajin.
Sandy Mulyana -generasi ketiga dari Payung Geulis A. Sahrod- bercerita sedikit seluk beluk industri payung geulis yang problematikanya berputar antara sumber daya manusia dan permodalan.
Produk khas Indonesia memang bagus-bagus sekali! Sayangnya tidak ada showcase di lokasi pengrajin berada sehingga saya tidak bisa membeli payung geulisnya.
Beranjak ke arah pusat kota, kami semua mulai lapar.
Perut krucukan sebab belum sarapan, di pusat kota Tasikmalaya kami menghanca di Rumah Makan Bahagia.
Betulan bahagia, makanannya enak-enak semua dan halal! Bravo! Semua menu yang kami santap bergaya oriental. Aroma bawang putih yang sedap nan lekoh. Perpaduan kecap asin, saos tiram, dan minyak wijen. Potongan daun bawang ada di mana-mana. Daging yang empuk dan bonteng yang amboi nikmat betul.
Awalnya saya kepingin sarapan khasnya warga tasik, tapi saat menyantap makanan RM. Bahagia saya bersyukur sekali ketemu makanan ini.
Fakta menarik yang kami temukan dalam obrolan saat sarapan: orang tasik suka makan bonteng (timun). Karenanya lazim bila hampir semua makanan di sana side dishnya bonteng.
|
photo courtesy: Retna/Mapah Sareng
|
Fakta mengejutkan lainnya yang saya rasakan secara pribadi: BONTENG TASIKMALAYA ENAK BANGET! Kok bisa sih bontengnya manis dan sangat renyah? Dari manakah bonteng-bonteng ini berasal? Apakah ditanam di tanah Gunung Galunggung atau bagaimana?
Sarapan kesiangan itu jadi baterai kami mengarungi jalanan kota tasik yang langsung terasa panasnya. Namun berangin. Kalau pernah menumpang kereta api akan terlihat kalau kota tasik berada di ketinggian 340 mdpl. Sedangkan Bandung sekitar 700 mdpl.
Meski mencoba bertahan dari sengatan matahari, saya menyerah dan buka payung. Wah lebih nyaman jalan kakinya kalau kepala kita terasa teduh. Syukurlah lewat duhur langit berawan dan tidak lagi panas menyengat. Cuaca Tasik bersahabat.
Dalam kira-kira 14.000 langkah yang kami susuri, di antara rumah-rumah warga dan trafik Tasik yang lengang ada vihara, masjid, toko babadan, lapak makaroni, rumah makan baso, dan dua kedai kopi yang menempati rumah klasik khas tempo dulu.
Di toko babadan saya dan Tita membawa pulang sapu ijuk. Tita dititipi papanya sapu khas Tasik merek SPA. Retna -sebagai operator perjalanan- sangat mengaping pencarian sapu ijuk ini. Sambil berjalan sesuai arah tujuan, kami juga menelusuri sapu di beberapa toko.
Tita memutuskan beli sapu di Toko Putra Karuhun, Jalan Tarumanagara. Saya ikut membelinya. Namun yang kami beli merek yang berbeda. “Gak apa-apa bukan sapu SPA?” tanya saya padanya. Tita jawab mantap “Aman!”
Saya bersyukur lagi ketemu fakta lainnya tentang Tasik. Bahwa sapu ijuknya sakti mandraguna. Pedagangnya saja memberi garansi satu minggu (wkwk) dan mengatakan pada kami sapu yang ia pakai usianya lebih dari satu dekade. “Tuh tingali ieu oge 13 taun kiat keneh!” katanya persuasif sambil menunjukkan sapu miliknya yang terlihat letih dan gigih.
Sakti yang dimaksud: tahan lama dan ijuknya dibuat dari bahan berkualitas. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca. Jujur saja saya langsung browsing tentang sapu khas tasik saat Tita memberitahu kami bahwa papanya minta oleh-oleh sapu ijuk.
|
Tita dan sapu ijuk untuk papanya - photo courtesy Retna/Mapah Sareng |
|
Buah tangan makanan sudah biasa. Tapi bila ada orangtua yang minta dibelikan benda-benda domestik dari kota tertentu, kita usahakan nurut saja sebab biasanya kualitas bendanya memang tangguh dan pasti terpakai di rumah. Dan bila kamu melakukan hampir semua pekerjaan domestik di rumah pasti tahu mengapa butuh sapu yang berkualitas.
Makasih Papanya Tita. Berkatnya saya menambah khazanah oleh-oleh Tasikmalaya berupa sapu ijuk, (dengan tambahan catatan, diutamakan mereknya SPA).
Sampai di mana tadi? Toko babadan ya.
Menggelinding ke kedai kopi bernama Tjinere di dekat Prapatan Lima, saya memesan teh tubruk melati. Sajian minuman ini datang ke meja dalam komposisi teko air teh, dua gelas kecil, dan dua potong kue bangket. Saya habiskan sendirian sebab peserta tur lainnya sudah memesan menu pilihan masing-masing. Totalnya saya minum lima gelas teh tubruk. Efek kafeinnya langsung menendang, tidak lagi ngantuk.
|
foto bersama Teh Rina yang punya Tjinere - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng |
Tjinere berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kembang hijau. Cantik sekali penempatan daun-daun di pintu masuknya. Terdiri dari dua ruangan untuk pengunjung, kami duduk di ruang kedua, pinggir jendela. Seperti kembangnya, warna cat kusen pintu dan jendela dominan hijau.
Saya berkenalan dengan pemilik Tjinere, Rina Amalia. Saat ngobrol saya bertanya padanya, apakah profesi neneknya (sebab memiliki rumah besar di pinggir jalan utama dekat rel kereta api). “Nenek teh dagang kain batik tulis,” jawabnya.
Walah! pengusaha kain batik. Rasa penasaran kian dalam tapi tidak ada sesi wawancara dalam obrolan santai ini. Suasana kedai ramai, suara pengunjung sahut-sahutan, suara musik mengalun, dan kami sudah terlampau kelamaan nongkrong. Sejujurnya saya mengharapkan ada obrolan lebih lanjut (dan resmi) antara peserta tur dengan pemilik Tjinere.
Sepertinya menarik cerita tentang Tasik lebih dalam dan dunia perbatikannya. Meski tetehnya mengaku tidak tahu seluk beluk detail sejarah keluarganya tapi cerita tentang keluarganya saja buat saya jadi cerita pengantar yang manis.
|
difotokan oleh Retna (makasih, Retna!)
|
Dari Tjinere kami beranjak ke kedai kopi bernama Praya Coffee. Lokasinya di Jalan Burujul dan bangunan kedainya sangat klasik.
Praya Coffee menempati sebuah rumah tua. Khas bangunan kolonial. Sementara kedai kopinya ada di ruang depan bangunan, di ruang berikutnya adalah tempat tinggal Innes Dewi Santika, pemilik rumah tua tersebut.
Innes cerita sedikit tentang rumahnya. Didirikan oleh kakek buyutnya di tahun 1928, oleh Innes rumah tersebut dinamakan Rumah Burujul Heritage (RBH).
Kembali saya tanyakan padanya, apakah profesi pendiri rumah dahulu kala, mengingat ukuran rumahnya yang tidak lazim dimiliki warga biasa-biasa saja.
“Usaha kain mori dan pewarna batik,” jawabnya. Kain mori adalah material dasar pembuatan kain batik. Saya memberitahunya tentang kedai kopi Tjinere dan keluarganya dulu punya bisnis batik tulis. “Loh iya kami memang masih saudara,” katanya lagi semangat. Walah!
“Kakek buyut saya asal Tegal, merantau ke Tasik, namanya H. Manshur. Di Tasik menikah dengan warga lokal asal Panglayungan, yaitu Hj. Eteh, nenek buyut saya,” tuturnya lagi.
Menurut Innes, Rumah Burujul Heritage dirancang oleh nenek buyutnya. Meski tidak mengecap pendidikan formal, Hj. Eteh juga berperan besar mendukung suaminya yang berkarir sebagai saudagar, termasuk turut serta dalam memperluas aset bisnis H. Manshur.
Sempat kosong selama beberapa tahun lamanya usai nenek dan kakek Innes wafat, RBH sempat berfungsi jadi gudang. Sesekali keluarga besar menginap bila sedang berlibur ke Tasikmalaya.
Tahun 2021 Innes memutuskan kembali ke Rumah Burujul Heritage. Saat itu ibu dari tiga anak ini masih bolak-balik Jakarta-Tasik karena Innes sekeluarga bermukim di Ibukota.
Kini di tahun 2024 Innes resmi menjadi warga Tasikmalaya sebab telah berdomisili sepenuhnya. “Rasanya seneng banget! dream comes true banget bisa tinggal di sini!” ungkapnya. Sejak kecil Innes sekeluarga selalu berlebaran di RBH. Dalam kenangannya berkunjung ke rumah antik berhalaman luas itu sangat membekas.
RBH menjadi lokasi beberapa aktivitas seperti pameran dan workshop. Secara khusus Innes juga menyediakan ruang inklusif dan mencantumkannya dalam bio profil Rumah
Burujul Heritage: rumah yang nyaman untuk bertemu, berkreasi, dan
belajar bagi teman difabel dan non difabel.
Di sini kami tidak hanya nongkrong tapi juga berprakarya Cut and Paste dibimbing Soetedja Makerfest. Berbekal gunting, lem, dan kertas koran berbahasa sunda kami gunting menggunting dan menempel. Pengalaman baru buat saya ikutan tur jalan kaki dan diakhiri workshop. Menyenangkan juga, agak menyegarkan setelah seharian berjalan terus.
|
foto bersama Teh Innes pemiliknya RBH - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng |
Saya catat di notes hp tentang hal-hal yang saya lihat di Tasik dan berjanji pada diri sendiri akan mencari informasinya lebih lanjut: sapu ijuk SPA, batik tulis tasikmalaya, kain mori, payung geulis, rumah burujul heritage, dan tentu saja bonteng.
Foto-foto dokumen pribadi, kecuali yang telah dicantumkan photo courtesynya