Tujuh orang membatalkan diri. Dua orang tetap pergi. Saya salah satunya.
Bersama kawan di Mahanagari, Rangga, di depan Terminal Ledeng kami menunggu satu orang teman. Dia yang akan menuntun kami menuju sebuah desa permai di tengah perkebunan teh di Panaruban, Subang.
Ceritanya begini. Saya berkenalan dengan pemuda bernama Yogi. Dia aktivis lingkungan mengkhususkan diri di bidang pelestarian satwa burung. KONUS (Konservasi Alam Nusantara) nama organisasi tempatnya bernaung.
Eh bukan Konus kali ya, tapi BICONS. Aduh saya lupa lembaga tempatnya bekerja, lama gak bertemu Yogi. Perjalanan yang saya ceritakan di sini terjadi sembilan tahun lalu.
Gak ada kamera dan belum ada media sosial. Jadi ini tulisan bersambung tersaji tanpa foto.
Singkat cerita, ia mengajak saya mengunjungi tempat konservasi yang mereka bina. Desa di mana mereka mengurusi Elang-elang langka.
"Kita lihat penangkaran Elang, masuk hutan dan menyusuri kebun teh. Ada air terjun di sana, terus kita tidur di rumah penduduk," demikian Yogi mengimingi-imingi saya tentang Desa Cicadas di Panaruban.
Saya gak mau pergi sendiri. Mengontak banyak teman, terkumpul sepuluh orang. Begitu waktu berangkat, hanya saya dan Rangga yang tersisa.
Tak enak bila saya harus membatalkan acara karena peserta tinggal dua. Yogi sudah siap mengantar. Pertunjukan harus tetap berjalan.
Pukul lima sore, Elf jurusan Bandung - Subang melaju. Tiga orang yang gak kenal-kenal amat mengobrol memecah sunyi, sesekali diam.
Untunglah Yogi dan Rangga cerewet sekali. Hahaha.
Sekitar jam enam lebih entah-berapa malam, Elf memuntahkan kami di sekitar Ciater. "Mau lanjut naik ojek atau jalan kaki?" Yogi bertanya pada kami.
Langit masih agak terang tapi gelap sudah berbayang. Sepakat lah kami jalan kaki. Dari ujung jalan raya hingga mencapai desanya, kami berjalan selama satu jam. Dalam gelap, dalam pekat.
Sekeliling saya hitam. Makin jauh berjalan, lampu jalan tak ada lagi. Tapi saya tahu saya sedang di tengah perkebunan teh.
Suasana terasa heniiiiiing sekali. Hanya ada suara derap kaki kami menumbuk aspal jalan. Juga ocehan kami bertiga.
Langit sepertinya mendung karena saya gak lihat ada bintang. Gerimis berderai.
Di beberapa titik, Yogi mengajak kami berlari. Sebab apa? Sebab di sisi jalan ada pohon besaaaaaar sekali dan ia mengatakan di bawah pohonnya berpenghuni. Angker. Ah dia becanda saja saya pikir. Ternyata pemuda berkacamata itu sungguh-sungguh karena dia lari duluan 😂
Tiga anak muda di antah berantah, berlari seperti anak bebek dikejar majikannya. Takut akan genderuwo dan kuntilanak. Bah!
(Bersambung...)
Asa aneh postingan ulu ga ada fotonya hehe, tapi tetep asik sih. Sok lah ditungguan postingan selanjutnya
ReplyDeleteIya. Lagi eneg sama foto-foto bagus, pengen nyobain balik ke idealisme tulis menulis tanpa embel-embel fotonya harus bagus blablablabla :D
DeleteSelalu suka sama petualangan Ulu, penasaran sama sambungannya, etapi belum ada foto yaaah
ReplyDeleteKan udah disebutin di tulisannya, Teh. Gak akan ada foto :D
DeleteHalagh..ada apa dibalik pohon besar itu. Penasaran Ulu, apa ada kunti kah..
ReplyDeleteIya bener kata Tian, poto mana..ptoo
Gak ada foto, teh. Sengaja :D gak punya fotonya soalnya. Wkwk
DeleteKenapa ceritanya bikin penasaran yaa
ReplyDeleteOya? Wah padahal gak niat bikin penasaran :D segera ah bikin cerita ke dua :D
DeleteWah gak sabar nunggu kelanjutannya cz dulu di Kaskus pernah ada cerbung tentang kisah misteri di perkebunan Subang :)
ReplyDeleteWah oyaaa? Yah tapi cerita saya mah bukan cerita horor eung :D
DeleteOh Ulu pernah di mahanagari? Bareng Om Ben2 dong?
ReplyDeleteDan Konous, saya dulu mengenal pengolahan sampah di konous juga
Hehe dunia sempit
Heuheu tampak seru, nunggu sambungannya...
ReplyDeletekalo ka Panaruban deui, ka dieu atuh Lu... 15 menit ge dugi. Tapi kalo mapah mah jadi 2 jam sih da eureun hea di tukang sate ketan 😂😂😂
ReplyDelete