Social Media

Image Slider

Bermalam Minggu di Yoghurt Cisangkuy

07 October 2024

Pukul lima sore motor kami meluncur dari rumah ke arah pusat kota Bandung yang macet di hari sabtu. Tujuan saya hanya semangkuk baso malang di Jalan Burangrang. 



Jalan Burangrang padat luar biasa di titik restoran baso yang saya tuju. Keramaian berasal dari Bakso Tjap Haji yang berada persis sebrang-sebrangan dengan resto baso langganan saya, Bakso Malang Enggal. 

Memang yang satu itu situs kuliner fenomenal di Bandung sejak pandemi sampai kini, ya maksud saya Tjap Haji itu. Parkirannya selalu ramai. Luar biasa. 

Saya dan indra menyantap baso langganan saja. Sudah lama tidak makan malam di sini. Pengunjungnya belum ramai. Juga harganya makin mahal. Berdua bayarnya sekitar tujuh puluh ribuan. 

Syukurlah rasanya masih enak. Kami makan tanpa bicara. Mungkin sedang lapar-laparnya. 

Setelah kenyang barulah saling ngobrol. Tentang video-video tiktok yang saya bookmark, juga lucunya video dari facebook yang indra save. Zaman apa ini, tema obrolannya video viral kok bisa. Bisa ternyata. Haha. 

Beranjak ke Jalan Sancang kami salat magrib. Wangi semerbak bunga di halaman parkirnya nikmat sekali. "Bunga apa sih?" tanyaku pada Indra. Dia menunjuk pohonnya tapi tidak tahu namanya. 

Malam masih pagi. "Muter-muter aja dulu yuk ke mana gitu," kata Indra. 

Menuju utara kami terhimpit macet di Dago dan Dipati Ukur. Gila macetnya bikin mual. 

Ke Yoghurt Cisangkuy kami putuskan bersarang sebentar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Emang masih buka restonya?" kutanya lagi. Masih ternyata, tutupnya pukul 21.00

Jalan Cisangkuy juga padat orang-orang. Bila dahulu hanya ada resto Yoghurt Cisangkuy, sekarang berderet-deret tempat kuliner di sana, yang bintang empat sampai kaki lima. Metet! 

Bangku-bangku di Yoghurt Cisangkuy tidak terlalu penuh. Saya pesan yoghurt dan sedikit camilan. "Sudah berapa abad kita gak makan di sini ya?" kami berdua tertawa getir, waktu cepat terbangnya dan kita makin tua. 

Juga agak syok saat bayar di kasir. Rp113.000 untuk dua gelas yoghurt, sepotong cheesecake jadul, sepotong bolu tape, dan empat potong kue kastangel. 

Namun suasana restonya menyenangkan. Kami duduk di bangku kayu dan ngobrol sampai restonya tutup. 


Ritual pulang ke rumah selalu sama: cek googlemap mencari rute jalan yang lengang. Malam minggu pukul sembilan macet Bandung sedang menyala. Dibutuhkan bantuan peta digital agar tidak terjebak dalam pusaran silau macetnya


Berjalan Kaki Satu Hari di Tasikmalaya: Bonteng, Batik, dan Burujul

26 July 2024
Kira-kira 1,5 jam durasi saya berjuang melawan rasa mual di trek Bandung-Tasikmalaya. Dalam perjalanan ada banyak kelokan tajam sekaligus memaparkan panorama pegunungan. Satu hari saja di kota santri saya terpukau pada payung geulis, berkenalan dengan keluarga pedagang batik tulis, dan terkesima akan lezatnya bonteng-bonteng di sana. 


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

Saya mengikuti acara jalan-jalan di Tasikmalaya (21/7/2024). Penyelenggaranya Mlampah Sareng (based di Purwokerto) yang diwakilkan Fachrul dan Mapah Sareng (Bandung) ada Retna. Plesirannya mereka beri judul Piknik Seek Tasik.

Memang aneh sekali berjejaring di tahun 2024 yang melibatkan Instagram dan lain-lainnya. Untuk trip ini saja kolaborasinya antar dua kota terpisah provinsi, dengan tujuan kota lainnya.

Ada tujuh tujuan yang kami kunjungi di Tasik. Pertama-tama kami bertandang ke pengrajin Payung Geulis A. Sahrod  yang ada sejak tahun 1971. Lokasinya di Kecamatan Indihiang, agak jauh dari pusat kota. 

 

plesir ke tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Ini kali pertama saya melihat dan menyentuh langsung payung-payung cantik khas Tasik. Memang betul rupawan sekali payungnya. Warna-warni mencolok dan bunga-bunga mekar sebagai motifnya. Kerangka dan tangkai payung terlihat rumit, berasal dari tangan-tangan apik para pengrajin.

Sandy Mulyana -generasi ketiga dari Payung Geulis A. Sahrod- bercerita sedikit seluk beluk industri payung geulis yang problematikanya berputar antara sumber daya manusia dan permodalan. 

 

Produk khas Indonesia memang bagus-bagus sekali! Sayangnya tidak ada showcase di lokasi pengrajin berada sehingga saya tidak bisa membeli payung geulisnya.

Beranjak ke arah pusat kota, kami semua mulai lapar.

Perut krucukan sebab belum sarapan, di pusat kota Tasikmalaya kami menghanca di Rumah Makan Bahagia.

Betulan bahagia, makanannya enak-enak semua dan halal! Bravo! Semua menu yang kami santap bergaya oriental. Aroma bawang putih yang sedap nan lekoh. Perpaduan kecap asin, saos tiram, dan minyak wijen. Potongan daun bawang ada di mana-mana. Daging yang empuk dan bonteng yang amboi nikmat betul.

Awalnya saya kepingin sarapan khasnya warga tasik, tapi saat menyantap makanan RM. Bahagia saya bersyukur sekali ketemu makanan ini.

Fakta menarik yang kami temukan dalam obrolan saat sarapan: orang tasik suka makan bonteng (timun). Karenanya lazim bila hampir semua makanan di sana side dishnya bonteng.

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
photo courtesy: Retna/Mapah Sareng

Fakta mengejutkan lainnya yang saya rasakan secara pribadi: BONTENG TASIKMALAYA ENAK BANGET! Kok bisa sih bontengnya manis dan sangat renyah? Dari manakah bonteng-bonteng ini berasal? Apakah ditanam di tanah Gunung Galunggung atau bagaimana?

Sarapan kesiangan itu jadi baterai kami mengarungi jalanan kota tasik yang langsung terasa panasnya. Namun berangin. Kalau pernah menumpang kereta api akan terlihat kalau kota tasik berada di ketinggian 340 mdpl. Sedangkan Bandung sekitar 700 mdpl.

Meski mencoba bertahan dari sengatan matahari, saya menyerah dan buka payung. Wah lebih nyaman jalan kakinya kalau kepala kita terasa teduh. Syukurlah lewat duhur langit berawan dan tidak lagi panas menyengat. Cuaca Tasik bersahabat.

Dalam kira-kira 14.000 langkah yang kami susuri, di antara rumah-rumah warga dan trafik Tasik yang lengang ada vihara, masjid, toko babadan, lapak makaroni, rumah makan baso, dan dua kedai kopi yang menempati rumah klasik khas tempo dulu.

Di toko babadan saya dan Tita membawa pulang sapu ijuk. Tita dititipi papanya sapu khas Tasik merek SPA. Retna -sebagai operator perjalanan- sangat mengaping pencarian sapu ijuk ini. Sambil berjalan sesuai arah tujuan, kami juga menelusuri sapu di beberapa toko.

Tita memutuskan beli sapu di Toko Putra Karuhun, Jalan Tarumanagara. Saya ikut membelinya. Namun yang kami beli merek yang berbeda. “Gak apa-apa bukan sapu SPA?” tanya saya padanya. Tita jawab mantap “Aman!”

Saya bersyukur lagi ketemu fakta lainnya tentang Tasik. Bahwa sapu ijuknya sakti mandraguna. Pedagangnya saja memberi garansi satu minggu (wkwk) dan mengatakan pada kami sapu yang ia pakai usianya lebih dari satu dekade. “Tuh tingali ieu oge 13 taun kiat keneh!” katanya persuasif sambil menunjukkan sapu miliknya yang terlihat letih dan gigih.

Sakti yang dimaksud: tahan lama dan ijuknya dibuat dari bahan berkualitas. Begitu kata artikel-artikel yang saya baca. Jujur saja saya langsung browsing tentang sapu khas tasik saat Tita memberitahu kami bahwa papanya minta oleh-oleh sapu ijuk. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sarengwalking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
Tita dan sapu ijuk untuk papanya - photo courtesy Retna/Mapah Sareng


Buah tangan makanan sudah biasa. Tapi bila ada orangtua yang minta dibelikan benda-benda domestik dari kota tertentu, kita usahakan nurut saja sebab biasanya kualitas bendanya memang tangguh dan pasti terpakai di rumah. Dan bila kamu melakukan hampir semua pekerjaan domestik di rumah pasti tahu mengapa butuh sapu yang berkualitas. 

Makasih Papanya Tita. Berkatnya saya menambah khazanah oleh-oleh Tasikmalaya berupa sapu ijuk, (dengan tambahan catatan, diutamakan mereknya SPA).

Sampai di mana tadi? Toko babadan ya.

Menggelinding ke kedai kopi bernama Tjinere di dekat Prapatan Lima, saya memesan teh tubruk melati. Sajian minuman ini datang ke meja dalam komposisi teko air teh, dua gelas kecil, dan dua potong kue bangket. Saya habiskan sendirian sebab peserta tur lainnya sudah memesan menu pilihan masing-masing. Totalnya saya minum lima gelas teh tubruk. Efek kafeinnya langsung menendang, tidak lagi ngantuk.  


walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Rina yang punya Tjinere - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Tjinere berada di sebuah rumah tua yang penuh dengan kembang hijau. Cantik sekali penempatan daun-daun di pintu masuknya. Terdiri dari dua ruangan untuk pengunjung, kami duduk di ruang kedua, pinggir jendela. Seperti kembangnya, warna cat kusen pintu dan jendela dominan hijau.


Saya berkenalan dengan pemilik Tjinere, Rina Amalia. Saat ngobrol saya bertanya padanya, apakah profesi neneknya (sebab memiliki rumah besar di pinggir jalan utama dekat rel kereta api). “Nenek teh dagang kain batik tulis,” jawabnya.

Walah! pengusaha kain batik. Rasa penasaran kian dalam tapi tidak ada sesi wawancara dalam obrolan santai ini. Suasana kedai ramai, suara pengunjung sahut-sahutan, suara musik mengalun, dan kami sudah terlampau kelamaan nongkrong. Sejujurnya saya mengharapkan ada obrolan lebih lanjut (dan resmi) antara peserta tur dengan pemilik Tjinere.

Sepertinya menarik cerita tentang Tasik lebih dalam dan dunia perbatikannya. Meski tetehnya mengaku tidak tahu seluk beluk detail sejarah keluarganya tapi cerita tentang keluarganya saja buat saya jadi cerita pengantar yang manis.

 

difotokan oleh Retna (makasih, Retna!)

Dari Tjinere kami beranjak ke kedai kopi bernama Praya Coffee. Lokasinya di Jalan Burujul dan bangunan kedainya sangat klasik.

Praya Coffee menempati sebuah rumah tua. Khas bangunan kolonial. Sementara kedai kopinya ada di ruang depan bangunan, di ruang berikutnya adalah tempat tinggal Innes Dewi Santika, pemilik rumah tua tersebut. 


Innes cerita sedikit tentang rumahnya. Didirikan oleh kakek buyutnya di tahun 1928, oleh Innes rumah tersebut dinamakan Rumah Burujul Heritage (RBH).

Kembali saya tanyakan padanya, apakah profesi pendiri rumah dahulu kala, mengingat ukuran rumahnya yang tidak lazim dimiliki warga biasa-biasa saja.

“Usaha kain mori dan pewarna batik,” jawabnya. Kain mori adalah material dasar pembuatan kain batik. Saya memberitahunya tentang kedai kopi Tjinere dan keluarganya dulu punya bisnis batik tulis. “Loh iya kami memang masih saudara,” katanya lagi semangat. Walah!

“Kakek buyut saya asal Tegal, merantau ke Tasik, namanya H. Manshur. Di Tasik menikah dengan warga lokal asal Panglayungan, yaitu Hj. Eteh, nenek buyut saya,” tuturnya lagi.

Menurut Innes, Rumah Burujul Heritage dirancang oleh nenek buyutnya. Meski tidak mengecap pendidikan formal, Hj. Eteh juga berperan besar mendukung suaminya yang berkarir sebagai saudagar, termasuk turut serta dalam memperluas aset bisnis H. Manshur. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng


Sempat kosong selama beberapa tahun lamanya usai nenek dan kakek Innes wafat, RBH sempat berfungsi jadi gudang. Sesekali keluarga besar menginap bila sedang berlibur ke Tasikmalaya.

Tahun 2021 Innes memutuskan kembali ke Rumah Burujul Heritage. Saat itu ibu dari tiga anak ini masih bolak-balik Jakarta-Tasik karena Innes sekeluarga bermukim di Ibukota.

Kini di tahun 2024 Innes resmi menjadi warga Tasikmalaya sebab telah berdomisili sepenuhnya. “Rasanya seneng banget! dream comes true banget bisa tinggal di sini!” ungkapnya. Sejak kecil Innes sekeluarga selalu berlebaran di RBH. Dalam kenangannya berkunjung ke rumah antik berhalaman luas itu sangat membekas.

RBH menjadi lokasi beberapa aktivitas seperti pameran dan workshop. Secara khusus Innes juga menyediakan ruang inklusif dan mencantumkannya dalam bio profil Rumah Burujul Heritage: rumah yang nyaman untuk bertemu, berkreasi, dan belajar bagi teman difabel dan non difabel.

Di sini kami tidak hanya nongkrong tapi juga berprakarya Cut and Paste dibimbing Soetedja Makerfest. Berbekal gunting, lem, dan kertas koran berbahasa sunda kami gunting menggunting dan menempel. Pengalaman baru buat saya ikutan tur jalan kaki dan diakhiri workshop. Menyenangkan juga, agak menyegarkan setelah seharian berjalan terus. 

 

walking tour tasikmalaya bersama mapah sareng dan mlampah sareng
foto bersama Teh Innes pemiliknya RBH - photo courtesy: Retna/Mapah Sareng


Saya catat di notes hp tentang hal-hal yang saya lihat di Tasik dan berjanji pada diri sendiri akan mencari informasinya lebih lanjut: sapu ijuk SPA, batik tulis tasikmalaya, kain mori, payung geulis, rumah burujul heritage, dan tentu saja bonteng.


Foto-foto dokumen pribadi, kecuali yang telah dicantumkan photo courtesynya

Di Alun-Alun Banyumas dan Masjid Kunonya

09 June 2024

Bila ada satu bangunan yang paling berkesan di sekitar kota tua Banyumas, itu adalah Masjid Agung Nur Sulaiman. Lokasinya di jantung alun-alunnya. Usia masjid ini lebih tua dari kota Bandung: 400 tahun! 



19 km dari Purwokerto kami bertiga menumpang motor usai jajan di toko Brassil. 


Sekitar pukul setengah lima sore kami tiba di masjid Agung Nur Sulaiman. Letaknya persis di samping alun-alun Banyumas yang sedang ramai orang karena ada karnaval. 


Jarak yang demikian waktu tempuhnya hanya 20 menit saja. Tidak ada macet sebagaimana di Bandung. 


Sampai di masjid kami langsung salat asar. Kewajiban tunai barulah kami bisa bersantai menikmati arsitektur masjidnya yang indah. 


Jendela besar-besar dengan bukaan lebar. Tidak ada kacanya, tidak berteralis. Tempat berwudhu ada di sisi kiri dan kanan, dipisah tembok putih dengan ornamen kerawang berbentuk bintang. 



Banyak tiang kayu dalam masjid, ada empat saka guru dan 12 saka pengarak. Di pucuk langit-langit masjid ada tumpangsari dengan dekorasi kupu-kupu di puncaknya. 


Tegelnya adem dan resik luar biasa. Corak artdeco ada banyak. Corak yang sama menempel di dinding bagian bawah. Cantik sekali. 


Karpet masjidnya luar biasa bersih. Area khusus wanitanya lapang membuat kami leluasa beribadah, merapikan kerudung yang miring, merapikan daleman yang nyengsol, dan berdandan. 


Serambi masjidnya sangat nyaman buat diduduki dan membuat saya bengong sebentar. Angin sore datang menyentuh ujung kerudung di kening yang basah sisa raupan tadi. 


Ada larangan merokok di area masjid. Jadi kami bisa duduk santai dan ngobrol di serambi tanpa kebul asap. 


Rasanya ingin berlama-lama di sini. 





Berkesempatan salat di masjid agung di alun-alun Banyumas untuk orang Bandung seperti saya adalah pengalaman berharga. Sebab tidak ada lagi masjid dengan arsitektur seindah ini di bandung. 


Wajah cantik nan kuno masjidnya membuat pengalaman berkunjung sekaligus beribadah lebih berkesan. Istimewa sekali terasanya. Pengalaman berwudhu, salat, bahkan duduk-duduk di dalem masjid dan serambinya saja nyaman sekali buat tubuh dan mata. 



Data lengkap mengenai sejarah masjidnya dapat dibaca di sini


Makasih terkhusus untuk Mas Adit yang merekomendasikan masjid Agung Nur Sulaiman. Tanpa dia manalah saya tahu ada masjid secantik ini di Banyumas, membuat perjalanan jalan-jalan di Purwokerto kami rasanya penuh.

Pecel Buatam Salinem dan Rahasia-Rahasianya

24 May 2024

Rahasia Salinem adalah novel fiksi yang bahan baku utama ceritanya bersumber dari makanan bernama pecel. 



Plot ceritanya maju mundur dari masa lampau ke masa kini. Seting waktunya zaman belanda, jepang, revolusi, dan tahun 2013. 


Penulisnya mencampurkan fakta sejarah dengan narasi fiksi. Karena latarnya di kota Solo jadi unsur feodalisme jawa dan priyayinya bisa kita saksikan dari kacamata tokoh bernama Salinem, Kartinah, dan Soekatmo. 


Penulisnya ada dua: Wisnu Suryaning Adji dan Brilliant Yotenega. 


Sudut pandang ceritanya orang ketiga dan novelnya setebal 412 halaman. 


Diceritakan bahwa Salinem piawai membuat pecel tapi ia tidak mewariskan resepnya pada siapapun hingga akhir hayatnya tiba. 


Tyo, sebagai cucunya Salinem, berburu racikan pecel legendaris tersebut.


Pencariannya membuka banyak rahasia Salinem yang lain termasuk status sosial, kesetiaan, dan perjalanan hidup neneknya sekaligus keluarganya. 


Ada banyak sekali nama tokoh dalam novel Rahasia Salinem. Jujur saja saya agak pusing dibuatnya, ditambah nama-namanya mirip. Bahkan ada satu nama yang panggilannya tiga: ning, bulik, ragil. 


Hal yang bikin syok dari novel ini: ada banyak adegan kematian dan penulisnya cakap menggambarkan detik demi detik maut datang. Begitupun dampaknya terhadap orang yang ditinggalkan. Aduh mengambar air mata ini saat bacanya. Bukan bersedih karena semata-mata adegan yang ngenes, tapi karena rangkaian ceritanya dari awal sampai kematian hadir secara rapi, runut, dan detail. Ibaratnya pembaca gak hanya kenal dengan tokohnya tapi juga berteman.


Penulisnya laki-laki sedangkan tokoh utamanya perempuan, yaitu Salinem. Agak lumayan kerasa maskulinnya Salinem, Kartinah, bahkan Ning yang berbeda dengan Dasiyah, Roemaisa, dan Arum dalam novel Gadis Kretek yang mood perempuannya terasa sekali.


Sejauh ini saya gak nemu bocornya novel ini di mana selain bagian awal novel yang bertele-tele. Satu novel ini bisa jadi dua novel sih. Ceritabya 


Pengalaman membaca pertama saya terhadap novel ini agak kurang.  Setengah cerita di awal rasanya membosankan, tapi begitu udah dapat kliknya langsung nyantol, terutama cerita berlatar revolusi. Lumayan saya ulang lagi dari awal agar genap mengertinya. 

Berkunjung ke Pabrik Permen Davos Berusia 93 Tahun Bersama Mlampah Sareng

11 May 2024

Permen Davos merupakan brand yang bukan bicara tentang produk saja. Melihat Davos artinya throwback alias dilempar mundur ke belakang. Yang dilempar adalah ingatan kita karena permen Davos sobat anak-anak di tahun 90an. Nostalgia.  


 berkunjung ke pabrik davos


Saya, Indra, Nabil, dan Unis, rombongan Bandung ini sengaja bertandang ke Purwokerto Banyumas hendak mengikuti turnya Mlampah Sareng ke pabrik permen Davos di Purbalingga pada hari Sabtu 04/05/2024.

Dari Purwokerto ke Purbalingga dekat saja hanya 30 menit. Namun di Bandung setengah jam terasa cepat padahal sedang terjebak macet. Artinya titik pergerakan saya tidak jauh. Akan tetapi dalam perjalanan Purwokerto - Purbalingga 30 menit tanpa hambatan apapun. Tidak ada macet, hanya ada sedikit titik lampu merah. Titik pergerakan saya cepat berubah dan anehnya terasa jauh. Aneh juga ya reaksi tubuh terhadap perbedaan waktu tempuh yang sebetulnya sama itu. 


Berkunjung ke pabrik permen davos mulainya pukul 10 pagi. Sedangkan kami sudah mendarat di Purbalingga 1,5 jam sebelumnya. Mencari-cari rumah makan atau warung terdekat demi sarapan yang baru buka hanya rumah makan Padang. Betulan fast food pemadam kelaparan! Okelah bungkus!

Tidak dibungkus, makan di tempat saja. Rasanya? Waduh lezat sekali. Kami memesan telor dadar, nasi dan kuah rendang. Kami makan dengan lahap. Lapar sebabnya! Ditambah empat es jeruk dan kerupuk satu bungkus total empat porsinya Rp71.000.

Tidak seperti di Bandung dan Yogyakarta, tur di Purbalingga ini cukup tepat waktu meski mulainya tetap molor juga. Sekitar pukul 10.30 kami bersama-sama berangkat ke pabrik Davos. Dari titik kumpul di Usman Janantin Park, menyebrang Jalan Ahmad Yani, masuk ke Jalan Gunung Kelir V. Sampai sudah ke pabriknya! Hanya satu menit waktu tempuhnya! 

 

berkunjung ke pabrik permen davos
courtesy Mlampah Sareng

pabrik davos purbalingga



Permen Davos yang saya kenal ada dua. Warna biru berisi 10 permen berbentuk tablet putih dan warna hijau kotak berisi 20 tablet kecil-kecil. Warna biru namanya Davos Roll, itulah permen pertamanya Davos. Sedangkan yang hijau namanya Davos Lux, favorit saya. Davos Roll rasanya terlalu pedas, tapi seingat saya sering ada dalam saku celana saat perjalanan jauh seperti mudik. Karena rasa pedasnya lumayan meredakan rasa kembung dan mual. 

 

Ternyata bukan barudak 90an saja yang akrab dengan permen Davos. Akan tetapi juga generasi ibu dan nenek saya. Sebab permen Davos adanya sejak tahun 1931! 


Fakta mengagumkan itu yang baru saya ketahui dari turnya. Sudah 93 tahun PT Slamet Langgeng produksi dan berdagang permen. Bayangkan hampir satu abad membuat produk yang sama.

Dari turnya juga saya mendapatkan informasi Davos pernah membuat limun. Namanya limun Slamet. Namun tidak lama hanya beberapa tahun saja.

Memasuki ruang produksi pabriknya kami dibekali head cover, masker, sarung tangan, dan sarung buat alas kaki. Sayangnya kami berjalan berombongan yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Agak sulit mendengar penjelasan pemandu tur jika kita berada di barisan paling belakang.

Namun saya berhasil mencatat beberapa hal menarik dari penjelasannya. Seperti; bahwa permen Davos tidak menggunakan bahan pemanis buatan, gula dijemur menggunakan mesin sedangkan proses di masa lampau gula dijemur di bawah sinar matahari, permen Davos Roll cocok dicampur ke dalam teh tawar panas, dan cerita tentang produk limunnya.  

 

berkunjung ke pabrik davos
Courtesy Mlampah Sareng


Pertunjukan menarik dari pabriknya ada di ruang pengemasan. Karena permennya dikemas manual dan mesin. Pengemasan dengan mesin sudah dapat dibayangkan sendiri mungkin? Sementara cara manual dikerjakan oleh tangan para ibu. Persis seperti di pabrik kretek yang saya lihat di Taru Martani Jogjakarta

Ruang pengemasan adalah ruang terakhir yang kami lihat. Dimensi ruangannya paling besar dengan langit-langit tinggi. Berbeda dengan ruang produksi lainnya yang agak kecil dan tinggi langit-langitnya standar. Ruang kemas terlihat seperti ruangan lama, ruangan paling tua. Seperti hangar pesawat. Di satu sisi ada jendela-jendela besar berteralis. Para ibu duduk di sana fokus membungkus permen.

Tentang mengapa Davos mempertahankan teknik membungkus manual itu, saya bertanya pada Kevin, pemandu tur dari Davos. “Penggunaan mesin pada teknik membungkus ini berdasarkan permintaan industri, Mbak. Karena kalau mesin yang bekerja, pembungkusannya rapat sekali. Beda dengan bungkusan ala tangan yang menggunakan lem,” jawabnya sambil memperlihatkan kemasan Davos Roll warna biru buatan mesin dan tangan.

Semua pemandu tur Davos bekerja dengan semangat. Seolah-olah kami tamu pertama kalinya bagi mereka, padahal tentu bukan. Davos sendiri secara rutin menerima kunjungan dari berbagai sekolah dan lembaga.

Entah seberapa luas pabriknya saya tidak bertanya. Kalau diperhatikan pabriknya tidak terlalu besar. Namun usahanya berjalan terus-menerus. Betul-betul pengalaman yang menggairahkan buat saya karena saya dan Indra juga berdagang di Fish Express. Kami juga mempunyai tempat produksi sendiri. Memelihara bisnis hingga 93 tahun betapa solidnya. Apa rahasianya bisa bertahan selama itu ya?

Indra bertanya pada Kevin, seberapa banyak kapasitas produksi pabrik ini perharinya. Kevin menjawab diplomatis, “Gimana marketingnya saja, Mas. Kami di sini selalu siap produksi sesuai permintaan mereka.”

Marketing dan salesnya Davos kok bisa sih jualan permen senendang itu. Ujung tombak bisnis seperti ini kan ya berdagang! Nawar-nawarin, jual-jualin. Tidak ada sales tidak ada uang. Bagaimana cara marketing dan salesnya bekerja sampai-sampai produk permen mint ini bertahan sepanjang 93 tahun?

 

berkunjung ke pabrik permen davos

Pertanyaan yang tidak terjawab karena sepertinya harus ada sesi ngobrol sendiri agak lama dengan Kevin. Makasih Mas Kevin yang antusias dan ramah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

 

Begitu turnya selesai kami diberi suvenir permen Davos dan segelas teh dingin rasa permen davos. Tehnya segar, manis, dan dingin. Niat hati mau membawa pulang merchandise (apa saja: mug, pin, tshirt, kalender, totebag) tapi sayang belum ada merch resminya Davos. 

 

Saat ngomongin merchandise Davos saya teringat Seni Kanji. Sepertinya akan jadi kolaborasi menarik kalau bisa terwujud poster Davos buatan Seni Kanji. Tiba-tiba terlintas saja sih ide ini.

Sejujurnya saya sudah lupa ada yang namanya perman Davos. Namun sering tidak sengaja saya tonton  kontennya di TikTok. Ya betul Davos aktif menggiatkan konten-konten digitalnya di TikTok dan Reels dengan nama @davos.official. Link ke toko onlinenya juga tersedia pada platform tersebut. Salut sekali pada bisnis lama yang lentur adaptif terhadap teknologi, utamanya dalam hal ini media sosial. 

 

peken banyumasan davos purbalingga


Ditambah lagi kunjungan pabrik ini di bawah komando Mlampah Sareng dan termasuk dalam rangkaian acara bernama Peken Banyumasan. Peken Banyumasan merupakan acara kreatif satu hari yang menampilkan kolaborasi antar jejaring lokal: ada local market, ada tur berjalan kaki, ada screening movie, ada showcase dari kreator-kreator lokal. Kolaborasi yang menarik dan dibutuhkan satu sama lain, saya juga sebagai pesertanya.

Waktu menentukan tujuan ke Purwokerto tiada lain saya hanya mau ikutan tur ke pabrik permen Davos di Purbalingga. Niatnya ke satu kota saja, berujung sedikit singgah ke Purwokerto dan Banyumas juga. Hamdalah jalan-jalan yang menyenangkan, terutama di Purbalingga saat tur ke pabrik Davos. Kami kembali ke Bandung dalam kondisi bahagia rohani dan capek jasmani.



Rumah Zakat Gelar Indonesia Mendongeng ke-10 Angkat Tema Kisah Palestina

23 December 2023

Sembilan tahun berturut-turut Rumah Zakat rutin menyelenggarakan program Indonesia Mendongeng pada akhir tahun tepatnya bulan desember. Kegiatan yang diselenggarakan di banyak titik seluruh Indonesia secara serentak ini ditujukan untuk mengisi kegiatan libur sekolah. Puluhan ribu anak-anak dari Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) berpartisipasi dalam acara tersebut. 

 

Rumah Zakat Indonesia Mendongeng ke 10



Indonesia Mendongeng ke-10 bergulir 25 Desember 2023 mendatang serentak di 57 titik, 29 kota/kabupaten, dan 17 provinsi diikuti 30.000 santri TPQ. Event di Bandung berada di Rabbani Buah Batu sementara di Jakarta digelar di Taman Margasatwa Ragunan.

Tiap tahunnya Indonesia Mendongeng menyajikan tema berbeda-beda dan menggandeng komunitas dongeng yang ada di kota masing-masing. Tema tahun 2023 adalah Santri TPQ Cinta Sesama dan Semesta. Pelaksanaan kegiatan berisi cerita, aneka lomba, dan dongeng tentang sejarah Palestina.

Dalam Indonesia Mendongeng Rumah Zakat senantiasa mengedepankan tema-tema edukatif, mengajarkan hal-hal baik, semangat berbagi dan kepedulian kepada saudara-saudara yang membutuhkan.

“Mengingat saat ini saudara saudara kita di Palestina sedang berjuang mempertahankan tanah tumpah darah mereka. Dan kita selaku umat muslim, perlu bersuara dan berdoa untuk keselamatan saudara saudara kita di Palestina. Oleh karenanya di edisi satu dekade ini kami juga mengajak para santri dan anak anak Indonesia untuk menyisihkan infak terbaiknya untuk Palestina,” ungkap Al Razi Izzatul Yazid selaku Kepala Divisi Humanitarian Rumah Zakat. 

 

Rumah Zakat Indonesia Mendongeng ke 10


Hingga saat ini Rumah Zakat sudah menyalurkan bantuan 32.671 paket makanan siap saji, 1.515 paket obatan-obatan ke RS Gaza, 2.472 paket food basket, 180 pakaian musim dingin, 207 hygiene kits, 3.640 kaleng kornet Superqurban, 3 truk kontainer bermuatan full-logistic dari Cairo-Gaza, 3.500.000 liter air bersih, dan ⁠2 titik Desalinasi Air Laut.

Untuk pekan 3 dan 4 Rumah Zakat akan menyalurkan 10.000  makanan siap saji, 1.000 food basket, 2.400 sandang musim dingin, 2 titik Aksi Siaga Sehat, 1 unit ambulans, dan 2 unit Desalinasi Air Bersih.


Awal Mula Indonesia Mendongeng Rumah Zakat


Rumah Zakat adalah lembaga filantropi yang mengelola zakat, infak sedekah, serta dana sosial lainnya melalui program-program pemberdayaan masyarakat.


Indonesia Mendongeng lahir di Rumah Zakat Kota Solo ditujukan mengisi libur sekolah akhir tahun. Melihat kegiatan yang baik tersebut Rumah Zakat berinisiatif merancangnya sebagai acara rutin tahunan tidak hanya di satu kota saja tapi juga banyak kota dan titik seluruh Indonesia.

“Dalam setiap programnya Rumah Zakat berusaha memenuhi tiga ruh perjuangan yaitu membahagiakan, memberdayakan, dan menyelamatkan. Indonesia Mendongeng adalah bagian dari edukasi pada anak-anak untuk bahagia tidak hanya sekedar lahir tapi juga batinnya,” tutur Chief Program Officer Rumah Zakat Muhammad Sobirin.



Sore di Buku Akik

10 September 2023

Sebetulnya ada dua toko buku yang ingin saya datangi di Jogja. Dengan waktu separo hari, yang kesampaian hanya Toko Buku Akik. Sore hari di sana ada banyak pengunjungnya. Bukan hanya mereka melihat-lihat, tapi juga membeli, membaca, dan tentu saja melakukan aksi khas zaman TikTok: berfoto dan bervideo. 


 

Saya juga tentu saja! Buku Akik menyediakan spot-spot berfoto tersebut. Alih-alih bersikap sok-sok idealis dan melawan zaman, mereka malah beradaptasi. Buku Akik termasuk yang lincah di media sosial. Tanpa tokonya dibuat estetik pun pasti ramai pengunjung. Tapi mereka tetap siapkan pojok estetiknya tersebut.
 

Mungkin menjadi ‘estetik’ merupakan jalur viralnya. Hehe. Jalur viral keduanya bernama ‘hidden gem’. Walo begitu tanpa kedua hal tersebut Buku Akik akan tetap ramai pembeli sepertinya.

Namun memang betul ini zamannya hidden gem. Di zaman sebelum pandemi pasti sulit toko buku dalam gang berdagang. Namun di zaman serba TikTok dan reels, makin dalam lokasi sebuah tempat perdagangan, makin disukai netizen.

Begitulah juga Buku Akik. Menuju ke sana saya dibonceng mas-mas gojek. Dibawa ke arah Kaliurang km 12, saya berhenti di mulut gang. Selanjutnya berjalan kaki saja berbekal peta google. Tidak ada plang mencolok. 

 


Tokonya berada dalam sebuah rumah berlantai dua. Lantai satunya yang jadi toko. Ada pintu gerbang dan halaman luas. Pintu ke rumahnya berdaun dua.

Begitu masuk ke dalam tokonya di sisi kanan area buku-buku yang dijual, sisi kirinya perpustakaan. Ada tempat duduk dan ada lesehan.

Ada juga ruangan entah apa sekatnya berkaca, sepertinya nonsmoking area kah?

Segera saya melihat koleksi bukunya yang sangat banyak itu. Sudah beberapa kali saya memesan buku secara online di Buku Akik sejak pandemi. Baru di tahun 2023 kesampaian lihat tokonya langsung.

Dua buku fiksi saya check out dari Buku Akik. Salah satunya buku yang sudah saya jadikan wishlist, Saga Dari Samudera dari Ratih Kumala.

Buat kenangan-kenangan dan tanda mata, saya beli totebag Buku Akik. Bila ada waktu dan rezekinya, semua toko buku di Jogja yang menjual merchandise akan saya datangi dan saya beli.

Baru dua toko buku di Yogyakarta yang saya kunjungi. Toko Buku Natan di Kotagede dan Toko Buku Akik di Kaliurang. 

 


Jujur saja ada irinya saya melihat kultur perbukuan di Jogja yang bergairah. Di Bandung pernah ada masanya toko buku ada banyak dan hidup semua.

Sekarang saja di toko buku di Bandung yang saya tahu Lawang Buku. Ada banyak toko buku bekas dan toko buku komersil, tapi saya tidak sedang bicarakan dua jenis toko buku tersebut.

Waktu di Buku Akik saya amati ada tumpukan paket buku yang sedang menunggu kurir tersimpan di kursi depan. Saya hitung ada 28 paket buku. Ada yang tebal, banyak yang tipis.

Di dalam tokonya saat saya bertransaksi di meja kasir, terdengar suara agak heboh dari ruang sebelah. “Lagi pada ngapain itu, Mba” tanyaku pada mba kasir.

Mba-mba kasir berkaos kuning yang manis itu menjawab santai “biasa sedang live shopee.”

Selajang Pandang Magelang Bersama Alon Mlampah

04 September 2023

Kalau ada satu-satunya pelajaran sejarah yang kuingat, itulah dia tentang penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda yang berlokasi di Magelang, di sebuah gedung karesidenan. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi di bulan Maret tahun 1830. Saya berada di gedung tersebut 193 tahun kemudian, di hari itu sabtu 26/8/2023.

 

mlaku magelang


Gedungnya sekarang jadi Museum Diponegoro. Sewaktu saya ke sana ada hajatan sedang berlangsung. Teras gedungnya disewa untuk resepsi pernikahan. Sehingga saya dan teman-teman peserta tur jalan kaki Selajang Pandang Magelang hanya menyaksikan gedungnya dari luar saja. Hajatan di museum? Bisa ternyata kalau di Magelang! Hehe.

Akhir pekan yang singkat di Magelang sangat berkesan. Saya mengunjungi beberapa bangunan antik di sana. Kulihat bangunan sekolah cikal bakal lembaga STPDN, sekolah tempat Kyai Ahmad Dahlan mengajar, pastur Verbraak yang patungnya ada di Taman Maluku Bandung ternyata sepak terjang dan makamnya di Magelang, menelusuri cerita tentang KNIL dan pergundikannya.

Lalu ter-epik jejak telusur saya hari itu: lokasi Pangeran Diponegoro ditangkap Letnan Jendral Hendrik Merkus de Kock.

Maksudku, kita belajar di sekolah tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Ingat tidak? Dari Perang Jawa yang tidak berkesudahan ujungnya, suatu hari beliau diajak berunding Belanda. Tak tahunya dia dijebak. Belanda menangkapnya.

Peristiwa itu saya telusuri secara singkat dan jelas dari walking tour di Magelang. Karena berada langsung di lokasi penangkapannya, saya jadi serius menyimak kronologi peristiwanya berdasarkan penuturan Mas Gusta, selaku pemandu cerita dari Mlaku Magelang


Memang rasanya berbeda sekali menyimak cerita-serita sejarah di sekolah, di rumah, dan di tempatnya langsung begini. Pengalaman yang menyenangkan bisa berada di lokasinya langsung. Mungkin otak saya tidak mampu mengingat data nama, tanggal, dan lain-lainnya secara rinci, tapi perasaan terpukau yang muncul saat mendengar cerita Mas Gusta masih melekat.


museum diponegoro magelang


Mas Gusta cerita peristiwa penangkapan terjadi di bulan Syawal. Sebagai muslim, saya membayangkan bulan tersebut adalah bulan silaturahmi karena habis bulan puasa Ramadan.

Nah sepanjang bulan Ramadan hubungan antara Pangeran Diponegoro dan de Kock terbilang akrab. Mereka ngobrol dan nongkrong bareng di karesidenan tersebut. Begitu cerita Mas Gusta.

Hingga setelah Lebaran, Pangeran Diponegoro datang lagi ke gedung karesidenan. Disambut ramah oleh Belanda dan mereka ngopi-ngopi. Tak tahunya saat diajak ke dalam gedung, Pangeran Diponegoro dikasihtahu bahwa dia akan ditangkap, saat itu sekarang juga. Lha Diponegoro mengira hari itu dia akan berbincang-bincang seperti hari kemarin-kemarin, ternyata ditangkap.

Menyimak cerita naratif sekaligus berada di lokasi yang sama dengan penangkapannya, saya bisa membayangkan kejadian berlangsung. Wah betapa waasnya, demikian kalau kata orang sunda.


museum diponegoro magelang


Tangga teras yang saya injak adalah tangga yang sama yang diinjak Pangeran Diponegoro. Lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro setingnya teras gedung tersebut. Dan saya, 193 tahun setelah kejadian bersejarah itu, berada di teras yang sama!

Museum Diponegoro lokasinya di Jalan Diponegoro no. 1 Kota Magelang. Bangunannya berada di kompleks eks Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu, yang sekarang jadi Museum BPK dan Museum Diponegoro.

Gedungnya masih utuh dan berdiri menghadap Gunung Sumbing. Pelataran depan gedungnya luas sekali. Terdapat arca di dua sisi depan bangunan. Arca-arca lainnya juga terdapat di halaman belakang.

Saya mencari datanya di artikel-artikel online, luasnya 2.552 meter persegi. Kemewahan dan keagungan pejabat-pejabat kolonial dan priyayi masa lalu terlihat dari pemilihan lokasi di sini.

Saya sendiri masih gak percaya saat berdiri di depan gedungnya. Terpukau sekali rasanya bisa berada di tempat bersejarah tersebut. Meski agak terhalang dekorasi pernikahan karena gedungnya disewa untuk hajatan resepsi.

 

 

depot es semanggi magelang

kauman magelang

mlaku magelang

Dan kupikir Mas Gusta dari Mlaku Magelang adalah pemandu yang sangat impresif ceritanya. Selain dia pembaca buku akut sehingga memahami konteks sejarah dan peristiwanya, cara bicaranya juga menarik. Dia tahu bagaimana menempatkan kisah-kisah dramatis di awal, tengah, dan ujung cerita. Benar-benar rasanya seperti didongengin.

Caranya menyebut nama berbahasa belanda, jawa, indonesia sangatlah fasih. Seperti muscle memory yang bicara. Saat ia cerita pada kami tentang monarki bupati Magelang yang ia sebut lima nama bupatinya lengkap, panjang, tidak ada keraguan. Caranya bicara seperti jalan tol, mulus!

Mas Gusta juga beberapa kali bicara dalam bahasa jawa. Dan justru menarik banget bumbuhan ungkapan bahasa jawanya. Saya tidak mengerti tapi saya mengapresiasinya dan tidak merasa dikucilkan sebagai satu-satunya warga Bandung (sunda) yang ada dalam tur tersebut.

Sepertinya menjadi pemandu Mlaku Magelang adalah panggungnya ya. Dan kupikir Mas Gusta adalah aktornya.  Kostum yang ia kenakan juga bagian dari pertunjukkan. Kostumnya adalah pakaian seragam sekolah pamong praja di Magelang. 

 

mlaku magelang

Kami berjalan kaki cukup jauh, hampir 10.000 langkah dari pukul 9.30 hingga 4 sore!

Kupikir dengan kostum dan alas kaki yang ia kenakan, pastilah tidak nyaman rasanya. Namun energinya sepanjang tur tidak habis! Jalannya bertenaga, ceritanya bersemangat. Tempo cerita yang rapi dan interaktif. Betul-betul sebuah komitmen yang hebat.


Saya beruntung bisa ikutan tur ini. Meski hanya melihat selayang pandang saja alias melihat kurang dari satu hari, tapi cukup berkesan. Es pleret coklat yang kuminum di warung pojok bawah tanah rasanya enak dan segar! Bangunan tua di Magelang yang cakep-cakep dan tentu saja puncaknya di Museum Diponegoro itu yang menarik.

 

Meski lihatnya sekilas, agaknya betul juga kalau Magelang disebut cocok untuk dihuni pensiunan. 

 

mlaku magelang


Dan walau harus keluar uang rada banyak untuk transportasi dan akomodasi karena transit di kota Jogja dulu bergabung dengan Alon Mlampah selaku penyelenggara tur ke Magelang tersebut, tapi ya gak apa-apa. Uang bisa kucari lagi. Pengalaman menyenangkan ini mungkin gak akan terulang (meski ada rencana akan saya lakukan lagi!).

Sore di Magelang saat kami beranjak dari bangunan Museum Diponegoro itu terasa syahdu. Langit menguning seperti berkabut. Peristiwa duka dan suka ada di lokasi-lokasi yang saya datangi. Khusus buat saya, yang terasa sukanya. Benar kata orang-orang, waktu terbang saat kita sedang bersenang-senang.

Cerita Dari Walking Tour di Cicalengka

15 August 2023

Coba bayangin ada acara seperti itu di kabupaten: walking tour di Cicalengka. Namanya juga penasaran, saya daftar sekaligus buat empat orang. Saya ajakin orang-orang di rumah ayo ikut yuk! Mumpung soalnya. Dalam bayangan saya mungkin tur jalan kakinya berlangsung satu kali, yang kedua kalinya akan selang beberapa bulan mendatang atau entah kapan. 


cicalengka historical trip

 

Tentang Cicalengka hanya pahlawan pendidikan Dewi Sartika yang saya ketahui dari buku biografinya. Usai tur berjudul Aloen-Aloen Tjitjalengka (25/6/2023) ini saya tahu kalau di masa kolonialnya Cicalengka pernah menjadi ibukota kabupaten.

Beberapa tokoh penting pernah bermukim dan melintasinya. Ada Djuanda, Soekarno, arsitek terkenal Wolff Wchoemaker, dan Umar Wirahadikusumah.

Ir. H. Djuanda adalah perdana menteri Republik Indonesia dan inisiator Deklarasi Djuanda yang mengubah sistem ketatalautan dan zona teritorial Indonesia. Namanya abadi menjadi nama jalan yang populer dengan nama Dago, taman hutan raya, bandara, dan kita dapat melihat wajahnya dalam lembar uang 50.000.


Djuanda kecil menempuh pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar warga eropa dan bangsawan) yang kini menjadi SMPN 1 Cicalengka. Masa remajanya bolak-balik naik turun di Stasiun Cicalengka - Stasiun Bandung demi bersekolah di HBS (SMA 3). Ayah Djuanda sendiri guru di HIS (sekolah belanda untuk bumiputra) yang sekarang berfungsi sebagai SDN VIII Cicalengka.

Dalam tur jalan kaki Cicalengka ini kami diajak melihat kedua bangunan fisik sekolah tersebut. Yaitu SMPN 1 di Jl Dipati Ukur dan SDN VIII di alamat Jalan Raya Barat. 

 

cicalengka historical trip

cicalengka historical trip

 

Kedua bangunan itu masih menyisakan bagian kunonya. Terlihat skala ruangnya berbeda jauh. Bangunan SMP 1 bekas sekolah dasar eropa lebih megah dan tinggi. Jendela dan pintunya besar-besar. Lokasinya tepat di depan Alun-Alun. Sedangkan SDN VIII yang dahulu sekolah khusus pribumi bangunannya lebih kecil begitupun jendelanya. Lokasinya agak menjauh dari Alun-Alun.

Dari situ saja terlihat perbedaan sekolah kolonial dan sekolah pribumi. Sebuah perbandingan menarik, status sosial sejarahnya masih bisa saya lihat berkat kondisi fisik bangunan yang masih ada.

Tur berlangsung sekitar dua jam saja. Menurut saya waktunya sudah ideal. Saat saya mengikuti walking tour di kota Yogyakarta, durasinya dua jam juga.

Meskipun hanya dua jam, ada banyak bangunan tua yang kami lihat secara fisik dan secara gaib. Hehe melihatnya dengan mata batin karena bangunannya memang tidak ada. Sudah berganti rupanya. Seperti bangunan sekolah agama yang bersebelahan dengan kantor kecamatan. Juga penjara yang kini menjadi gudang pegadaian.

Bumi Kapungkur adalah situs kuno paling berkesan buat saya. Bentuknya rumah tinggal bergaya arsitektur artdeco (bulat-bulat bentuknya dan banyak dekorasi rumah). Warga mempercayai rumah tersebut sebagai rumah keluarga Dewi Sartika.

Cicalengka berjarak 32 km dari Alun-Alun Bandung dan identik dengan pahlawan Dewi Sartika yang pernah bermukim di rumah pamannya patih cicalengka. Di sanalah jiwa aktivisnya tumbuh. Saat orangtuanya bebas dari pengasingan dan kembali ke Bandung, Dewi turut pulang dan membawa angin perubahan dalam pendidikan perempuan.

Rumah patih yang pernah didiami Dewi Sartika bukanlah Bumi Kapungkur, melainkan berada di kompleks sekolah SMP 1 di Alun-Alun. Tur jalan kaki ini meluruskan fakta yang kabur tersebut. 

 

 cicalengka historical trip

cicalengka historical trip


Sofia Riyanti, pemilik rumahnya, mengatakan penghuni rumah merupakan generasi ke-4. Tentang apakah betul Bumi Kapungkur rumah keluarga Dewi Sartika, Sofia mengatakan hal sebaliknya. “Rumah kami bukan rumah keluarga Ibu Dewi Sartika.”

Sofia melanjutkan cerita, saat itu buyutnya, H. M Samsudi, menikah dengan anak pertama camat Cicalengka. Samsudi merantau dari Palembang dan berprofesi pedagang akar wangi dan ulat sutera. Setelah menikah ia menetap di Cicalengka dan bermukim di rumah yang dibangun tahun 1928 itu.

Obrolan tentang profesi Samsudi terdengar menarik, yaitu usaha ulat sutera dan akarwangi. “Memang pernah ada bisnis benang ulat sutera di Cicalengka tapi hasil panen ulatnya tidak terlalu bagus”, kata Ibu Sofia. “Kecil-kecil ulatnya sehingga usaha tersebut tidak berlangsung lama juga,” ujarnya lagi.

Bila berpatokan ke Jalan Dewi Sartika lokasi Bumi Kapungkur di sebelah utara. Di masa kini rumahnya bersanding padat dengan rumah-rumah lainnya, juga di seberangnya arah selatan. Saya mengintip di sedikit di belakang rumah-rumah itu dan terdapat areal pesawahan yang luas dan indah. Sistem pesawahannya terasering.

Saat itu pukul sembilan pagi dan sinar matahari sedang cantik-cantiknya menyentuh pucuk-pucuk padi pesawahan. Saya membayangkan diri menjadi Samsudi dan ngopi-ngopi di teras rumahnya, menghadap pemandangan itu semua di tahun 1930. Betapa indahnya.

Saya pikir akan menarik bila tur Cicalengka mampir sebentar melihat pemandangan pesawahan itu. Cerita nostalgia sejarahnya akan bulat karena relevan dengan kejadian masa kini, yaitu tentang mata pencaharian warga Cicalengka dan kondisi areal pesawahannya.

Sebelum tur dimulai saya sempet bertanya profesi warga Cicalengka mayoritas apa. “Kebanyakan buruh tani, buruh pabrik, dan buruh harian lepas” jawab Nurul Maria Sisilia ketua pelaksana tur jalan kaki Cicalengka.

Saat ini terhitung jumlah penduduk Cicalengka 122.991 (bandungkabs.bps.go.id). Dilansir dari sumber yang sama, pekerjaan warga terbanyak adalah buruh harian lepas, wiraswata, dan pekerja swasta. Sementara komoditas pertaniannya yang utama adalah jagung, cengkeh, dan tembakau. 

 

cicalengka historical trip  cicalengka historical trip

 

Cicalengka menjadi lumbung pertanian dan perkebunan di masa kolonial. Tanaman kopi, teh, dan kina dibudidayakan. Rencana pemerintah belanda memindahkan pusat kepemimpinan dan militer ke kawasan Bandung melahirkan infrastruktur kereta api dan Stasiun Cicalengka.


Stasiun Cicalengka yang mulai beroperasi tahun 1884 ini menjadi jantungnya mobilisasi perekonomian karena mengangkut hasil bumi dari perkebunan ke kota Bandung dan Batavia (Jakarta). Saat ini bangunan utama stasiun yang bersejarah terancam dibongkar berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kereta api cepat. 

 

Di stasiun yang sama pula tahun 1929 calon presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, turun dari kereta asal Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju penjara Banceuy. Soekarno saat itu dianggap salah satu tokoh penggerak kemerdekaan dan kemunculannya sebagai tahanan pemerintah kolonial di stasiun Bandung akan memicu keributan. Oleh karena itu beliau berhenti di Stasiun Cicalengka alih-alih Stasiun Bandung. 

 

 

cicalengka historical trip


Di akhir tur kami dituntun ke kantor kecamatan. Di sana ada pertunjukan musik keroncong dan pameran foto Cicalengka tempo dulu, durasi acaranya bertambah. Ada juga kuisnya dan saya berhasil mendapatkan satu tas selempang kecil warna hitam bertuliskan “Tjitjalengka Historical Trip”. Duh senangnya!

Tur jalan kaki yang sangat menarik. Pendaftarannya melalui instragram mereka di nama akun @tjitjalengka.historical. 


Senang saya bisa tahu lebih banyak dari hari-hari kemarin. Bahwa di Cicalengka ada banyak tokoh penting yang bermukim di sana itu juga fakta menarik. 


Jadi ingat buku perjalanan Sigit Susanto berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Dia tinggal di Swiss dan sering jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Minatnya pada sastra dan politik. Karenanya dia bertandang ke kota-kota pelosok kecil menyusuri jejak para tokoh panutannya. Bisa ya di sana keberadaan para tokoh itu diabadikan dan jadi situs wisata; rumahnya, makamnya, sampai warung kopi tempatnya nongkrong. 

 

Bila saja Cicalengka bernasib seperti desa-desa di eropa itu, waduh betapa bergairahnya wisata (sejarah) di Bandung.


Terima kasih kepada Tjitjalengka Historical Trip yang meriset dan merancang perjalanan singkat tersebut. Benar-benar gerakan progresif buatan anak kabupaten. Sesuai taglinenya tur jalan kaki ini, hari itu saya melihat sejarah besar di kota kecil. 



cicalengka historical trip




Menginap Seribu Malam di Mulih Ka Desa

08 August 2023

Hanya satu malam saja kok. Keinginan awalnya saya dan indra mau cari pemandangan yang segar-segar. Udaranya sejuk dan banyak pohon. Di bandung tempat kami tinggal juga banyak pohonnya tapi di sana kami cari uang dan bertahan hidup. Sehingga stres adanya. Lalu ketemulah dengan penginapan Mulih Ka Desa di Garut.


 nginep di mulih ka desa garut

 

Impresi pertama saya terhadap penginapannya gak terlalu bagus. Apalagi waktu masuk ke bungalownya. Seperti sudah lama kosong tempatnya. Saya pikir saat itu “wah kok begini aja ya”. Di kamar mandi ada banyak nyamuk kebon berhamburan. Saat itu saya tahu harus segera cari warung dan beli obat nyamuk.

Airnya lancar tidak ada masalah. Air panasnya pun mantap sekali! Ada televisi tabung dan kami tidak nonton. Entah ada wifi atau tidak, saya tidak bertanya.

Indra seperti biasa terlihat rileks dan damai. Dia langsung suka tempatnya.

Kami bersantai di kamar hingga sore hari. Mendung di luar dan rasanya malas sekali keluar kamar. Namun indra bilang lihat pemandangan sore yuk. Ya sudah hayuk, kataku.

Di luar hawanya dingin bukan main. Namun dingin segar khas gunung. Saya kenakan jaket. Khawatir masuk angin. Kami kelilingi tempatnya dan itulah saat-saat saya mulai jatuh cinta pada tempatnya.

Memang tempatnya terlihat lama kosong, tapi masih terurus. Banyak kembang yang terpotong rapi. Jalan setapak tanah yang organik tidak terlalu dibuat-buat alaminya. Beberapa lampu di sudut menyala warna kuning.

Ada tiga saung di tepi danau. Satu saungnya ada pengunjung sedang makan-makan. Saya berfoto.

Angin bertiup kencang, pepohonan bergoyang dahannya. Daun-daun seperti hendak berjatuhan tapi tidak. Ada pohon besar di sana, pohon karet, kata indra. Banyak sekali pohon yang saya lihat.  

 

nginep di mulih ka desa garut


Di restoran saya bertanya pada bapa-bapa yang duduk berjaga di sana. Ada pohon apa saja di sini, Pak? Dia menjawab antusias. Ada pohon nangka, rambutan, kayu putih, matoa, pisang, ki acret, mahoni, dan beberapa nama lainnya termasuk kembang-kembangan yang saya tidak ingat namanya. “Terus itu teh pohon karet,” katanya sambil menunjuk pohon yang dimaksud.

Tuh kan betul pohon karet, ucap indra.

Kami kembali ke kamar setelah membungkus dua obat nyamuk. Bapa-bapa tadi sempat cerita bahwa dinas kehutanan melarang pengambilan kayu hutan. Sementara Mulih Ka Desa punya ciri khas makanan yang dimasak di atas tungku. Untuk keperluan tungku mereka harus punya kayu bakar. Masalahnya penggunaan kayu bakar itu sudah dilarang.

Pantas saja saya lihat di depan tiap bungalow ada tungku. Namun tungkunya kosong. Bapa tersebut memberitahu bahwa sebelumnya tiap kamar dibekali satu ceret (ketel besar) berisi air minum. Ceretnya disimpan di atas tungku tersebut.

Sekarang saya paham mengapa ada banyak nyamuk merdeka di bungalow. Tidak ada lagi asap kayu bakar di Mulih Ka Desa.

Ditambah kasus pandemi, Mulih Ka Desa sekarang sedang dalam pemulihan. Baru buka lagi dan sedang dalam usaha bangkit kembali.

Malam itu saya tidur nyenyak. Ranjangnya besar dan luas, size kingbed. Ada suara-suara pohon ditimpa angin sehingga bunyinya agak horor. Namun indra meyakinkan saya itu betulan suara kayu-kayu pohon.

Sementara itu para nyamuk tewas dihantam obat nyamuk bakar. 

 

nginep di mulih ka desa garut
sore di mulih ka desa


nginep di mulih ka desa garut
pagi-pagi di mulih ka desa


 

Pagi datang dan saya buka pintu kamar selebar mungkin. Sayang sekali kalau saya tiduran saja. Kami jalan-jalan keliling penginapan dan jatuh cinta lagi. Hawanya segar murni bersih. Gunung Cikuray terlihat jelas. Pepohonan yang kemarin sore seperti orang ngamuk, pagi itu nampak kalem. Pagi yang mesra di Mulih Ka Desa.

Saya hirup udara banyak-banyak! Kalau bisa saya bungkus udaranya dan bawa ke Bandung. Terasa sekali bersihnya!

Saat matahari muncul di sela-sela pepohonan berkasnya masuk dan jatuh ke rumput, saya jatuh cinta lagi dengan panorama Mulih Ka Desa. Benar-benar cocok namanya: pulang ke desa.

Kami sarapan di saung. Ya Tuhan makanan Mulih Ka Desa enak semua! Rasanya segar dan gurih. Harusnya malam tadi saya pesan makan di restorannya saja bukannya pesan makan online dari restoran lain. Saya benar-benar tidak tahu bahwa masakan Mulih Ka Desa seenak itu. Bahkan makan siang pun saya santap di sana dan ya Tuhan enak sekali! Nila bakar dan tumis oncom genjer itu sangat memabukkan!

Sampai di mana tadi? saung ya?

 

nginep di mulih ka desa garut

nginep di mulih ka desa garut


Kami nongkrong di saung selama tiga jam. Bengong melihat danau dangkal dan ikan-ikan gemuknya. Ngobrolin tentang rencana punya kebon dan balong. Menghitung-hitung mengenai kemungkinan pindah ke kampung. Dan hal-hal penuh impian lainnya yang ada fananya tapi kami harap terjadi. Kami juga tertawa-tawa membicarakan kelakuan teman dan keluarga yang kocak.

Ah betapa damainya suasana dari tempat kami duduk lesehan di saung itu. Dan perasaan jatuh cinta saya makin bulat.

Sehingga saya putuskan akan kembali ke Mulih Ka Desa. Entah kapan tapi begitu saya bertandang lagi ke Garut, Mulih Ka Desa sudah masuk kantong wajib kunjungan.


nginep di mulih ka desa garut
tumis oncom genjer yang nikmat!