Berikut ini karya kami (Indra dan Ulu). Tulisan saya tentang Cirebon dimuat pada surat kabar Pikiran Rakyat 12 Maret 2017. Sebenarnya saya mau ambil format korannya sih, ada format digitalnya gitu. Tapi mesti login ke websitenya Pikiran Rakyat (http://epaper.pikiran-rakyat.com/). Dan registernya susah sekaleeeeee. Saya coba beberapa hari ini gagal mulu.
Ah ya udah saya unggah tulisan awal sebelum diedit redaksi Pikiran Rakyat. Ya lumayan sih gak banyak juga yang diedit. Silakan dibaca. Tiga dari foto yang Indra jepret di bawah ini tayang juga dalam korannya. Untuk melihat foto lebih banyak, baca tulisan sebelumnya ya. Linknya di sini.
Awal tahun 2017 saya datang ke Cirebon. Lawatan kali ini saya niatkan untuk melihat rumah-rumah kuno di Kota Udang tersebut. Dengan waktu yang terbatas, sebelum pergi saya riset data dan menyalin sebuah peta menyusuri kawasan bersejarah di Cirebon.
photo credit: T Bachtiar |
******************************
Awal tahun 2017 saya datang ke Cirebon. Lawatan kali ini saya niatkan untuk melihat rumah-rumah kuno di Kota Udang tersebut. Dengan waktu yang terbatas, sebelum pergi saya riset data dan menyalin sebuah peta menyusuri kawasan bersejarah di Cirebon.
Peta
yang saya salin berasal dari buku berjudul Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di
Indonesia, tulisan Emile Leushuis seorang geograf Belanda. Awalnya buku travel
historical guide ini diterbitkan dalam bahasa Belanda. Tahun 2014 bukunya
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam
peta tercantum titik keberangkatan di Keraton Kasepuhan. Saya memutuskan putar
rute dengan memulai perjalanan di sekitar kawasan Panjunan.
Berderet Rumah Kuno di Panjunan Kampung Arab
Kawasan
Panjunan adalah kampung arab. Sebagai kota pelabuhan yang pernah mashyur,
banyak orang dari Mediterania dan Cina berdatangan ke Cirebon untuk urusan
bisnis dan agama. Ada yang hinggah sebentar lalu pergi berlayar, tidak sedikit
pula yang menetap dan bermukim di Cirebon.
Baru
saja masuk ke mulut jalan Panjunan, langung terhampar pemandangan sebuah rumah
tua yang mewah. Terasnya luas dan
pilar-pilar rumahnya terlihat perkasa. Meski nampak renta, rumahnya dalam
kondisi sehat. Masih ada penghuni yang merawatnya.
Kembali
berjalan, saya berulang-ulang takjub dengan rumah-rumah kuno yang saya temui. Hampir
semua arsitekturnya belum pernah saya lihat di kampung halaman saya di Bandung.
Bukan
hanya unik, beberapa rumah warna catnya mencolok mata. Didominasi warna hijau,
merah, dan kuning, juga ukuran rumah yang mirip istana hingga ke rumah yang
tipenya mungil, Panjunan adalah surganya rumah-rumah antik.
Seperti
pada umumnya rumah kuno, jendela dan pintu rumah ukurannya tinggi dan besar.
Jendelanya berbuku-buku, tapi ada juga jendela polos tanpa motif dan tekstur,
bahkan yang berkaca patri masih banyak. Di bagian atas pintu dan jendela
terdapat kerawang (ventilasi) dengan pola yang berbeda-beda dan cantik.
Hampir
tiap rumah memiliki teras dan 2-3 anak tangga di depan pintunya. Tidak semua rumah
berpagar, hanya rumah-rumah besar saja yang dipagari.
Masih
di Jalan Panjunan, kedua kaki saya pacu menuju sebuah masjid bersejarah: Masjid
Panjunan, populer dengan nama Masjid Merah Panjunan.
“Panjunan
asal katanya Jun, artinya tukang keramik,” ujar kuncen masjid Panjunan. Bapak
Kuncen nampak semangat sekali ingin bercerita. Ceritanya berhamburan dari
silsilah Sunan Gunung Jati, piring-piring yang menancap di dinding, hingga kisah
Syarif Abdurakhman yang dijuluki Pangeran Panjunan yang berasal dari Baghdad,
Irak.
Sebelum
VOC datang, Cirebon termasuk kawasan tersibuk di Hindia Belanda. Di abad 16,
Cirebon bukan saja menjadi kota pelabuhan terpenting tapi juga menjalin kerja
sama dengan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah dan memiliki hubungan kekerabatan
dengan raja-raja di Demak dan Banten. Ketenaran dan peran Cirebon di bidang
perdagangan dunia di masa lalu ibarat Singapura di masa kini.
“Orang-orang
yang dibawa Pangeran Panjunan itu cikal bakal kampung arab di sini”, tutur Pak
Kuncen lagi. Lamunan saya tentang pelabuhan Cirebon pecah.
Bagi
saya Masjid Merah Panjunan merupakan masjid yang unik. Masjid yang dibangun
tahun 1480 ini bercitarasa nusantara. Gerbang masuknya berbentuk gapura seperti
yang kita temui di candi-candi di Jawa Timur. Atapnya bertingkat terbuat dari
sirap dengan ornamen gada di puncak atap. Bangunan masjidnya berbentuk limasan
dengan dinding warna merah bata.
Menurut
cerita Pak Kuncen yang mukanya kerab-araban ini, dahulu orang arab yang tinggal
di Panjunan hampir semuanya berprofesi sebagai pengrajin keramik. Keramik yang
dibuat berasal bahan tanah liat. Sayang jejak pengrajin keramik sudah tidak ada
di Panjunan. Saya beranjak ke Gang Pasewan.
Arsitektur
rumah di Gang Pasewan berbeda dengan rumah-rumah di Jalan Panjunan. Bila di
Jalan Panjunan terlihat seperti rumah hunian, di gang Pasewan rumah-rumahnya
lebih mirip tempat berdagang dan gudang. Serambi atap rumahnya menjulur ke sisi
jalan.
Meski
dimiliki orang-orang arab, rumah di sini dihuni orang orang cina. Pasewan
berasal dari kata ‘sewa’. Dahulu orang arab menyewakan rumahnya kepada orang
cina. Gang Pasewan ini pendek saja jarak tempuhnya, sekitar 200 m.
Melintas di Kawasan Cina dan Bangunan Kolonial
Keluar
dari Pasewan, saya masuk ke Jalan Pasuketan. Di sinilah kampung arab memudar,
bangunan tionghoa dan bergaya kolonial memenuhi jalanan. Sementara itu matahari Cirebon sudah
membelalak dan air minum perbekalan saya ludes. Mencari warung, saya istirahat
sebentar untuk berteduh dan membeli satu botol teh dingin.
Di
Pasuketan saya melihat dua bangunan kolonial yang besar-besar. Satu terawat,
satunya lagi seperti mati suri. Bangunan Belanda yang dibangun tahun 1920 itu
kondisinya terawat dan menjadi kantor bank Mandiri.
Dari
Jalan Pasuketan saya menyebrang jalan menuju Jalan Banteng. Terdapat sebuah
bangunan maha besar dan panjang yang jadi primadona warga Cirebon sebagai latar
swafoto. Gedung BAT namanya. Gedung yang pertama digunakan tahun 1924 ini
merupakan pabrik sekaligus kantor rokok BAT (British American Tobacco).
Siapapun yang melewati Jalan Banteng dan sekitarnya pasti menyadari betapa
‘raksasa’nya gedung yang sekarang kosong ini.
Abad
18 orang-orang cina memegang peranan penting di Cirebon. Meski dibatasi ruang
geraknya oleh pemerintah kolonial, warga tionghoa di Cirebon bertambah
jumlahnya dan berperan besar dalam urusan perdagangan. Mulanya mereka dipaksa
pemerintah kolonial untuk bermukim di Jalan Pasuketan, Jl. Lemah Wungkuk, dan
Jalan Talang saja.
Puas
menatap gedung BAT, saya berbelok ke Jalan Talang. Terdapat tulisan petuah di
pintu klentengnya. Sungguh sangat relevan petuahnya dengan fenomena hoax saat
ini.
Fakta
menarik tentang Klenteng Talang adalah selain usianya yang sangat tua –dibangun
abad 15- klenteng ini awalnya berfungsi sebagai pondokan dan tempat ibadah umat
muslim tionghoa.
Saya
melanjutkan perjalanan ke Jalan Kebumen dan Jalan Yos Sudarso. Berturut-turut
saya memandang kagum gedung khas kolonial: bangunan SMPN 14 dan 16 (awal abad
20), kantor bermenara Gedung Pt. Cipta Niaga , Gereja Protestan tertua di
Cirebon (1770), Gereja protestan St. Yosep yang dibangun oleh pastor sekaligus
pemilik pabrik gula di tahun 1878, kantor Bank Indonesia (1919-1921), Kantor
Pos Indonesia (1906), juga rumah-rumah hunian.
Jika
membaca buku-buku yang memuat informasi sejarah, kisah dibalik bangunan kuno
memang tidak seindah penampakan gedungnya. Ada tanam paksa, ada kerja paksa,
ada pajak yang terlalu tinggi, ada monopoli perdagangan, dan hal lain yang
kejam-kejam. Namun mengapresiasi kecantikan warisan bangunannya menurut saya bukan
hal yang salah.
Sudah
lewat pukul 1 siang, Cirebon sudah terlalu panas, hampir 3,5 km jarak berjalan
kaki dan becak, saya kelelahan dan perut kelaparan. Saya putuskan berhenti
berjalan dan menumpang becak.
Dari
dalam becak saya kembali melewati beberapa tempat yang tadi saya telusuri, sempat
pula terkantuk-kantuk ditiup angin pantai, dan berakhir dengan mata terbelalak
akibat diklakson mobil di depan kami. Becak yang saya tumpangi melawan arah
rupanya, saya pura-pura sibuk mengecek hp saja. Pengalaman yang menyenangkan
dapat melihat-lihat bangunan kuno di Cirebon!
Jalan-jalan Wisata Bangunan Kuno, Kenapa Tidak?
Berkunjung
ke luar kota, hampir semua kegiatannya saya jadwalkan dengan berwisata heritage
dan wisata kuliner. Wisata heritage ada dua macamnya: budaya dan sejarah
(cultural) dan alam (natural). Ada wisata budaya ke kampung adat dan masuk ke
luar hutan larangan, misalnya. Ada pula wisata kuliner dan mengunjungi bangunan
bersejarah.
Sayangnya
belum banyak operator wisata bangunan bersejarah di kota-kota di Indonesia.
Kalau pun ada biasanya berbasis komunitas, bukan operator bisnis tur.
Berikut
ini hal-hal yang biasanya saya lakukan bila hendak menelusuri jalur sejarah
sebuah kota dan melihat-lihat warisan bangunan kunonya:
- Riset data dari buku
- Browsing di internet, mencari data sekaligus komunitas sejarah di kota yang ingin kita kunjungi. Kontak dan meminta kesediaan mereka untuk menemani perjalanan kita. Ditemani warga lokal dapat membantu kita mencari informasi dari pemilik rumah dan warga sekitar, juga memberi rasa aman dan keleluasaan dalam memotret
- Bila anggaran terbatas, lakukan saja sendiri. Bila ingin menyusuri sejarah kota Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Malang, dan Surabaya, saya merekomendasikan Buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia (penulis Emile Leuhuis, penerbit Ombak). Dalam bukunya terdapat peta dan uraian
- Buat perkiraan waktu perjalanan: durasi berjalan, jarak tempuh, transportasi, pemilihan waktu
Menyusuri
areal perkotaan sendirian dan beramai-ramai beda sensasinya. Tingkat
keamanannya juga berbeda. Bila penampilan kita terlalu menonjol khawatirnya
kita disasar jadi korban pencopetan, penjambretan, pemalakan, dan sejenisnya.
Berikut ini tip agar kita dapat melebur bersama warga kota yang kita kunjungi:
- Gunakan pakaian sewajarnya dengan warna yang natural
- Tidak menggunakan perhiasan dan peralatan elektronik berlebihan
- Bersikap wajar, membumi, dan ramah kepada warga sekitar
- Kurangi swafoto berlebihan
- Minta izin bila ingin berfoto
- Selalu bawa uang receh untuk keperluan tak terduga, misal buang air kecil di WC umum berbayar, membayar ongkos becak, membeli air minum dan jajan di warung keci
Teks : Nurul Ulu Wachdiyyah
Foto: Indra Yudha Andriawan
Foto: Indra Yudha Andriawan
Mantaaaafff ulu
ReplyDeletealhamdulillah, dew :D
DeleteKeren. Sdh lm jg g nulis traveling di media
ReplyDeleteAlhamdulillah, Mba :) mengikuti jejak Mba Yervi :)
DeleteKeren euy. Pinjem pengalamannya ya, teh. Long weekend pekan depan pengin main ke Cirebon. :D
ReplyDeleteBoleh, San. Saya juga pake rute punya orang lain :D
Deletefoto yang rumah tampak teras dengan anak tangga itu, masih sering kulihat di Pekalongan. dengan tegelnya, dan...benar itu tanpa pagar depan. kurasa itu salah satu bedanya sama di Bandung dan Bogor yang rumah kunonya kebanyakan gaya eropa
ReplyDeletePekalongan daerah pesisir, kebanyakan yg tinggal di sana orang-orang tionghoa dan pribumi. Kalo di daerah Bogor & Bandung pasti banyakan jejak kolonialnya karena orang-orang belanda betah tinggal di dua kota itu, dingin & sejuk.
DeleteSuka banget sama bangunan zaman dulu yang besar, megah, dan lapang. Kesannya adem.
ReplyDeleteIya, Mit. Dulu lahan masih banyak ya. Sekarang mah punya uang banyak pun mesti mikir-mikir dulu beli lahan di mana & seluas apa heuheuheu...
DeleteWaaah referensi bgt ini, sudah lama pengen singgah di cirebon dan ga tau destinasi apa yg bisa buat blusukan selain keraton. Makasih infonya
ReplyDeleteSama-sama :)
Deletewah keren Ulu :)
ReplyDelete